“Cintaku untukmu
itu seperti pedasnya cabai. Sepedas apapun rasanya, aku tak bisa berhenti untuk
memikirkanmu dan meninggalkanmu. Kamu selalu ada dalam hati dan pikiran ini,
meski kau selalu menyakitiku.” Itu karena aku mencintainya.
Setelah sikap
Rais yang terlihat menyebalkan tanpa kejelasan perasaan padaku, perlahan dia
mulai peduli dan lebih perhatian padaku. Meski hanya berlangsung sesekali
waktu, tak tahu pasti apa maksud dari sikapnya. Walau begitu, aku bisa memakluminya,
memaafkan sikap Rais, dan kembali ke sisinya. “Semudah itu aku melupakan
pedasnya cintamu. Walau telah sakit perut dan berjanji untuk tak lagi makan
cabai, namun tak butuh waktu lama untuk merasakan pedasnya lagi.”
Sampai semuanya
berubah ketika aku tahu dia justru menggunakanku sebagai loncatan penyelesaian
masalahnya dengan mendekatiku. Rais hanya menganggapku hanya sebagai perantara
dia untuk meminta maaf pada temanku. Dia memanfaatkanku untuk meminta maaf pada
Nami atas kesalahannya selama bertahun-tahun. Rais yang tak pernah akur dengan
Nami semenjak kekurangajaran dia membuntuti Nami diam-diam. Nami merasa tak
nyaman dengan perilaku Rais yang selalu mengikutinya ke mana Nami pergi.
Aku tak pernah
menyadarinya dari awal. Rais membuatku seperti robotnya tanpa pergolakan apapun
dariku. Aku menurutinya menyambungkan hubungannya dengan Nami. Rais terus
membujukku untuk menjadi perantara hubungannya. Mulai dari proses membujuk Nami
untuk memaafkannya.
Aku terlalu
mengharapkan ketulusan Rais, seperti ketulusanku membantunya. Namun aku terlalu
polos dan lugu menyadari semuanya. Tanpa bertanya kesalahan apa yang dia
lakukan hingga harus meminta maaf sesulit ini. Dan aku yang percaya pembelaan
Rais yang hanya terjadi kesalahpahaman dengan Nami.
Sampai saat Nami
menceritakan semua yang terjadi. Perbuatan Rais yang ternyata dulu mencintai
Nami.
Cinta Rais yang berlebihan membuat Nami tak nyaman hingga Nami menjadi
sangat terganggu.
Lagi-lagi penjelasan
dari Nami tak cukup membuatku sadar. Aku menanyakan sekali lagi kebenaran itu.
Dan Rais mengakuinya. Pada bagian ini pun masih tak bisa menyadari kebodohanku.
***
Aku berhasil
menyatukan Rais. Senang mendapat ucapan terima kasih darinya. Merasa senang
bisa membantunya mendapatkan maaf dari Nami. Meskipun aku tak tahu perasaan
Rais pada Nami masih sama seperti dulu atau tidak. Aku tak pernah
menanyakannya. Aku sduah cukup puas dengan jawaban Nami, bahwa Nami tak
menyukai Rais. Aku berharap Rais tak lagi mencintai Nami.
Sampai pada saat
hubungan Rais dan Nami baik-baik saja. Aku tak pernah mendapati kabar dari
Rais, mendapat pesan singkat darinya, dan mendapatinya menemuiku lagi. Mungkin
Rais sedang sibuk, mencari jawaban sendiri tanpa tahu kebenarannya.
Aku selalu
berpikir bahwa Rais menaruh perhatian besar padaku. “Apa aku salah sangka
dengan semua pikiranku tentangmu. Tentang responmu padaku, apa itu semua hanya
pantulan untukmu tertuju pada Nami.
Entahlah...”
Semenjak Rais
mendapatkan maaf dari Nami, dia menjadi menjauh dariku. Rais lebih memilih
untuk mengirim pesan singkatnya pada Nami. Nami menceritakan ketidakpeduliannya
menanggapi sms dari Rais padaku. Nami meyakinkanku untuk tak mendekati Rais
karena sepertinya Rais tak baik.
Satu hari setelah
sms itu, aku masih yakin dengan perasaan bahwa Rais hanya ingin menjalin
hubungan baik lagi dengan Nami. Memastikan bahwa Nami sudah melupakan semuanya.
Hingga dia lebih memilih membangun hubungannya dengan Nami lebih dulu.
Hari berikutnya,
aku mendengar Rais mengirimkan sms lagi pada Nami. Seperti yang sudah-sudah,
Nami tak membalasnya. Namun Rais terus saja sms, memaksa Nami membalas pesan.
Lalu, mengapa Rais tak ingat padaku. Mengapa
dia lebih memilih Nami. Keraguanku pada keyakinan yang aku bangun sendiri. Tak
masalah jika Rais terus-menerus sms dan menghubungi Nami. Namun dalam sekali
waktu, mengapa dia tak menyempatkan untuk menghubungiku. Menunjukkan bahwa Rais
memang lebih peduli dengan Nami.
Aku tak tahu,
apa kali ini akan salah duga lagi. Namun, tanpa kabar darinya membuat semua
teryakinkan. Aku tak lebih sebagai perantaranya. Tak lebih seperti kurir, hanya
menghantarkan pesan yang kini telah berhasil sampai tujuan.
Pengantar
hubungannya dengan Nami agar tersambung kembali. “Hanya sebatas itukah peranku
di matamu? Dan kini semuanya telah selesai. Setelah semuanya tersampaikan, kamu
tak ada lagi urusan denganku. Kamu bisa melupakannya.”
***
Entah mengapa,
aku benar-benar yakin dengan keadaan yang membuatku percaya, aku kurir untukmu.
Kepercayaan ini membuatku semakin membencimu. Tanpa kusadari, ternyata aku tak
pernah benar-benar mencintaimu. Benciku terlalu besar dibanding cinta yang
kumiliki untukmu.
“Tak lagi
mengharapkan apapun dari perasaanmu. Sesuatu yang awalnya berada di Selatan
bumi, kini telah berpindah ke ujung Utara bumi. Dua bagian yang sangat
berseberangan.”
“Mungkin dulu
aku dan kamu berada di arah yang sama. Namun kini, kamu di Selatan dan aku di
Utara bumi. Aku dan kamu, mungkin memang tak pernah bisa saling bertemu.”
“Sekalipun harus
dipaksakan, hatimu tak mungkin di tempatku. Dan harusnya aku sadar, aku salah
berlaku tulus padamu karena tak ada satupun ketulusan darimu,” Walaupun tak ada
lagi cinta di hati ini, perasaan bergejolak terus ada dalam batinku.
Aku tak suka
dibohongi seperti ini. Rais berhasil membuatku mengecewakan diri sendiri. Lebih
dari rasa kecewaku padanya. Kecewa karena aku telah salah meyakini hati ini.
***
Seminggu berlalu dan Rais masih
mempertanyakan mengapa aku berubah. Rais merasa ada yang berubah dariku. Aku
memang tak menceritakan padanya. Buat apa diceritakan, toh semua berubah karena
dia. Tanpa harus diceritakan, harusnya dia lebih tahu dari apa yang kutahu.
Sikapku benar, karena respon Rais
hanya sebatas mempertanyakan. Berjuangkah Rais untuk perubahan sikapku?!
Bertanya namun tak ada usaha mencari jawaban. Semuanya jelas, tak ada
kesungguhan dari hubungan ini. Lebih tepatnya, tak ada kesungguhan dari Rais.
Kalau dulu kamu sepotong kayu yang
utuh, sekarang kamu hanya sebagai runtuhan dari kerapuhan kayu yang dimakan
rayap. Sebagai runtuhannya, bukan sebagai sisa kayu yang digerogoti. Sudah
sangat tak berartinya Rais di mataku.
Kebohongannya
membuatku seperti orang bodoh. Tak mengertikah dia bahwa selain karena tak
belajar orang menjadi bodoh, mempercayai suatu kebohongan juga membuat orang
terlihat bodoh. Bodoh karena tak tahu kebenarannya. Tak menyangka jika
kebodohan ini membuat cinta berakhir benci. Jika memang hubungan ini tak berhasil,
tak seharusnya juga merusak hubungan kami sebagai sesama manusia yang saling
rukun. Semua ini membuat jarak dan justru membangun benteng pemisah, yang
menjadi pelindung dari rasa sakit.
Walaupun sudah
biasa saja, tak memikirkan lagi yang telah terjadi namun untuk membangun
kepercayaan pada Rais rasanya sulit. Biarlah aku dengan jalanku. Dan dia jauh
dengan jalannya. Itu lebih baik daripada harus bertemu namun masih
terbayang-bayangi dengan kejadian masa lalu. Dan memang keadaan menjadi lebih
baik dengan tak pernah bertemunya aku dengan Rais lagi.
***
No comments:
Post a Comment