Subuhku ─ memeluk
dingin, merangkul sunyi, berkawan kokok ayam dan burung bersiul merdu. Tanpa
tetesan embun, hanya sisa2 air yang akan menjelma malaikat bila menetes.
Di suasana sisa perpaduan udara engap kamar yang bergumpal
dengan kipas angin. Di dalam rumah, mengasingkan diri. Mengunci diri dari
terbitnya fajar. Matahari enggan masuk. Cukup tembok menjadi pagar betis
kemenanganku.
Pertempuran hari itu, belum selesai. Dan dimulailah
genderang perang blok lain.
Aku dengan bosan.
Sehari, dua hari, tiga hari, matahari kembali dan terus
kembali. Namun ternyata aku telah terbiasa, berkecimpung dengan bosan.
Rupanya, mengasingkan diri lebih dari sekadar berteman
sunyi, senyap. Ini lebih parah. Dengannya, kau memendekkan usia, melawan dirimu
sendiri, dan memutus duniamu dari mentari dan berkawan pijar lampu.
Malam, sesekali menengok ke luar. Bulan tak tersenyum, dia
sedang mati dalam fase perjalanannya.
Dan aku hanya bisa berdiri, dan diam-diam berharap,lalu
menitipkan salam.
Jika esok berganti dan kau jatuh. Sedang mentari beranjak
naik, sampaikan di persimpangan
pergantian itu, aku rindu, tapi aku enggan.
Semalam berkawan rembulan, dan pagi hanya jadi dongeng.
Hingga terbitmu tak kulihat
Kurasa, maaf tapi aku tak kuasa.
Dan kamu tahu aku apa?
Aku yang perlahan meredup meninggalkan penyimpanan
segerembolan hina
Hina
pergi, namun simpanan demi simpanan terus kubawa lari, lompat-melompati tujuh
generasi.
No comments:
Post a Comment