Jatuh cinta dan
patah hati itu sama seperti ketika kita melihat bintang.
Ketika kamu
jatuh cinta, kamu akan melihat dan menunjuk salah satu bintang yang paling
terang.
Dan kamu akan
merasa bahwa bintang yang bersinar itu seperti orang yang kamu cinta.
Ketika kamu
patah hati, kamu juga akan melihat bintang yang paling terang
Dan kamu akan
merasa tak cukup mampu menggapainya, karena dia terlalu jauh.
Ini juga gue alami saat gue menanti
cinta. Cinta yang enggak sama sekali gue tahu siapa dia. Tak terdefinisikan
siapa dia. Bukan seperti orang jatuh cinta yang sudah pasti objeknya. Gue jatuh
cinta sama ‘dia’. Di sini objeknya adalah ‘dia’. Yang terjadi pada gue adalah
gue sedang menanti kata kerjanya. Jatuh cinta. Gue menunggu kapan saatnya bisa
jatuh cinta dengan orang yang tepat. Dan ketika gue lihat bintang yang paling
terang. Gue harap itu dia. Meskipun gue enggak pernah tahu siapa dia. Masih
belum gue jumpai juga. Meski belum terlihat, namun gue bisa merasakannya. Tapi
tetap yakin dia orang yang gue tuju dan cari selama ini. Keyakinan gue yang
seperti ini yang menuntun gue untuk menunggunya. Dan menghiraukan
bintang-bintang yang lain. Itu yang terjadi pada gue saat ini.
Sedikit memaksa, memang itu yang
terjadi. Sedikit tak realistis, tapi gue tetap percaya itu. Keyakinan masa-masa
labil. Entah itu sumpah, janji, ataupun harapan. Gue pernah berucap, keyakinan
saat gue mencintai orang yang benar-benar pantas, saat itu terjadi bulan akan
utuh bersinar. Seperti bulan purnama, dan hanya ada satu bintang yang paling
terang bersinar. Itu benar-benar terucap saat gue harus keluar halaman depan
rumah tengah malam sendiri. Karena gue punya kebiasaan tak bisa tidur hingga
tengah malam. Depan gerbang, sepi tak ada siapapun. Setan apa yang merasuki gue
saat itu, hingga gue berani keluar sendiri tengah malam yang dingin. Dan waktu
itu gue juga punya kebiasaan keluar seusai Subuh. Suasana pagi masih dalam
keadaan gelap. Gue selalu menyempatkan diri melihat bintang-bintang sebelum
hilang ditelan fajar. Saat itulah gue selalu berucap hal konyol itu.
Dan saat gue sudah mulai stabil, gue
baru menyadari kata-kata gue yang dulu sering gue ucapkan saat tengah malam dan
usai Subuh. Untung gue tak berucap, saat gue jatuh cinta, akan turun hujan
salju di Indonesia. Yang jelas-jelas tak mungkin akan terjadi.
Kalimat gue masih ada masuk akalnya
juga. Saat bulan purnama memang terjadi saat tanggal lima belas penanggalan
Jawa. Tapi pada saat yang sama dengan beribu bintang di langit. Dan hanya satu
bintang yang bersinar, seperti memaksa. Gue sendiri, sejak berucap kalimat itu.
Gue selalu memandang langit, khususnya saat bulan purnama. Dan gue enggak
pernah menemui bintang bersinar itu. Yang ada situasinya saat itu, bulan purnama
dan bintang-bintang terlihat kecil semua. Situasi yang kedua, purnama dan
bintang yang bersinar terang ada dua buah. Disini gue bingung, bintang yang
mana yang paling sangat bersinar. Situasi ketiga, bulan purnama, dan sama
sekali bintang tak terlihat.
Betapa labilnya gue ketika harus
menangis semalam, dan lagi semalam berikutnya. Hanya karena tak kunjung melihat
dan menyaksikan situasi yang sangat gue impikan. Ketika gue mulai stabil pun,
gue juga harus menangisinya. Bukan menangisi bulan dan bintang. Menagis karena
kekonyolan gue. Bahkan gue sampai berpikir bahwa saat gue berucap itu, ada
malaikat yang mengamininya. Hingga terciptalah keadaan ‘single’ gue hingga masa
kini.