Tuesday, January 29, 2013

Jatuh Cinta dan Patah Hati itu Sama


Jatuh cinta dan patah hati itu sama seperti ketika kita melihat bintang.
Ketika kamu jatuh cinta, kamu akan melihat dan menunjuk salah satu bintang yang paling terang.
Dan kamu akan merasa bahwa bintang yang bersinar itu seperti orang yang kamu cinta.
Ketika kamu patah hati, kamu juga akan melihat bintang yang paling terang
Dan kamu akan merasa tak cukup mampu menggapainya, karena dia terlalu jauh.

            Ini juga gue alami saat gue menanti cinta. Cinta yang enggak sama sekali gue tahu siapa dia. Tak terdefinisikan siapa dia. Bukan seperti orang jatuh cinta yang sudah pasti objeknya. Gue jatuh cinta sama ‘dia’. Di sini objeknya adalah ‘dia’. Yang terjadi pada gue adalah gue sedang menanti kata kerjanya. Jatuh cinta. Gue menunggu kapan saatnya bisa jatuh cinta dengan orang yang tepat. Dan ketika gue lihat bintang yang paling terang. Gue harap itu dia. Meskipun gue enggak pernah tahu siapa dia. Masih belum gue jumpai juga. Meski belum terlihat, namun gue bisa merasakannya. Tapi tetap yakin dia orang yang gue tuju dan cari selama ini. Keyakinan gue yang seperti ini yang menuntun gue untuk menunggunya. Dan menghiraukan bintang-bintang yang lain. Itu yang terjadi pada gue saat ini.
            Sedikit memaksa, memang itu yang terjadi. Sedikit tak realistis, tapi gue tetap percaya itu. Keyakinan masa-masa labil. Entah itu sumpah, janji, ataupun harapan. Gue pernah berucap, keyakinan saat gue mencintai orang yang benar-benar pantas, saat itu terjadi bulan akan utuh bersinar. Seperti bulan purnama, dan hanya ada satu bintang yang paling terang bersinar. Itu benar-benar terucap saat gue harus keluar halaman depan rumah tengah malam sendiri. Karena gue punya kebiasaan tak bisa tidur hingga tengah malam. Depan gerbang, sepi tak ada siapapun. Setan apa yang merasuki gue saat itu, hingga gue berani keluar sendiri tengah malam yang dingin. Dan waktu itu gue juga punya kebiasaan keluar seusai Subuh. Suasana pagi masih dalam keadaan gelap. Gue selalu menyempatkan diri melihat bintang-bintang sebelum hilang ditelan fajar. Saat itulah gue selalu berucap hal konyol itu.
            Dan saat gue sudah mulai stabil, gue baru menyadari kata-kata gue yang dulu sering gue ucapkan saat tengah malam dan usai Subuh. Untung gue tak berucap, saat gue jatuh cinta, akan turun hujan salju di Indonesia. Yang jelas-jelas tak mungkin akan terjadi.
            Kalimat gue masih ada masuk akalnya juga. Saat bulan purnama memang terjadi saat tanggal lima belas penanggalan Jawa. Tapi pada saat yang sama dengan beribu bintang di langit. Dan hanya satu bintang yang bersinar, seperti memaksa. Gue sendiri, sejak berucap kalimat itu. Gue selalu memandang langit, khususnya saat bulan purnama. Dan gue enggak pernah menemui bintang bersinar itu. Yang ada situasinya saat itu, bulan purnama dan bintang-bintang terlihat kecil semua. Situasi yang kedua, purnama dan bintang yang bersinar terang ada dua buah. Disini gue bingung, bintang yang mana yang paling sangat bersinar. Situasi ketiga, bulan purnama, dan sama sekali bintang tak terlihat.
            Betapa labilnya gue ketika harus menangis semalam, dan lagi semalam berikutnya. Hanya karena tak kunjung melihat dan menyaksikan situasi yang sangat gue impikan. Ketika gue mulai stabil pun, gue juga harus menangisinya. Bukan menangisi bulan dan bintang. Menagis karena kekonyolan gue. Bahkan gue sampai berpikir bahwa saat gue berucap itu, ada malaikat yang mengamininya. Hingga terciptalah keadaan ‘single’ gue hingga masa kini.

No comments:

Post a Comment