Penantian
itu akan sampai pada waktunya. Dari ujung ke ujung penantian yang semakin
membuat Nara mengerti. Dan akhirnya harus terhenti pada titik balik dari semua
pencarian dan penantian.
Pertemuan yang menyita waktu dan
membuat Nara paham bahwa yang terjadi akan tertelan sang waktu. Hanya yang
beruntung yang dapat mengambil pelajaran dari setiap peristiwa. Yang lain bukan
tak berarti apa-apa. Namun sesuatu yang paling berarti dan memberikan makna,
adalah kesan yang memberikan banyak pesan kehidupan.
Cahaya mentari tak menembus tirai
jendela, namun radiasi panas memancar membuat gatal seluruh tubuh. Nara terusik
dari tidur lelahnya. Kebiasaan menempel di tembok. Nara selalu melakukannya
jika kepanasan.
“Ra,
sudah jam berapa ini? Ayo bangun.”
“Iya
bunda, sebentar.”
“Anak
perawan kok malas-malasan. Awas kalau AC nya dinyalain!”
“Yaah
bunda, tau aja. Kepanasan ni...”
“Bangun
dong, mandi biar segar!”
“Iya,”
sahut Nara masih dengan mata terpejam.
Pulang dari kemah, membuat Nara tak
enak badan. Apalagi harus begadang dan diterpa dingin angin malam. Nara
mendampingi pelantikan anggota pramuka di sekolah menengahnya dulu. Kemah,
jalan-jalan malam dan penobatan pramuka inti, menyisakan pegal dan lelehan
ingus dari hidung merahnya.
Teman, bukan dia yang selalu membawa kebahagian
untukmu. Namun dia yang bisa memberikan hikmah dan pelajaran dari setiap
perjalanan hidup.
“Dan akhirnya dalam segala
kesakitan ini, aku mengucapkan banyak terimakasih pada seseorang yang bernama
Awan. Terimakasih, darimu telah kutemukan makna hidup. Memang semuanya telah
menjadi suratan-Nya. Tak kusesali telah berjumpa denganmu. Kamu yang terbaik
dan tetap akan jadi yang terbaik.”
Duduk
setengah sadar. Nara menyemangati dirinya sendiri yang tengah rapuh.
Nara mengalami pengurusan yang luar biasa setelah 5
kg berat badannya luruh entah ke mana. Masalah yang tak kunjung usai, mulai
dari cinta yang seperti membelenggu, setelah mati-matian menyelesaikan
skripsinya, dan harus mematahkan cintanya sendiri. Belum lagi status sebagai
pengangguran yang disandangnya setelah dinyatakan lulus. Dengan segala semangat
yang terserak entah ke mana, senyum Nara masih manis seperti biasanya. Senyum
yang bahkan lebih manis meski pipinya tak lagi terlihat berisi seperti bakpao
mengembang.
Kamu
ada karena sepi, dan hilang karena sepi.
Aku
menemukanmu pada belahan waktu yang terus berjalan.
Dalam
kesunyian ini, kehadiranmu menyeka dan seolah menghentikan waktu. Menatap walau
sekejap, aku terbawa pada lingkaran waktu hidupmu.
Nara mencoba menjalani semua dengan keyakinan yang
ada, tak peduli lagi apa kata dia ‘Awan’ tentang cinta, mengenai keyakinannya.
Semua akan kembali pada apa yang kita pikirkan, dengan segala risiko. Inilah
pilihan hidup...
Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi ke depan.
Hanya bisa menjalani, karena waktu pun terus berlari. Detik berganti menit,
menit bergulir, perjalanan waktu yang tak bisa dihentikan. Jarum paling pendek
bergerak lambat, namun pergeserannya sangat menakutkan untuk ditaklukan. Kita
akan beradu dengan waktu.
Pilihan hati, bukan berarti takdir yang
mempersatukan. Kadang hanya terjebak urusan hati yang tak seharusnya dituruti.
Karena jika sudah mengakar untuk mencabutnya saja harus berpeluh-keluh.
Bagaimana kita bangkit dari keterpurukan, bagaimana
kita menata dari awal, bagaimana kita menatap ke depan yang sebenarnya
sama-sama kita tahu tak ada kejelasan dari apa yang belum kita jalani. Namun
kita tetap meyakini, kita akan mampu menghadapi. Ya, ini yang Nara rasakan.
Dulu, setengah mati aku mencinta.
Sekarang, setengah mati aku membenci.
Dan nanti, setengah mati pula aku
merindu.(Nara)
Nara kembali dengan perasaan yang
tak utuh lagi. Mencoba mengembalikan lagi, utuh sebelum mengenal Awan. Namun
justru ini yang terjadi... Memaksakan justru menyakiti dirinya sendiri.
Akhirnya Nara akan tetap seperti ini, dengan segala luka menjalani hidup.
Aku
menunggumu untuk lapisan waktu yang terbalut rindu.
Kembalilah
jika takdir menuntunmu demikian. Aku akan merangkak kembali, berlatih untuk
berdiri tegak, berjalan, dan bahkan berlari untuk cinta yang rapuh ─ oleh
waktu.
Melepas ─ bukan! Ini bukan seperti
mengikhlaskan. Karena memang yang seharusnya seperti ini, berpisah.
“Aku
dan Awan belum seharusnya bersatu dalam perjuangan yang akan lebih berat ke
depannya. Kehidupan yang sesungguhnya, baru dimulai.” Dengan segala baik dan
buruknya, mereka berpisah.
Jika waktu
mengizinkan waktumu dan waktuku bertemu, berjumpa denganku,
aku akan
sangat bahagia. Sekali pun hanya sempat tersenyum.
Kamu akan
menemukan ketulusan ini, meski kau
menghiraukannya.
Aku akan
bertahan.
Sampai jumpa
lagi di perjalanan waktu yang mungkin akan mempertemukan lagi.
Celotehan yang sempat Nara tuliskan
lewat tinta silver pada diary warna hitamnya, sebelum membuka
halaman baru dalam hidupnya. Tulisan yang akan menjadi pengingat, ada yang
pernah mengisi, hingga tertulis cerita di sini. Ada janji yang akan
mengingatkan, mengenai keteguhan penantian. Walau hanya harapan yang akan
disambut takdir atau hanya akan terkikis takdir. Sekali lagi ini mengenai
keyakinan. Waktu yang akan jadi hakim, penentu apa yang akan terjadi.
“Ketika semua berawal dari waktu
dan berakhir karena waktu. Ketika semua ada masanya dan hilang karena saatnya.”
Untuk dia yang mengajariku
menghafal jalan ─ jalan pulang ke hatimu.
No comments:
Post a Comment