Friday, September 25, 2015

Sepenggal


    Penantian itu akan sampai pada waktunya. Dari ujung ke ujung penantian yang semakin membuat Nara mengerti. Dan akhirnya harus terhenti pada titik balik dari semua pencarian dan penantian.
            Pertemuan yang menyita waktu dan membuat Nara paham bahwa yang terjadi akan tertelan sang waktu. Hanya yang beruntung yang dapat mengambil pelajaran dari setiap peristiwa. Yang lain bukan tak berarti apa-apa. Namun sesuatu yang paling berarti dan memberikan makna, adalah kesan yang memberikan banyak pesan kehidupan.
            Cahaya mentari tak menembus tirai jendela, namun radiasi panas memancar membuat gatal seluruh tubuh. Nara terusik dari tidur lelahnya. Kebiasaan menempel di tembok. Nara selalu melakukannya jika kepanasan.
“Ra, sudah jam berapa ini? Ayo bangun.”
“Iya bunda, sebentar.”
“Anak perawan kok malas-malasan. Awas kalau AC nya dinyalain!”
“Yaah bunda, tau aja. Kepanasan ni...”
“Bangun dong, mandi biar segar!”
“Iya,” sahut Nara masih dengan mata terpejam.
            Pulang dari kemah, membuat Nara tak enak badan. Apalagi harus begadang dan diterpa dingin angin malam. Nara mendampingi pelantikan anggota pramuka di sekolah menengahnya dulu. Kemah, jalan-jalan malam dan penobatan pramuka inti, menyisakan pegal dan lelehan ingus dari hidung merahnya.
Teman, bukan dia yang selalu membawa kebahagian untukmu. Namun dia yang bisa memberikan hikmah dan pelajaran dari setiap perjalanan hidup.
“Dan akhirnya dalam segala kesakitan ini, aku mengucapkan banyak terimakasih pada seseorang yang bernama Awan. Terimakasih, darimu telah kutemukan makna hidup. Memang semuanya telah menjadi suratan-Nya. Tak kusesali telah berjumpa denganmu. Kamu yang terbaik dan tetap akan jadi yang terbaik.”
Duduk setengah sadar. Nara menyemangati dirinya sendiri yang tengah rapuh.
Nara mengalami pengurusan yang luar biasa setelah 5 kg berat badannya luruh entah ke mana. Masalah yang tak kunjung usai, mulai dari cinta yang seperti membelenggu, setelah mati-matian menyelesaikan skripsinya, dan harus mematahkan cintanya sendiri. Belum lagi status sebagai pengangguran yang disandangnya setelah dinyatakan lulus. Dengan segala semangat yang terserak entah ke mana, senyum Nara masih manis seperti biasanya. Senyum yang bahkan lebih manis meski pipinya tak lagi terlihat berisi seperti bakpao mengembang.
Kamu ada karena sepi, dan hilang karena sepi.
Aku menemukanmu pada belahan waktu yang terus berjalan.
Dalam kesunyian ini, kehadiranmu menyeka dan seolah menghentikan waktu. Menatap walau sekejap, aku terbawa pada lingkaran waktu hidupmu.

Nara mencoba menjalani semua dengan keyakinan yang ada, tak peduli lagi apa kata dia ‘Awan’ tentang cinta, mengenai keyakinannya. Semua akan kembali pada apa yang kita pikirkan, dengan segala risiko. Inilah pilihan hidup...

Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi ke depan. Hanya bisa menjalani, karena waktu pun terus berlari. Detik berganti menit, menit bergulir, perjalanan waktu yang tak bisa dihentikan. Jarum paling pendek bergerak lambat, namun pergeserannya sangat menakutkan untuk ditaklukan. Kita akan beradu dengan waktu.
Pilihan hati, bukan berarti takdir yang mempersatukan. Kadang hanya terjebak urusan hati yang tak seharusnya dituruti. Karena jika sudah mengakar untuk mencabutnya saja harus berpeluh-keluh.
Bagaimana kita bangkit dari keterpurukan, bagaimana kita menata dari awal, bagaimana kita menatap ke depan yang sebenarnya sama-sama kita tahu tak ada kejelasan dari apa yang belum kita jalani. Namun kita tetap meyakini, kita akan mampu menghadapi. Ya, ini yang Nara rasakan.
Dulu, setengah mati aku mencinta. Sekarang, setengah mati aku membenci.
Dan nanti, setengah mati pula aku merindu.(Nara)




            Nara kembali dengan perasaan yang tak utuh lagi. Mencoba mengembalikan lagi, utuh sebelum mengenal Awan. Namun justru ini yang terjadi... Memaksakan justru menyakiti dirinya sendiri. Akhirnya Nara akan tetap seperti ini, dengan segala luka menjalani hidup.
Aku menunggumu untuk lapisan waktu yang terbalut rindu.
Kembalilah jika takdir menuntunmu demikian. Aku akan merangkak kembali, berlatih untuk berdiri tegak, berjalan, dan bahkan berlari untuk cinta yang rapuh ─ oleh waktu.
            Melepas ─ bukan! Ini bukan seperti mengikhlaskan. Karena memang yang seharusnya seperti ini, berpisah.
“Aku dan Awan belum seharusnya bersatu dalam perjuangan yang akan lebih berat ke depannya. Kehidupan yang sesungguhnya, baru dimulai.” Dengan segala baik dan buruknya, mereka berpisah.

Jika waktu mengizinkan waktumu dan waktuku bertemu, berjumpa denganku,
aku akan sangat bahagia. Sekali pun hanya sempat tersenyum.
Kamu akan menemukan ketulusan ini,  meski kau menghiraukannya.
Aku akan bertahan.
Sampai jumpa lagi di perjalanan waktu yang mungkin akan mempertemukan lagi.

           
            Celotehan yang sempat Nara tuliskan lewat tinta silver pada diary warna hitamnya, sebelum membuka halaman baru dalam hidupnya. Tulisan yang akan menjadi pengingat, ada yang pernah mengisi, hingga tertulis cerita di sini. Ada janji yang akan mengingatkan, mengenai keteguhan penantian. Walau hanya harapan yang akan disambut takdir atau hanya akan terkikis takdir. Sekali lagi ini mengenai keyakinan. Waktu yang akan jadi hakim, penentu apa yang akan terjadi.
“Ketika semua berawal dari waktu dan berakhir karena waktu. Ketika semua ada masanya dan hilang karena saatnya.”
Untuk dia yang mengajariku menghafal jalan ─ jalan pulang ke hatimu.


No comments:

Post a Comment