Friday, September 25, 2015

03:00 Waktu itu ...


Yang teristimewa kadang berseberangan.
Kau akan seperti mentari yang menghangatkan di ujung kutub.
Kau akan seperti hujan yang menyejukkan di hamparan padang gersang.

            Rengga hadir untuk itu, alasan persahabatan ini ada. Dia ada ketika orang lain tak ada. Dia hadir ketika orang lain tak peduli. Tempat berbagi hanya Rengga, sahabat laki-laki Nara yang dengan tulus ada di sampingnya. Setidaknya sampai Rengga harus memutuskan untuk pergi meninggalkan Nara.
Nara mulai menerima dan membuka hatinya untuk Rengga. Nara mengikuti saran Kire untuk membuka perasaan lain, selain persahabatan yang dia punya untuk Rengga. Namun Rengga justru memilih untuk menyudahi semuanya. Sebelum keputusan Nara sempat dijalani, Rengga tak menyertakan Nara dalam pilihannya.
“Dia memilih untuk meninggalkanku, Re! Terlambat, semuanya terlambat. Semua saran darimu tak berarti apa pun,” Nara tertunduk lesu.
            Tak ada pilihan lain selain meninggalkannya. Nara kehilangan Rengga sebagai sahabat dan masa depan yang hanya tinggal rencana.
“Jika Rengga ingin pergi aku tak bisa menghalangi jalannya.”
Nara menemukan foto yang tersisa di dompet, terselip kenangan yang harus segera dibuang, “Waktu itu ─ dia yang mau dekat denganku, saat benjolan seperti disengat lebah ada di jidat.” Benjolan besar karena jerawat meradang, terlihat jelas di foto ukuran 4x6 itu. Entah mengapa foto itu masih tertinggal di lipatan dompet Nara.
            Waktu itu, hanya Rengga yang menjadikan kata terangkai kalimat bagi Nara. Melambungkan ingatan yang akan pecah dan penuh tangis. Teringat masa SMP. Saat Nara menjadi anak yang sangat angkuh, self-fish, dan menyebalkan. Nara menjadi pribadi yang sensitif pada hal apa pun. Sempat dibenci teman-teman dekatnya. Dan dia tak dekat dengan teman lain sekelasnya, selain teman dekat yang semakin menjauhinya.
            Nara menjadi pendiam, nilainya menurun drastis. Setiap kali guru bertanya, Nara hanya bisa diam. Setiap kali ditegur temannya dia hanya tersenyum. Entah mengapa, sebuah kata menjadi hal yang sangat mahal untuk terucap. Hanya Rengga yang mengerti Nara. Bukannya menjauh, Rengga justru ingin menolong Nara. Nara menjadi remaja yang tumbuh dengan kebaikan. Itu semua karena Rengga.
“Apa berarti aku harus melupakanmu. Aku tak akan menyesali, biar saja kamu yang menyesal! Aku berharap demikian. Namun apa benar kamu mencintaiku? Jika iya, penyesalan meninggalkanku pasti ada. Dan sayangnya, cinta itu tak pernah ada untukku bukan?!” Dengan penuh tanya Nara mulai ragu dengan perasaan yang sempat Rengga nyatakan. Rengga hanya terbawa perasaan.
            Nara hanya ingin menghapus semuanya. “Hanya saja ─ jika tak berbekas ─ akan sangat mudah bagiku.”
“Apa yang bisa kulakukan, dengan persahabatan yang sekejap berubah jadi benci.” Jika Nara harus membenci Rengga dan tak bisa memaafkannya, Nara tak menginginkan semua itu terjadi.
“Aku tak sanggup jika terus-menerus berpikir buruk dan membencimu,” Nara meremas plastik berisi keripik singkong buatan bundanya. Seketika bunda Nara menghela nafas, suara melengking terdengar menegur Nara, “Kinara, remuk sudah!”
***

Hujan sore tanggal sembilan belas, tanggal yang menjanjikan keindahan bagi Nara tiap bulannya. Masih menjadi angka favorit Nara, tanggal ulang tahunnya. Kini berbeda, keindahan seketika berubah menjadi tangisan. Rengga pergi meninggalkan air mata yang belum sempat Nara jatuhkan di hadapannya. Persahabatan yang terjalin sedari dini ini tak cukup untuk meyakinkan takdir persahabatan ini akan selamanya.
“Lebih baik berpisah,” mendengarkan suara tanpa sosok Rengga
“Sebegitu hinakah hubungan ini, hingga kamu tak bisa mengatakannya langsung di hadapanku?” Dua dekade mengenal Rengga dengan persahabatan yang terjalin, berakhir dengan dua puluh detik akhir panggilan. Handphone terbanjiri air mata yang tak sempat Rengga saksikan. Lelehan kesedihan dari tak berharganya waktu.
            Rengga memilih untuk mengiyakan keinginan ayahnya kuliah ke luar negeri. Sebelumnya Rengga selalu menolak, dia tak ingin meninggalkan Nara, sahabatnya. Namun entah mengapa keputusan mendadak ini harus diambil Rengga. Salah satu alasannya karena Nara. Tinggal dan kepergian itu dikarenakan satu alasan. Hanya saja, tujuan berbeda. Rengga pergi meninggalkan Nara.
            
Rectangular Callout: Setelah ini, siapa yang akan membuatku kecewa?!Sms terakhir Rengga setelah percakapan itu. Dia tak menjelaskan mengapa dia pergi. Nara biasa dikecewakan olehnya, namun kini Rengga memutuskan kekecewaan itu.
           


            Hujan seperti menangisi kesedihan Nara. Tiap derasnya ujung mata, hujan semakin deras mengucur dari ujung langit. Nara menangis sekencang-kencangnya. Deras hujan menyamarkan sedihnya.
“Aku tak ingin siapa pun mendengar tetesan air mataku.” Sembunyi di balik hujan.
“Aku akan berhenti menangis jika hujan tak mampu menyembunyikannya lagi. Aku takut ketahuan tersedu jika hujan reda.” Kebiasaan Nara mengangis ditengah keramaian membuat dia lebih nyaman. Biasanya jika tak ada hujan dia akan membunyikan keras-keras suara televisi di kamar.
            Perlahan hujan hanya meninggalkan tetes di dedaunan. Sayup angin mengembuskannya, hanya nampak seperti gerimis kecil. Seketika air mata terhenti meninggalkan semburat luka dan sembab. Sementara hujan terhenti meninggalkan semburat lengkungan pelangi keindahan.
            Seandainya setelah air mata itu Nara bisa menghapus kesedihannya, pasti bahagia terasa ketika menatap cekungnya warna dari bawah. Sembab menatap cerahnya. Seketika air mata menetes, seolah cerah warna pelangi telah melukai.
***

            Tak ada kabar dari Rengga. Sebelumnya Rengga sempat mengirim pesan singkat. Walau hanya sapaan, cukup untuk bekal selama seminggu. Sekali dalam seminggu. “Setidaknya aku tahu, dia masih mengingatku.”
“Kudengar Rengga kurusan Re,” Nara nampak mencemaskan Rengga.
“Iya tuh Ra! Dia kangen kali sama kamu, mikirin kamu terus,” Nara dan Kire saling menatap.
“Ngarang kamu! Dia itu sibuk jadi pawang kanguru di sana. Kerja part time sambil kuliah,” ledek Nara. Nara masih kesal dengan Rengga.
“Bisa aja kamu Ra. Ya emang begitu kali ya, he..” Kire tersenyum, “Udah, gak usah dipikir. Nanti juga kalau kangen pasti dia yang menghubungi duluan.”
            Ini tak akan baik-baik saja. Nara tak punya teman lelaki, selain sahabatnya Rengga. Kedekatannya ya hanya dengan Rengga. Selama ini tak ada yang benar-benar dekat dengan Nara.
“Aku nyebelin ya Re??”
“Kamu ngomong apa sih Ra?” Tatapan Nara kalut. Teralis menjadi penghalang pandangan, memagari balkon rumah.
“Kamu lihat, apa ada cowok di luar sana yang mau sama aku Re! Kamu tahu, tak ada cowok yang benar-benar serius mengharapkanku! Aku salah apa Re...”
Kire terdiam, dadanya mendadak sesak, “Aku... aku nggak tahu mau ngomong apa Ra,” jawab Kire pelan
            Nara cantik, pintar, baik, banyak lebihnya. Namun sepertinya cinta tak butuh penjelasan tentang itu semua.
“Setiap menjalin hubungan tak pernah ada yang berhasil. Mungkin akibat dari prinsip itu, semua seakan memberikan jalan yang sealur, seirama,” terbesit dalam pikiran Kire. Nara selalu berselisih dengan perasaannya. Selama ini, hanya Rengga lelaki yang bisa mengertinya. Yang lainnya ─ bagi Nara cukup Rengga di sampingnya. Nara tak butuh teman lelaki lain selain dia.
“Pasti ada yang salah!” Kire turut sedih, dia tahu rasanya bagaimana seorang perempuan yang menghadapi masalah seperti ini. Karena terlalu tergantung pada sosok Rengga ─ salah Nara ─ hingga dia sulit terbiasa tanpa Rengga.
“Sabar ya Re, kita sama-sama pernah merasakan, aku juga sama...” Kire berhenti bicara, meredam segala kesedihan dalam diam.
“Ra, belum saatnya. Kamu akan mendapatkan ganti yang lebih baik dari kesedihan yang kamu rasakan sekarang,” kata Kire sambil menyeka air matanya, “Akan ada kebahagian setelah kesedihan Ra. Ingat prinsip itu!!” Nara diam, diingatkan Kire.
“Kinara Larasati kamu akan jadi orang hebat. Buktikan itu!” teriak Kire dari balkon. Suaranya terdengar jelas sampai penjual nasi goreng keliling terusik dan mendongak ke sumber suara. Nara tersenyum di tengah tangisannya yang belum usai.
            Nara menangis karena Rengga, dia merasa bersalah atas kepergian Rengga. Matanya selalu terlihat sembab, kantung mata hitam terlihat jelas.
“Baru sadar, dia pasti menangis semalaman,” Kire prihatin melihat sahabatnya.
****
  
            Malam hari, di sungai Banjir Kanal Barat, beribu air mata ikut larut membanjiri kisah hidupnya. Di sana Nara menelantarkan perasaan Rengga. Saat Rengga mengharapkan Nara mengatakan iya pada cintanya. Sekian lama Rengga pergi tanpa ada kabar. Hampir tak tahu apakah Rengga baik-baik saja kuliah di Australia, atau dia pergi entah ke mana. Keluarganya juga telah pindah mengikuti ayah Rengga yang dipindahtugaskan dari kerjanya. Nara semakin kehilangan kabar Rengga.
            Setahun sudah Rengga pergi. Lebaran tahun ini telah lewat, Rengga juga tak berkunjung. Biasanya momen minta maaf dan bagi-bagi angpao dari saudara tak pernah mereka lewatkan. Mengunjungi satu persatu saudara. Betapa Nara merindukan saat itu, dan sekarang hanya bisa mengkhayalkannya.
            Di tengah lamunan, perlahan mendekat sosok yang seperti Nara kenal. Turun dari mobil sport warna merah membara.
“Siapa ya?” gumam Nara, sambil mengambil kacamata di saku bajunya. Perlahan sosok lelaki itu semakin mendekat menuju arah Nara yang hampir tak percaya.
“Kalau dia Rengga kenapa kulitnya jadi putih bersih, lebih tinggi, dan postur tubuhnya lebih tegap?!”
Dilepas kacamata Nara, samar-samar dari wajahnya. Lelaki itu memang Rengga. Nara terperanga, terdiam tak mengerti harus bagaimana.
“Kenapa kamu diam saja?” Nara terdiam cukup lama.
“Justru kamu yang sejak tadi diam. Lama pergi jauh, harusnya banyak cerita darimu yang bisa aku dengar,” Nara tersenyum. Rengga memeluk Nara.
“Mau sampai kapan kamu diam memendam semuanya?”
Rengga memeluk Nara lebih erat, seperti ingin menangis. Nara tak kuat lagi menahan kesedihan. Namun Nara tetap tak bisa menangis. Aneh, hanya perasaan mengganjal di dada yang membuat semuanya tertahan. Tak ada kata satu kata pun terucap.
“Apa kamu mencintaiku?” tiba-tiba Rengga bertanya. Nara hanya terdiam.
“Tak perlu dikatakan. Aku sudah sangat tahu,” belum sempat bicara, Rengga menyela, “Maafkan aku,” lalu tertunduk.
            Bertemu sebelum purnama berakhir, sebelum  purnama digantikan oleh perbani akhir. Penanggalan Jawa menunjukkan angka lima belas. Rengga muncul tiba-tiba, entah ada maksud apa. Bulan terlihat utuh, memandang langit yang penuh bintang. Nara dan Rengga hanya duduk, tak ada percakapan berarti.
            Baru menyadari kalau yang memisahkan harapan dari kenyataan itu kesenjangan. Kesenjangan hati, kesenjangan perasaan. Dan kesenjangan antara Rengga dan Nara adalah cinta sepihak. Harusnya ada yang memberi juga ada yang menerima. Berulang kali mencoba menumbuhkan perasaan untuk menerima cinta Rengga, namun Nara tak pernah bisa.
            Nara menyesal, tak bisa memanfaatkan waktu. Tak bisa melakukan sebaik-baiknya untuk berusaha mencari apa yang bisa membuat Nara tertarik pada Rengga. Namun apa yang bisa Nara berikan, setelah semua terlampaui tanpa banyak kehadiran yang bisa ditunjukkan.
“Yang saat itu kupikirkan, cukup aku yang tahu perasaan ini. Rasa sayang yang tak perlu kutunjukkan karena memang tak ada. Cukup dengan doaku untuk kebaikan Rengga.”
***

            Setelah Rengga kembali, entah mengapa perasaan Nara justru biasa saja, tak bisa seakrab persahabatan yang terjalin lalu.
“Bukankah ini yang aku inginkan?! Bertemu dan melihat Rengga. Namun ─ kenapa lain rasanya?!” Nara gusar, mengapa datar, seakan orang lain. Tak ada getaran yang membuat Nara ingin menangis, sesak yang membuat sulit bernafas, binar mata penuh rindu yang teramat dalam pada Rengga. Itu karena tangisan untuk Rengga telah habis saat kepergiannya, perasaan yang tak berarti lagi setelah dia pergi.
            Bertemu teman lama, menceritakan kenangan masa lalu. Ya seadanya, senyum dan tawa seadanya, tak ada yang istimewa. Minggu pertama berkumpul bersama Rengga, jalan-jalan bersama. Nara memilih pergi ke bekas taman margastwa yang berfungsi alih menjadi tempat outbond. Indah, hanya saja kandang-kandangnya tak lagi berpenghuni, selain nyamuk dan serangga yang menempati tempat menguning karatan di sana.
            Bukan untuk outbond, Nara memilih untuk menyusuri sungai di bawah jembatan besi di sana. Tak banyak bicara, hanya ungkapan kekaguman karena udara pagi yang menyejukkan hati dan indahnya pemandangan. Dingin, sedingin sikap Nara. Hanya Kire yang terlihat lebih menikmati perjalanan bersama Rengga.
“Ayo foto Ra atau kamu mau terus-terusan dikerubungi semut di situ, ” teriak Kire yang telah siap foto bersama Rengga. Kire melihat Nara yang sibuk menghalau semut yang menyumbul dari batu persembunyiannya.
“Iya Re...”
“Iya, yang mana ni?! Kamu sih pake nglempar-nglempar batu segala,” Kire tertawa puas. Rengga hanya tersenyum kecil.
            Satu kali pencet, Nara langsung pergi. Nara tampak tak ramah. Kire belum juga menyadari, Nara tak nyaman pergi bersama Rengga. Akhirnya hujan yang dinanti Nara turun juga. Dan perjalanan berakhir. Alasan Nara menyukai hujan. Dia selalu menikmati mendung dan berdoa hujan akan turun. Penyelamat hati dan penyelimut hati. Dia terselamatkan dari ketidaknyamanannya. Nara selalu merasa tenang saat hujan turun, menyelimuti hatinya. Baginya hujan itu hangat, meneduhkan hati yang gersang. Selalu bisa menyembunyikan tangisan dan kesedihannya.
***

            Malam hari, keluarga Rengga telah menempati rumahnya yang dulu sejak Rengga kembali. Mengadakan pertemuan di kebun rumah mereka. Kire dan Nara hadir bersama keluarga besarnya, setelah lama tak pernah berkumpul semenjak Rengga pergi. Acara besar, meja-meja yag dipenuhi makanan berjejer dan keluarga besar Rengga yang menjadi tuan rumah berada di tengah kerumunan undangan, berbaur dengan tamu yang lain.
“Kalau hanya acara syukuran pindah rumah dan menjalin tali silaturahim, mengapa wah sekali acaranya,” gumam Nara. Ada yang aneh, Kire juga tampak cantik dan rapi, tak seperti biasanya.
Nara berjalan menemui Kire, “ada apa sih Re? Tumben kamu rapi banget.”
“Enggak tahu Ra, tadi mama sama papa yang nyuruh. Ini gaun mereka yang mau, ya terpaksa deh dipakai... jelek ya?!”
“Enggak, cantik kok, keren Re!” Nara menggoda Kire.
            Tak lama, setelah lama menunggu acara dimulai, suara orang meminta perhatian terdengar, semua tamu memusatkan perhatian ke sumber suara. Bicara panjang lebar mengenai acara ini. Sampai sambutan dari pihak keluarga Rengga, mereka mengumumkan sesuatu hal yang sangat penting.
“Nampaknya ini inti acaranya,” Nara menatap serius ke ayah Rengga yang sedang berbicara.
Semua tamu bertanya-tanya, sebenarnya apa yang ingin disampaikan keluarga Rengga. Berjejeran dengan keluarga Kire. Kire ikut kebingungan, sama tak mengertinya dengan tamu lain. Hanya kode senyum yang dilontarkan orang tua Rengga pada kedua orang tua Kire.
“... keputusan untuk menyatukan putra satu-satunya kesayangan kami, Rengga Pradiantara dengan putri bapak Widhi.” Panjang lebar ayah Rengga bicara, hanya itu yang ditangkap telinga Nara. Maksudnya jelas, hanya saja cukup mengagetkan Nara, membuat samar antara yakin dan tak yakin maksudnya. Rengga maju ke depan diikuti Kire yang tak kalah kagetnya. Kire dijodohkan dengan Rengga.
“Pasti iya kan, benar! Tapi...” Nara terdiam, terlalu mendadak dan tak menyangka akan seperti ini.
            Nara tak mempunyai perasaan apa pun pada Rengga, tak penting perjodohan ini. Kire yang lebih dikhawatirkan Nara. Awalnya Kire menolak, terlihat dari sikapnya yang berkali-kali menoleh ke arah kedua orangtuanya dan berharap penjelasan. Namun dia sangat menyayangi keluarganya. Berontak Kire hanya sebatas ingin meminta penjelasan mengapa mendadak dan Kire tak tahu-menahu perjodohan ini. Keputusan antar dua keluarga besar. Kire harus menurutinya. Sama halnya dengan Kire, Rengga tak bisa berbuat apa-apa.
            Sepanjang acara Kire mencoba tegar. Nara hanya bisa memandangnya jauh. Kire butuh waktu untuk mempercayainya sendiri. Nara hanya tersenyum saat Kire memandangnya. Tak ingin bergabung dengan dua keluarga yang sedang berbahagia ini, kecuali Rengga dan Kire, keterpaksaan terlihat dari raut wajah mereka.
“Waktu itu, mereka yang bermasalah dengan hati. Sekarang aku bukan lagi penonton. Sekarang peran itu aku yang menanggung Ra. Tenang saja, aku akan bahagia,” batin Kire, bergantian memandangi Nara dan Rengga.
***

            Kire telah memutuskan untuk mempertimbangkannya, namun harus ada penyelesaian untuk lebih yakin dengan pilihannya. Nara sebagai penengah malam itu. Di rumah makan terapung, lengkap sudah keindahan yang terbalut kebingungan. Seperti menikmati indahnya mawar, tiba-tiba tertusuk duri. Percakapan antara Rengga dan Kire yang disaksikan Nara. Sebagai jalan keluar, mereka mengalah. Mencoba menjalani hubungan yang diarahkan orang lain, keluarga mereka.
“Baiklah, ini keputusan terbaik. Tak perlu mengorbankan keluarga, cukup aku yang terluka. Mungkin ─ nanti akan terbiasa,” Kire melemparkan senyum pada Rengga. Nara hanya bisa diam, tak mengerti jalan pikiran mereka berdua yang seakan pasrah.
“Bisa apa aku, kalau mereka sendiri bisa menerima keputusan perjodohan ini!”
            Nara dan Kire memutuskan untuk lebih lama menikmati malam ini. Rengga lebih dulu pergi, dia mengerti akan ada sesi curhat setelah ini. Rengga tak ingin mengganggu.
“Aku pulang...” Tak ada respon berarti, hanya senyum kecil yang terlihat di suasana remang malam itu.
            Tak pernah mereka sebingung ini. Nara melihat kegundahan Kire sekaligus kekaguman pada dirinya. Sama sekali tak ada keegoisan.
“Mau gimana lagi Ra. Kamu yang dicintai Rengga, sekarang aku yang akan menjalani hidup dengannya.”
“Kamu bisa saja menolak kan Re?!”
“Enggak Ra! Aku yakin ini yang terbaik.” Lagi-lagi ini mengenai pilihan.
“Pilihan?! Dari awal, kamu sudah mendoktrin tak ada pilihan lain. Bukankah itu pemaksaan. Banyak pilihan, namun kamu...” Nara berhenti, tak melanjutkan. Terhenti pada satu alasan yang membuatnya ingin menerima begitu saja ─ keluarga. Keluarga memang segalanya, Nara sangat memahami. Jika keluarga alasannya, apa pun akan dilakukan demi kebahagiaan orang tua.
“Mungkin, jika aku diposisinya... aku akan melakukan hal yang sama,” Nara tertunduk.
            Hal yang pantas dikagumi dari Kire, dia hanya diam dan tersenyum menjalani semua yang telah ditentukan keluarganya. Mengorbankan cintanya, yang Nara tahu Kire sedang menanti seseorang. Kenan, lelaki yang sangat diharapkan Kire. Perasaan yang belum sempat terungkapkan itu, kini harus disudahi.
“Kire hebat bisa memendam perasaan selama hampir tiga tahun pada kakak angkatnya di kampus itu,” Nara kagum.
Cinta yang bersemi tanpa tanda tanya. Apakah Kenan juga mencintainya atau tidak. Bertahan tanpa ada kepastian selama itu, betapa hebatnya Nara. Dan saat ini Kire harus bersama orang lain. Tak ada sedikit pun keluhan keluar dari mulut Kire. Ada kekecewaan dari sorot matanya, namun ia tak pernah mengutarakannya. Baginya, mendapatkan kepastian itu lebih penting untuk seorang perempuan.
“Ya tapi bukan berarti harus mengorbankan perasaan kan Re?!”
“Cinta itu tentang pengorbanan Ra.”
“Enggak Re, bukan cinta jika menyakiti!”
“Siapa yang bilang ini menyakitkan!” terdiam, “Lebih menyakitkan jika kita tak pernah mendapatkan kepastian dari orang yang kita sayangi!” Kire menangis di pelukan Nara.
“Aku tak tahu jika selama ini Kire memendam perasaannya yang teramat dalam pada Kenan,” batin Nara. Nara semakin erat memeluk Kire yang berusaha untuk diam. Namun air matanya terus mengalir. Tisu yang menyeka tak kunjung mengeringkan tetesan kesedihan.
***

            Menahun, Kire mencoba menjalin pertemanan dengan Kenan. Harusnya Kenan tahu jika ada perasaan lebih yang ditunjukkan Kire. Namun mengapa Kenan tetap acuh. Jawabannya sudah pasti karena tak ada perasaan apa pun untuk Kire. Hati Nara bergetar mendengar penjelasan Nara.
“Jadi selama ini, aku mengaku sahabat dekat dengan Kire tapi aku tak tahu apa pun tentang perasaan Kire. Ya Tuhan, betapa egoisnya diriku!” Nara menangis.
            Sekali pun mengaku dekat, seseorang tak akan pernah tahu orang lain. Karena setiap orang itu unik dan misterius. Tak satu pun orang yang secara pasti mengenal benar orang lain. Dan Kire, orang terunik dan termisterius yang Nara kenal. Padahal setiap hari Kire bisa menyematkan nama Kenan pada setiap ceritanya. Nara tahu Kire menyukai Kenan, namun tak pernah dia tahu cinta Kire yang teramat dalam. Kire tak mau bercerita acuhnya Kenan padanya. Nara terlalu disibukkan dengan cerita cintanya. Nara merasa tak pantas disebut sahabat.
“Jangan merasa bersalah seperti itu! Aku memang tak ingin bercerita tentang yang satu itu Ra. Malu aku Ra! Hampir tiap hari aku bercerita cinta yang menyenangkan, namun kenyataannya cinta itu nggak pernah ada untukku.”
            Bagaimana bisa Kire tahu dia diacuhkan, namun tak membuat perasaannya melemah sedikit pun. Dia selalu bercerita indahnya. Bercerita bagaimana senangnya dia berpapasan dengan Kenan, namun ia tak pernah bercerita jika saat itu juga Kenan hanya berlalu, tak mempedulikannya.
“Kire...” kata Nara lirih. Nara mengusap-usap punggung Kire. Keluar air mata haru, tak menyangka kisah sahabatnya bisa seperti ini. Tak terbayangkan betapa sedihnya hati Nara, mendapati sahabatnya yang bisa sejauh ini melewati masa sulitnya sendiri. Dan Kenan, harusnya dia bisa mengatakan pada Kire untuk berhenti mengejarnya. Namun dia membiarkan Kire terus berharap. Setakpenting apa pun orang itu, harusnya Kenan tak membiarkan Kire begitu saja tanpa ada tanggapan sedikit pun. Bertahun-tahun berharap, Nara salut dengan Kire yang setangguh ini, berjuang dalam diamnya.
***

            Tak dibayangkan sebelumnya, Kire sahabat Nara akan meninggalkan masa lajangnya secepat ini. Nara berdiri di pertengahan cinta mereka. Entah bisa disebut cinta atau bukan. Dalam perdebatan malam itu, mereka bersepakat untuk mulai menumbuhkan cinta diantara mereka.
            Cinta bisa tumbuh, seiring berjalannya waktu karena keadaan yang membuat demikian. Pemaksaan atau tidak, Kire sangat tegar menjalaninya. Ketika ada yang bingung mengenai masa depannya, ternyata kepastian itu harus datang dari tangan orang lain. Berharap limpahan keputusan keluarga Kire dengan Rengga bisa menyatukan cinta dua hati.
            Hidup memang penuh kejutan. Kita tak pernah benar-benar tahu apa yang akan terjadi di depan. Yang terjadi pada Kire juga merupakan kejutan buat Nara. Tak pernah menyangka jalan hidup Nara, Kire, dan Rengga akan seperti ini.
            Nara ingin membantu Kire namun selalu tentang kebingungan ─ harus bagaimana. Kire juga tak menginginkan untuk dibantu. Dia justru bisa menerima keadaan meskipun harus mengingkari hatinya.
“Ra, satu yang harus kamu lakukan untukku. Kamu mau melakukannya kan?!”
“Pasti Re! Apa yang perlu aku lakukan?”
“Yakinkan aku! Ini akan baik-baik saja kan Ra?!”
“Pasti Re, pasti!” Nara tersenyum, mengurangi kegundahan hati sahabatnya.
            Kire menginginkan Nara mendukungnya bukan membuat dia bimbang dengan pilihannya. Karena pasti akan memberatkan Kire jika sahabatnya sendiri masih ragu. Hanya itu yang dibutuhkannya.
“Apa pun itu Re, kamu akan bahagia!”
            Melihat ketulusan Kire, kebaikan Kire, mau menerima apa yang terjadi sekali pun itu menyakitkan untuknya, Nara menjadi semakin kagum dengan Kire. Seseorang yang apa adanya. Menerima apa pun yang terjadi pada dirinya. Termasuk keluhnya yang dulu sempat merasa tak percaya diri pada tubuhnya yang gendut. Seiring berjalannya waktu, kelebihan bahkan kekurangannya justru telah menjadi bagian dirinya yang menambah kebaikan hatinya, membuat dirinya menjadi pribadi yang kuat dan tegar.
            Saat terakhirnya, sebelum ikrar untuk melabuhkan hatinya, Kire hanya mengatakan, “Jangan kaucari bahagiamu, dia akan ada saat waktunya. Simpan hatimu untuk orang yang kauyakini ‘untuk selamanya’...” Pesan itu harusnya untuk dia sendiri. Selama ini dia mencari kebahagiaannya yang dia pikir ada pada Kenan. Tak ada yang tahu, hati memang penuh misteri.

No comments:

Post a Comment