Yang
teristimewa kadang berseberangan.
Kau
akan seperti mentari yang menghangatkan di ujung kutub.
Kau
akan seperti hujan yang menyejukkan di hamparan padang gersang.
Rengga
hadir untuk itu, alasan persahabatan ini ada. Dia ada ketika orang lain tak
ada. Dia hadir ketika orang lain tak peduli. Tempat berbagi hanya Rengga,
sahabat laki-laki Nara yang dengan tulus ada di sampingnya. Setidaknya sampai
Rengga harus memutuskan untuk pergi meninggalkan Nara.
Nara mulai menerima dan membuka
hatinya untuk Rengga. Nara mengikuti saran Kire untuk membuka perasaan lain,
selain persahabatan yang dia punya untuk Rengga. Namun Rengga justru memilih
untuk menyudahi semuanya. Sebelum keputusan Nara sempat dijalani, Rengga tak
menyertakan Nara dalam pilihannya.
“Dia memilih untuk meninggalkanku, Re! Terlambat,
semuanya terlambat. Semua saran darimu tak berarti apa pun,” Nara tertunduk
lesu.
Tak
ada pilihan lain selain meninggalkannya. Nara kehilangan Rengga sebagai sahabat
dan masa depan yang hanya tinggal rencana.
“Jika Rengga ingin pergi aku tak bisa menghalangi
jalannya.”
Nara menemukan foto yang tersisa di dompet, terselip
kenangan yang harus segera dibuang, “Waktu itu ─ dia yang mau dekat denganku,
saat benjolan seperti disengat lebah ada di jidat.” Benjolan besar karena
jerawat meradang, terlihat jelas di foto ukuran 4x6 itu. Entah mengapa foto itu
masih tertinggal di lipatan dompet Nara.
Waktu
itu, hanya Rengga yang menjadikan kata terangkai kalimat bagi Nara.
Melambungkan ingatan yang akan pecah dan penuh tangis. Teringat masa SMP. Saat
Nara menjadi anak yang sangat angkuh, self-fish,
dan menyebalkan. Nara menjadi pribadi yang sensitif pada hal apa pun. Sempat
dibenci teman-teman dekatnya. Dan dia tak dekat dengan teman lain sekelasnya,
selain teman dekat yang semakin menjauhinya.
Nara
menjadi pendiam, nilainya menurun drastis. Setiap kali guru bertanya, Nara
hanya bisa diam. Setiap kali ditegur temannya dia hanya tersenyum. Entah
mengapa, sebuah kata menjadi hal yang sangat mahal untuk terucap. Hanya Rengga
yang mengerti Nara. Bukannya menjauh, Rengga justru ingin menolong Nara. Nara
menjadi remaja yang tumbuh dengan kebaikan. Itu semua karena Rengga.
“Apa berarti aku harus melupakanmu. Aku tak akan
menyesali, biar saja kamu yang menyesal! Aku berharap demikian. Namun apa benar
kamu mencintaiku? Jika iya, penyesalan meninggalkanku pasti ada. Dan sayangnya,
cinta itu tak pernah ada untukku bukan?!” Dengan penuh tanya Nara mulai ragu
dengan perasaan yang sempat Rengga nyatakan. Rengga hanya terbawa perasaan.
Nara
hanya ingin menghapus semuanya. “Hanya saja ─ jika tak berbekas ─ akan sangat
mudah bagiku.”
“Apa yang bisa kulakukan, dengan persahabatan yang
sekejap berubah jadi benci.” Jika Nara harus membenci Rengga dan tak bisa
memaafkannya, Nara tak menginginkan semua itu terjadi.
“Aku tak sanggup jika terus-menerus berpikir buruk
dan membencimu,” Nara meremas plastik berisi keripik singkong buatan bundanya.
Seketika bunda Nara menghela nafas, suara melengking terdengar menegur Nara,
“Kinara, remuk sudah!”
***
Hujan sore tanggal sembilan
belas, tanggal yang menjanjikan keindahan bagi Nara tiap bulannya. Masih
menjadi angka favorit Nara, tanggal ulang tahunnya. Kini berbeda, keindahan
seketika berubah menjadi tangisan. Rengga pergi meninggalkan air mata yang
belum sempat Nara jatuhkan di hadapannya. Persahabatan yang terjalin sedari
dini ini tak cukup untuk meyakinkan takdir persahabatan ini akan selamanya.
“Lebih baik berpisah,” mendengarkan suara tanpa
sosok Rengga
“Sebegitu hinakah hubungan ini, hingga kamu tak bisa
mengatakannya langsung di hadapanku?” Dua dekade mengenal Rengga dengan
persahabatan yang terjalin, berakhir dengan dua puluh detik akhir panggilan.
Handphone terbanjiri air mata yang tak sempat Rengga saksikan. Lelehan
kesedihan dari tak berharganya waktu.
Rengga
memilih untuk mengiyakan keinginan ayahnya kuliah ke luar negeri. Sebelumnya
Rengga selalu menolak, dia tak ingin meninggalkan Nara, sahabatnya. Namun entah
mengapa keputusan mendadak ini harus diambil Rengga. Salah satu alasannya
karena Nara. Tinggal dan kepergian itu dikarenakan satu alasan. Hanya saja,
tujuan berbeda. Rengga pergi meninggalkan Nara.
Sms terakhir
Rengga setelah percakapan itu. Dia tak menjelaskan mengapa dia pergi. Nara biasa
dikecewakan olehnya, namun kini Rengga memutuskan kekecewaan itu.
Hujan
seperti menangisi kesedihan Nara. Tiap derasnya ujung mata, hujan semakin deras
mengucur dari ujung langit. Nara menangis sekencang-kencangnya. Deras hujan
menyamarkan sedihnya.
“Aku tak ingin siapa pun mendengar tetesan air
mataku.” Sembunyi di balik hujan.
“Aku akan berhenti menangis jika hujan tak mampu
menyembunyikannya lagi. Aku takut ketahuan tersedu jika hujan reda.” Kebiasaan
Nara mengangis ditengah keramaian membuat dia lebih nyaman. Biasanya jika tak
ada hujan dia akan membunyikan keras-keras suara televisi di kamar.
Perlahan
hujan hanya meninggalkan tetes di dedaunan. Sayup angin mengembuskannya, hanya
nampak seperti gerimis kecil. Seketika air mata terhenti meninggalkan semburat
luka dan sembab. Sementara hujan terhenti meninggalkan semburat lengkungan
pelangi keindahan.
Seandainya
setelah air mata itu Nara bisa menghapus kesedihannya, pasti bahagia terasa
ketika menatap cekungnya warna dari bawah. Sembab menatap cerahnya. Seketika
air mata menetes, seolah cerah warna pelangi telah melukai.
***
Tak
ada kabar dari Rengga. Sebelumnya Rengga sempat mengirim pesan singkat. Walau
hanya sapaan, cukup untuk bekal selama seminggu. Sekali dalam seminggu.
“Setidaknya aku tahu, dia masih mengingatku.”
“Kudengar Rengga kurusan Re,” Nara nampak
mencemaskan Rengga.
“Iya tuh Ra! Dia kangen kali sama kamu, mikirin kamu
terus,” Nara dan Kire saling menatap.
“Ngarang kamu! Dia itu sibuk jadi pawang kanguru di
sana. Kerja part time sambil kuliah,”
ledek Nara. Nara masih kesal dengan Rengga.
“Bisa aja kamu Ra. Ya emang begitu kali ya, he..”
Kire tersenyum, “Udah, gak usah dipikir. Nanti juga kalau kangen pasti dia yang
menghubungi duluan.”
Ini
tak akan baik-baik saja. Nara tak punya teman lelaki, selain sahabatnya Rengga.
Kedekatannya ya hanya dengan Rengga. Selama ini tak ada yang benar-benar dekat
dengan Nara.
“Aku nyebelin ya Re??”
“Kamu ngomong apa sih Ra?” Tatapan Nara kalut.
Teralis menjadi penghalang pandangan, memagari balkon rumah.
“Kamu lihat, apa ada cowok di luar sana yang mau
sama aku Re! Kamu tahu, tak ada cowok yang benar-benar serius mengharapkanku!
Aku salah apa Re...”
Kire terdiam, dadanya mendadak sesak, “Aku... aku
nggak tahu mau ngomong apa Ra,” jawab Kire pelan
Nara
cantik, pintar, baik, banyak lebihnya. Namun sepertinya cinta tak butuh
penjelasan tentang itu semua.
“Setiap menjalin hubungan tak pernah ada yang
berhasil. Mungkin akibat dari prinsip itu, semua seakan memberikan jalan yang
sealur, seirama,” terbesit dalam pikiran Kire. Nara selalu berselisih dengan
perasaannya. Selama ini, hanya Rengga lelaki yang bisa mengertinya. Yang
lainnya ─ bagi Nara cukup Rengga di sampingnya. Nara tak butuh teman lelaki
lain selain dia.
“Pasti ada yang salah!” Kire turut sedih, dia tahu
rasanya bagaimana seorang perempuan yang menghadapi masalah seperti ini. Karena
terlalu tergantung pada sosok Rengga ─ salah Nara ─ hingga dia sulit terbiasa
tanpa Rengga.
“Sabar ya Re, kita sama-sama pernah merasakan, aku
juga sama...” Kire berhenti bicara, meredam segala kesedihan dalam diam.
“Ra, belum saatnya. Kamu akan mendapatkan ganti yang
lebih baik dari kesedihan yang kamu rasakan sekarang,” kata Kire sambil menyeka
air matanya, “Akan ada kebahagian setelah kesedihan Ra. Ingat prinsip itu!!”
Nara diam, diingatkan Kire.
“Kinara Larasati kamu akan jadi orang hebat.
Buktikan itu!” teriak Kire dari balkon. Suaranya terdengar jelas sampai penjual
nasi goreng keliling terusik dan mendongak ke sumber suara. Nara tersenyum di
tengah tangisannya yang belum usai.
Nara
menangis karena Rengga, dia merasa bersalah atas kepergian Rengga. Matanya
selalu terlihat sembab, kantung mata hitam terlihat jelas.
“Baru sadar, dia pasti menangis semalaman,” Kire
prihatin melihat sahabatnya.
****
Malam
hari, di sungai Banjir Kanal Barat, beribu air mata ikut larut membanjiri kisah
hidupnya. Di sana Nara menelantarkan perasaan Rengga. Saat Rengga mengharapkan
Nara mengatakan iya pada cintanya. Sekian lama Rengga pergi tanpa ada kabar.
Hampir tak tahu apakah Rengga baik-baik saja kuliah di Australia, atau dia
pergi entah ke mana. Keluarganya juga telah pindah mengikuti ayah Rengga yang
dipindahtugaskan dari kerjanya. Nara semakin kehilangan kabar Rengga.
Setahun
sudah Rengga pergi. Lebaran tahun ini telah lewat, Rengga juga tak berkunjung.
Biasanya momen minta maaf dan bagi-bagi angpao dari saudara tak pernah mereka
lewatkan. Mengunjungi satu persatu saudara. Betapa Nara merindukan saat itu,
dan sekarang hanya bisa mengkhayalkannya.
Di
tengah lamunan, perlahan mendekat sosok yang seperti Nara kenal. Turun dari
mobil sport warna merah membara.
“Siapa ya?” gumam Nara, sambil mengambil kacamata di
saku bajunya. Perlahan sosok lelaki itu semakin mendekat menuju arah Nara yang
hampir tak percaya.
“Kalau dia Rengga kenapa kulitnya jadi putih bersih,
lebih tinggi, dan postur tubuhnya lebih tegap?!”
Dilepas kacamata Nara, samar-samar dari wajahnya.
Lelaki itu memang Rengga. Nara terperanga, terdiam tak mengerti harus
bagaimana.
“Kenapa kamu diam saja?” Nara
terdiam cukup lama.
“Justru kamu yang sejak tadi
diam. Lama pergi jauh, harusnya banyak cerita darimu yang bisa aku dengar,”
Nara tersenyum. Rengga memeluk Nara.
“Mau sampai kapan kamu diam
memendam semuanya?”
Rengga memeluk Nara lebih erat,
seperti ingin menangis. Nara tak kuat lagi menahan kesedihan. Namun Nara tetap
tak bisa menangis. Aneh, hanya perasaan mengganjal di dada yang membuat
semuanya tertahan. Tak ada kata satu kata pun terucap.
“Apa kamu mencintaiku?” tiba-tiba
Rengga bertanya. Nara hanya terdiam.
“Tak perlu dikatakan. Aku sudah
sangat tahu,” belum sempat bicara, Rengga menyela, “Maafkan aku,” lalu
tertunduk.
Bertemu
sebelum purnama berakhir, sebelum
purnama digantikan oleh perbani akhir. Penanggalan Jawa menunjukkan
angka lima belas. Rengga muncul tiba-tiba, entah ada maksud apa. Bulan terlihat
utuh, memandang langit yang penuh bintang. Nara dan Rengga hanya duduk, tak ada
percakapan berarti.
Baru
menyadari kalau yang memisahkan harapan dari kenyataan itu kesenjangan.
Kesenjangan hati, kesenjangan perasaan. Dan kesenjangan antara Rengga dan Nara
adalah cinta sepihak. Harusnya ada yang memberi juga ada yang menerima.
Berulang kali mencoba menumbuhkan perasaan untuk menerima cinta Rengga, namun
Nara tak pernah bisa.
Nara menyesal, tak bisa memanfaatkan
waktu. Tak bisa melakukan sebaik-baiknya untuk berusaha mencari apa yang bisa
membuat Nara tertarik pada Rengga. Namun apa yang bisa Nara berikan, setelah
semua terlampaui tanpa banyak kehadiran yang bisa ditunjukkan.
“Yang saat itu kupikirkan, cukup
aku yang tahu perasaan ini. Rasa sayang yang tak perlu kutunjukkan karena
memang tak ada. Cukup dengan doaku untuk kebaikan Rengga.”
***
Setelah
Rengga kembali, entah mengapa perasaan Nara justru biasa saja, tak bisa seakrab
persahabatan yang terjalin lalu.
“Bukankah ini yang aku inginkan?! Bertemu dan
melihat Rengga. Namun ─ kenapa lain rasanya?!” Nara gusar, mengapa datar, seakan
orang lain. Tak ada getaran yang membuat Nara ingin menangis, sesak yang
membuat sulit bernafas, binar mata penuh rindu yang teramat dalam pada Rengga.
Itu karena tangisan untuk Rengga telah habis saat kepergiannya, perasaan yang
tak berarti lagi setelah dia pergi.
Bertemu
teman lama, menceritakan kenangan masa lalu. Ya seadanya, senyum dan tawa
seadanya, tak ada yang istimewa. Minggu pertama berkumpul bersama Rengga,
jalan-jalan bersama. Nara memilih pergi ke bekas taman margastwa yang berfungsi
alih menjadi tempat outbond. Indah,
hanya saja kandang-kandangnya tak lagi berpenghuni, selain nyamuk dan serangga
yang menempati tempat menguning karatan di sana.
Bukan
untuk outbond, Nara memilih untuk
menyusuri sungai di bawah jembatan besi di sana. Tak banyak bicara, hanya
ungkapan kekaguman karena udara pagi yang menyejukkan hati dan indahnya
pemandangan. Dingin, sedingin sikap Nara. Hanya Kire yang terlihat lebih
menikmati perjalanan bersama Rengga.
“Ayo foto Ra atau kamu mau terus-terusan dikerubungi
semut di situ, ” teriak Kire yang telah siap foto bersama Rengga. Kire melihat
Nara yang sibuk menghalau semut yang menyumbul dari batu persembunyiannya.
“Iya Re...”
“Iya, yang mana ni?! Kamu sih pake nglempar-nglempar
batu segala,” Kire tertawa puas. Rengga hanya tersenyum kecil.
Satu
kali pencet, Nara langsung pergi. Nara tampak tak ramah. Kire belum juga
menyadari, Nara tak nyaman pergi bersama Rengga. Akhirnya hujan yang dinanti
Nara turun juga. Dan perjalanan berakhir. Alasan Nara menyukai hujan. Dia selalu
menikmati mendung dan berdoa hujan akan turun. Penyelamat hati dan penyelimut
hati. Dia terselamatkan dari ketidaknyamanannya. Nara selalu merasa tenang saat
hujan turun, menyelimuti hatinya. Baginya hujan itu hangat, meneduhkan hati
yang gersang. Selalu bisa menyembunyikan tangisan dan kesedihannya.
***
Malam
hari, keluarga Rengga telah menempati rumahnya yang dulu sejak Rengga kembali.
Mengadakan pertemuan di kebun rumah mereka. Kire dan Nara hadir bersama
keluarga besarnya, setelah lama tak pernah berkumpul semenjak Rengga pergi.
Acara besar, meja-meja yag dipenuhi makanan berjejer dan keluarga besar Rengga
yang menjadi tuan rumah berada di tengah kerumunan undangan, berbaur dengan
tamu yang lain.
“Kalau hanya acara syukuran pindah rumah dan menjalin
tali silaturahim, mengapa wah sekali acaranya,” gumam Nara. Ada yang aneh, Kire
juga tampak cantik dan rapi, tak seperti biasanya.
Nara berjalan menemui Kire, “ada apa sih Re? Tumben
kamu rapi banget.”
“Enggak tahu Ra, tadi mama sama papa yang nyuruh. Ini
gaun mereka yang mau, ya terpaksa deh dipakai... jelek ya?!”
“Enggak, cantik kok, keren Re!” Nara menggoda Kire.
Tak
lama, setelah lama menunggu acara dimulai, suara orang meminta perhatian
terdengar, semua tamu memusatkan perhatian ke sumber suara. Bicara panjang
lebar mengenai acara ini. Sampai sambutan dari pihak keluarga Rengga, mereka
mengumumkan sesuatu hal yang sangat penting.
“Nampaknya ini inti acaranya,” Nara menatap serius
ke ayah Rengga yang sedang berbicara.
Semua tamu bertanya-tanya, sebenarnya apa yang ingin
disampaikan keluarga Rengga. Berjejeran dengan keluarga Kire. Kire ikut
kebingungan, sama tak mengertinya dengan tamu lain. Hanya kode senyum yang
dilontarkan orang tua Rengga pada kedua orang tua Kire.
“... keputusan untuk menyatukan putra satu-satunya
kesayangan kami, Rengga Pradiantara dengan putri bapak Widhi.” Panjang lebar
ayah Rengga bicara, hanya itu yang ditangkap telinga Nara. Maksudnya jelas,
hanya saja cukup mengagetkan Nara, membuat samar antara yakin dan tak yakin
maksudnya. Rengga maju ke depan diikuti Kire yang tak kalah kagetnya. Kire
dijodohkan dengan Rengga.
“Pasti iya kan, benar! Tapi...” Nara terdiam,
terlalu mendadak dan tak menyangka akan seperti ini.
Nara
tak mempunyai perasaan apa pun pada Rengga, tak penting perjodohan ini. Kire
yang lebih dikhawatirkan Nara. Awalnya Kire menolak, terlihat dari sikapnya
yang berkali-kali menoleh ke arah kedua orangtuanya dan berharap penjelasan.
Namun dia sangat menyayangi keluarganya. Berontak Kire hanya sebatas ingin
meminta penjelasan mengapa mendadak dan Kire tak tahu-menahu perjodohan ini.
Keputusan antar dua keluarga besar. Kire harus menurutinya. Sama halnya dengan
Kire, Rengga tak bisa berbuat apa-apa.
Sepanjang
acara Kire mencoba tegar. Nara hanya bisa memandangnya jauh. Kire butuh waktu
untuk mempercayainya sendiri. Nara hanya tersenyum saat Kire memandangnya. Tak
ingin bergabung dengan dua keluarga yang sedang berbahagia ini, kecuali Rengga
dan Kire, keterpaksaan terlihat dari raut wajah mereka.
“Waktu itu, mereka yang bermasalah dengan hati.
Sekarang aku bukan lagi penonton. Sekarang peran itu aku yang menanggung Ra.
Tenang saja, aku akan bahagia,” batin Kire, bergantian memandangi Nara dan
Rengga.
***
Kire
telah memutuskan untuk mempertimbangkannya, namun harus ada penyelesaian untuk
lebih yakin dengan pilihannya. Nara sebagai penengah malam itu. Di rumah makan
terapung, lengkap sudah keindahan yang terbalut kebingungan. Seperti menikmati
indahnya mawar, tiba-tiba tertusuk duri. Percakapan antara Rengga dan Kire yang
disaksikan Nara. Sebagai jalan keluar, mereka mengalah. Mencoba menjalani
hubungan yang diarahkan orang lain, keluarga mereka.
“Baiklah, ini keputusan terbaik. Tak perlu
mengorbankan keluarga, cukup aku yang terluka. Mungkin ─ nanti akan terbiasa,”
Kire melemparkan senyum pada Rengga. Nara hanya bisa diam, tak mengerti jalan
pikiran mereka berdua yang seakan pasrah.
“Bisa apa aku, kalau mereka sendiri bisa menerima
keputusan perjodohan ini!”
Nara
dan Kire memutuskan untuk lebih lama menikmati malam ini. Rengga lebih dulu
pergi, dia mengerti akan ada sesi curhat setelah ini. Rengga tak ingin
mengganggu.
“Aku pulang...” Tak ada respon berarti, hanya senyum
kecil yang terlihat di suasana remang malam itu.
Tak
pernah mereka sebingung ini. Nara melihat kegundahan Kire sekaligus kekaguman
pada dirinya. Sama sekali tak ada keegoisan.
“Mau gimana lagi Ra. Kamu yang dicintai Rengga,
sekarang aku yang akan menjalani hidup dengannya.”
“Kamu bisa saja menolak kan Re?!”
“Enggak Ra! Aku yakin ini yang terbaik.” Lagi-lagi
ini mengenai pilihan.
“Pilihan?! Dari awal, kamu sudah mendoktrin tak ada
pilihan lain. Bukankah itu pemaksaan. Banyak pilihan, namun kamu...” Nara
berhenti, tak melanjutkan. Terhenti pada satu alasan yang membuatnya ingin
menerima begitu saja ─ keluarga. Keluarga memang segalanya, Nara sangat
memahami. Jika keluarga alasannya, apa pun akan dilakukan demi kebahagiaan
orang tua.
“Mungkin, jika aku diposisinya... aku akan melakukan
hal yang sama,” Nara tertunduk.
Hal
yang pantas dikagumi dari Kire, dia hanya diam dan tersenyum menjalani semua
yang telah ditentukan keluarganya. Mengorbankan cintanya, yang Nara tahu Kire
sedang menanti seseorang. Kenan, lelaki yang sangat diharapkan Kire. Perasaan
yang belum sempat terungkapkan itu, kini harus disudahi.
“Kire hebat bisa memendam perasaan selama hampir
tiga tahun pada kakak angkatnya di kampus itu,” Nara kagum.
Cinta yang bersemi tanpa tanda tanya. Apakah Kenan
juga mencintainya atau tidak. Bertahan tanpa ada kepastian selama itu, betapa
hebatnya Nara. Dan saat ini Kire harus bersama orang lain. Tak ada sedikit pun
keluhan keluar dari mulut Kire. Ada kekecewaan dari sorot matanya, namun ia tak
pernah mengutarakannya. Baginya, mendapatkan kepastian itu lebih penting untuk
seorang perempuan.
“Ya tapi bukan berarti harus mengorbankan perasaan
kan Re?!”
“Cinta itu tentang pengorbanan Ra.”
“Enggak Re, bukan cinta jika menyakiti!”
“Siapa yang bilang ini menyakitkan!” terdiam, “Lebih
menyakitkan jika kita tak pernah mendapatkan kepastian dari orang yang kita
sayangi!” Kire menangis di pelukan Nara.
“Aku tak tahu jika selama ini Kire memendam
perasaannya yang teramat dalam pada Kenan,” batin Nara. Nara semakin erat
memeluk Kire yang berusaha untuk diam. Namun air matanya terus mengalir. Tisu
yang menyeka tak kunjung mengeringkan tetesan kesedihan.
***
Menahun,
Kire mencoba menjalin pertemanan dengan Kenan. Harusnya Kenan tahu jika ada
perasaan lebih yang ditunjukkan Kire. Namun mengapa Kenan tetap acuh.
Jawabannya sudah pasti karena tak ada perasaan apa pun untuk Kire. Hati Nara
bergetar mendengar penjelasan Nara.
“Jadi selama ini, aku mengaku sahabat dekat dengan
Kire tapi aku tak tahu apa pun tentang perasaan Kire. Ya Tuhan, betapa egoisnya
diriku!” Nara menangis.
Sekali
pun mengaku dekat, seseorang tak akan pernah tahu orang lain. Karena setiap
orang itu unik dan misterius. Tak satu pun orang yang secara pasti mengenal
benar orang lain. Dan Kire, orang terunik dan termisterius yang Nara kenal.
Padahal setiap hari Kire bisa menyematkan nama Kenan pada setiap ceritanya.
Nara tahu Kire menyukai Kenan, namun tak pernah dia tahu cinta Kire yang
teramat dalam. Kire tak mau bercerita acuhnya Kenan padanya. Nara terlalu
disibukkan dengan cerita cintanya. Nara merasa tak pantas disebut sahabat.
“Jangan merasa bersalah seperti itu! Aku memang tak
ingin bercerita tentang yang satu itu Ra. Malu aku Ra! Hampir tiap hari aku
bercerita cinta yang menyenangkan, namun kenyataannya cinta itu nggak pernah
ada untukku.”
Bagaimana
bisa Kire tahu dia diacuhkan, namun tak membuat perasaannya melemah sedikit
pun. Dia selalu bercerita indahnya. Bercerita bagaimana senangnya dia
berpapasan dengan Kenan, namun ia tak pernah bercerita jika saat itu juga Kenan
hanya berlalu, tak mempedulikannya.
“Kire...” kata Nara lirih. Nara mengusap-usap
punggung Kire. Keluar air mata haru, tak menyangka kisah sahabatnya bisa
seperti ini. Tak terbayangkan betapa sedihnya hati Nara, mendapati sahabatnya
yang bisa sejauh ini melewati masa sulitnya sendiri. Dan Kenan, harusnya dia
bisa mengatakan pada Kire untuk berhenti mengejarnya. Namun dia membiarkan Kire
terus berharap. Setakpenting apa pun orang itu, harusnya Kenan tak membiarkan
Kire begitu saja tanpa ada tanggapan sedikit pun. Bertahun-tahun berharap, Nara
salut dengan Kire yang setangguh ini, berjuang dalam diamnya.
***
Tak
dibayangkan sebelumnya, Kire sahabat Nara akan meninggalkan masa lajangnya
secepat ini. Nara berdiri di pertengahan cinta mereka. Entah bisa disebut cinta
atau bukan. Dalam perdebatan malam itu, mereka bersepakat untuk mulai
menumbuhkan cinta diantara mereka.
Cinta
bisa tumbuh, seiring berjalannya waktu karena keadaan yang membuat demikian.
Pemaksaan atau tidak, Kire sangat tegar menjalaninya. Ketika ada yang bingung
mengenai masa depannya, ternyata kepastian itu harus datang dari tangan orang
lain. Berharap limpahan keputusan keluarga Kire dengan Rengga bisa menyatukan
cinta dua hati.
Hidup
memang penuh kejutan. Kita tak pernah benar-benar tahu apa yang akan terjadi di
depan. Yang terjadi pada Kire juga merupakan kejutan buat Nara. Tak pernah
menyangka jalan hidup Nara, Kire, dan Rengga akan seperti ini.
Nara
ingin membantu Kire namun selalu tentang kebingungan ─ harus bagaimana. Kire
juga tak menginginkan untuk dibantu. Dia justru bisa menerima keadaan meskipun
harus mengingkari hatinya.
“Ra, satu yang harus kamu lakukan untukku. Kamu mau
melakukannya kan?!”
“Pasti Re! Apa yang perlu aku lakukan?”
“Yakinkan aku! Ini akan baik-baik saja kan Ra?!”
“Pasti Re, pasti!” Nara tersenyum, mengurangi
kegundahan hati sahabatnya.
Kire
menginginkan Nara mendukungnya bukan membuat dia bimbang dengan pilihannya.
Karena pasti akan memberatkan Kire jika sahabatnya sendiri masih ragu. Hanya
itu yang dibutuhkannya.
“Apa pun itu Re, kamu akan bahagia!”
Melihat
ketulusan Kire, kebaikan Kire, mau menerima apa yang terjadi sekali pun itu
menyakitkan untuknya, Nara menjadi semakin kagum dengan Kire. Seseorang yang
apa adanya. Menerima apa pun yang terjadi pada dirinya. Termasuk keluhnya yang
dulu sempat merasa tak percaya diri pada tubuhnya yang gendut. Seiring
berjalannya waktu, kelebihan bahkan kekurangannya justru telah menjadi bagian
dirinya yang menambah kebaikan hatinya, membuat dirinya menjadi pribadi yang
kuat dan tegar.
Saat terakhirnya, sebelum ikrar
untuk melabuhkan hatinya, Kire hanya mengatakan, “Jangan kaucari bahagiamu, dia
akan ada saat waktunya. Simpan hatimu untuk orang yang kauyakini ‘untuk
selamanya’...” Pesan itu harusnya untuk dia sendiri. Selama ini dia mencari
kebahagiaannya yang dia pikir ada pada Kenan. Tak ada yang tahu, hati memang
penuh misteri.
No comments:
Post a Comment