Jam dinding yang tak pernah tepat.
Empat jam dinding dan arloji yang Nara kenakan tak pernah menunjukkan waktu
sebenarnya. Sengaja waktu diajukan lebih cepat sepuluh hingga lima belas menit.
Nara memperhatikan Kire yang terus-menerus menatap jam di tangannya dan jam
besar yang menggantung di dinding.
“Kata
bunda agar kita sekeluarga tak bisa bermalas-malasan Re,” celetuk Nara sambil
merapikan buku yang berserakan di ruang tengah. Alasannya, jika waktu diajukan
lebih cepat maka semua kegiatan akan maju dengan sendirinya, walau harus
tertipu waktu.
“Bukan
aku yang mengejar waktu. Karena waktu tak akan terkejar. Aku dan waktu tak
pernah jalan bersamaan, apalagi untuk mengejarnya,” gumam Nara yang serba mepet
melakukan sesuatu.
“Ah,
kurang lima belas menit lagi,” pikir Nara tak peduli.
Jam berdentang setiap pergantian
jam. Nara tahu, waktu belum saatnya menunjukkan apa yang ditunjuk jarum jam.
Nara acuh, berlalu begitu saja. Jarum jam tanpa kompromi menghampiri
angka-angka yang setia menunggu.
“Ra,
lihat ini sudah jam berapa?!” Kire yang sejak tadi menunggu Nara untuk
berangkat kuliah bersama tak sabar menanti.
“Iya,
sebentar Re!” Kire mondar-mandir mengikuti Nara ke kamar.
Kire tak tahu jam di kamar juga
telah menipunya. Jam di kamar justru sengaja dilebihkan dua puluh menit lebih
cepat dari waktu seharusnya. Nara yang mengetahui kelicikan jam dinding yang
diajukan lebih cepat memilih untuk mengacuhkannya. Itu mengapa Nara tetap saja
terlambat meskipun waktu telah berlalu. Nara sedang malas datang terlalu awal
pada kuliah kali ini.
Sampai di parkiran gedung. Jalan
cepat. Mentari sedang dalam perjalanannya merajai bumi. Nara dan Kire berlari
menghidari panas. Menerabas rerumputan dan mencari bayangan hitam untuk sekadar
bersembunyi dari sengatan matahari.
“Ayo
Re, lari!!”
“Gara-gara
kamu nih! Udah panas gini baru berangkat,” kata Kire terbata-bata sambil
berlari.
***
Materi kuliah masih melanjutkan
problematika minggu lalu. Nara harus menghadapi dosen dengan pertanyaan yang
belum terjawab, ayam yang produktivitas bertelurnya menurun saat lebaran dan
tahun baru. Pertanyaan bersambung setelah pertemuan yang lalu tak ada satu pun
mahasiswa yang bisa menjawab.
“Dunia
ini keras mahasiswaku,” kata dosen unik ini, “Pertanyaan ringan seperti ini
saja tak ada yang mampu menjawabnya. Bagaimana kalian bisa memecahkan masalah
negara yang seperti benang kusut!”
Tak
heran jika kuliah pajak, mahasiswa selalu rajin datang lebih awal. Bukan karena
antusias mengikuti kuliah. Itu semua karena ketakutan mahasiswanya diajar dosen
pajak yang menohok hati itu. Rajin datang awal untuk secepat mungkin duduk di
bangku deretan tengah. Strategi belajar yang nyaman untuk mengikuti kuliah
pajak, agar tak sampai sakit hati di tengah kuliah. Kalau duduk di depan itu
jadi sasaran empuk untuk diberondong pertanyaan yang tak ada hubungannya dengan
masalah pajak. Nah untuk deretan belakang juga tak kalah dibuat tegang.
Semua
mahasiswa dari berbagai macam karakter, dalam sekejap menjadi mahasiswa yang
manis-manis, pendiam, penurut, dan mau saja diputar-balikkan dengan segala
pertanyaan yang membingungkan. Kalau sudah begini, mahasiswa takut untuk datang
terlambat. Bahkan satu jam sebelum jam masuk kuliah, semuanya sudah duduk rapi
di barisan ketiga dari depan. Tempat duduk di depan selalu tak laku. Dosen dan mahasiswanya
tampak tak akrab.
“Sama sekali tak ada antusias-antusiasnya mahasiswa
ini! Jauh sekali jaraknya,” Kacamata Pak Didit diturunkan, matanya membelalak
melihat tingkah mahasiswanya.
Memang belum saatnya masuk. “Kurang 20 menit lagi,”
Pak Didit keluar ruangan.
Menegangkan
duduk di depan, apalagi ketika mengikuti kuliah yang satu ini. Dan jangan
pernah coba-coba datang terlambat. Sudah pasti menjadi jam-jaman dosen
sepanjang kuliah berlangsung.
Melalui waktu yang dibiarkan berlalu
lebih cepat. Tahu namun tak terbawa sepuluh, lima belas menit yang terlanjur
berlari mendahului. Nara tetap acuh membiarkan waktu memburu. Nara dan Kire
masuk kelas terlambat. Bukan terlambat karena sudah waktunya masuk, namun
terlambat karena posisi duduk ternyaman sudah penuh.
“Kalian
baru datang!” kata Chika. Sahabat yang selalu diandalkan untuk mem-booking tempat duduk, tak sanggup
memenuhi permintaan Nara dan Kire.
Teman
yang lain terlanjur berdemo. “Nggak ada pesan-pesan tempat duduk, jika orangnya
tak ada!” teriak lantang mereka.
“Kali
ini kami harus lebih terjaga mengikuti perkuliahan selama satu setengah jam.
Gara-gara lembur tugas semalam, harus berusaha setengah mati membelalak penuh
konsentrasi. Bayangkan...” Bercerita penuh drama pada teman di belakang tempat
duduk Nara. Berharap ada belas kasihan untuk tukar bangku.
‘Ah,
sia-sia saja! Pak Didit sudah bertengger di depan pintu tuh,” tersenyum masam,
Kire meledek Nara.
Cukup menjadi lelucon teman sekelas
gara-gara pertanyaan sepele namun sangat menguras pikiran dan rasa malu.
“Mengapa
harga telur ayam mahal saat hari raya lebaran dan tahun baru?”
“Ehm,
tidak tahu pak. Mungkin...”
“Kamu
itu pertanyaan gampang. Belum dijawab sudah bilang tak tahu!” tindas pak Didit.
Jawaban
yang tak terpikirkan, “Karena produktivitas ayam untuk menghasilkan telur
berkurang. Tahu kenapa?!” terdiam, “Itu karena saat lebaran ayam-ayam terlalu shock mendengar suara terompet dan
petasan bergemuruh.”
“Emang
gitu ya Re?!” kata Nara dengan polosnya.
Kire mengembangkan senyumnya di
balik buku, “Ah kamu Re, bukannya membantu malah ikutan nyebelin!”
Dengan
senyum terpaksa Nara melihat pak Didit keluar ruang kelas. Nara dan Kire
langsung bergegas pulang, seisi kelas bersorak dan berceloteh tak perlu
menganggapi kuliah pajak hari ini.
Kuliah terakhir minggu ini begitu
menyebalkan. Nara harus membawa suasana ini hingga akhir pekan, kesal dan
penat. Bekal tugas dari awal minggu selalu menumpuk di akhir pekan. Harus
segera diselesaikan sebelum kelabakan dan begadang semalam suntuk gara-gara
tugas belum selesai.
Harus membagi waktu dengan otak
kanan yang selalu mengajak Nara bermain-main, nonton TV, mendengarkan musik,
bernyanyi riang. Namun kali ini tak bisa dilakukan semuanya.
“Rasanya
membagi rasa sakit dengan tugas kuliah yang menumpuk saja terlalu sulit.” Nara
harus terbaring di kamar seharian karena tenggorokan gatalnya mendadak
berevolusi menjadi flu.
***
Meski tahu waktu berjalan terlalu
cepat meninggalkan namun Nara tak terbawa kecepatan yang seperti memburu.
Serasa ingin berlari dari waktu yang tak pernah tepat. Walau begitu Nara masih
tetap menjalaninya, tak peduli lagi jam-jam penipu ini.
“Yang
sesungguhnya, sebenar-benarnya waktu ada pada jam tangan di laci kamar bunda. Sudahlah
tak sempat lagi mencocokkan waktu,” pikir Nara.
Terus saja berjalan di putaran waktu
ini. Tak ada yang tahu kapan waktu yang tepat, sebelum benar-benar melaluinya.
Dan tak ada yang ingin berada dalam kesalahan untuk menginjakkan diri di waktu
yang terus berputar. Hadir di waktu yang tak tepat, akan seperti ini yang
terjadi... Rengga mencintai Nara, namun mereka tak pernah dipertemukan oleh
waktu.
Tetangga yang menjadi teman masa
kecil Nara, kini semakin dekat dengan Nara. Nara sudah menganggapnya seperti
saudara sendiri, melakukan semua bersama. Ketika Nara mengetahui Rengga
memendam rasa padanya, Nara justru berbalik. Semakin lama Nara semakin
membencinya. Semakin Rengga memedam perasaannya padanya, Nara semakin menjauh.
Nara selalu acuh pada Rengga.
Bagaimana bisa, partner panjat
pohon, pegulat tangguh, dan pembidik gundu ini memendam perasaannya pada Nara,
cewek dekil, cuek, ingusan, yang wajahnya dipenuhi arang hitam saat bermain
bersama sewaktu dulu.
“Aku
tak ingin membalas cinta Rengga,” tegas Nara.
Nara teringat ucapan Rengga dulu,
tempe itu dari pecahan ternit, tahu dari bongkahan genting. Cinta itu dari
pecahan benci, sayang itu dari pecahan peduli. Entah apa maksudnya. Rengga
selalu memberikan tiap pecahan ternit dan genting pada gadis-gadis cantik di
kompleks rumah. Katanya tanda cinta, Rengga memang pandai menggombal di
masanya. Jika mengingatnya, Rengga selalu berkata, “Mereka mau-maunya dikasih
begituan! Beda sama sekarang, mau ngerayu cewek aja butuh modal yang nggak
dikit.” Nara tenggelam dalam memori panjang masa kecilnya. Nara tertawa geli.
Di bangku Sekolah Dasar, Rengga
terlalu dini untuk jadi penggombal. Nara selalu tertawa terbahak-bahak
mengingat hal konyol itu. Tak disangka kenangan itu, sekarang hanya menjadi
ketakutan.
“Orang
lain saja, jangan aku. Aku cukup melihatmu menjadi cowok tengil. Dan aku cukup
menasihatimu dalam perjalanan cintamu.” Nara duduk termenung.
Melamun
di beranda rumah. Sayup angin menyingkap buku diary yang Nara tulis. Waktu telah larut, Nara terbiasa tidur
malam, menanti rasi bintang Auriga di bumi belahan Utara. Nara tak ingin
melewatkan penampakan terbaik Auriga pada bulan Mei ini. Diam-diam Nara
mengikat keinginannya yang kandas untuk menjadi ahli astronomi sewaktu kecil.
Mengamati periode bulan dan rasi bintang, kebiasaan yang sering dilakukannya
karena sering tidur sampai larut, lewat dari jam dua belas.
***
Senja, matahari mengintip samar
untuk pamit di balik gedung-gedung bertingkat. Merangkak, menjejaki
genting-genting cokelat di lantai dua atap rumah. Semua perasaan tertumpah.
Rengga membuka isi hati yang selama ini tersimpan rapi. Yang Nara tahu, Rengga
hanya sahabatnya. Kini Nara harus tahu perhatian Rengga yang ternyata lebih
dari perhatian seorang sahabat.
“Woii,
bengong aja kamu Ngga!”
“Apaan
sih Ra?”
“Kamu
yang apaan! Ngelamunin apa sih?”
“Lagi
ngelamunin kamu nih...”
“Plis
deh!” Nara tak pernah melihat pandangan yang seperti ini. Risih melihat Rengga
menatap penuh makna.
“Bukan,
ini bukan tatapan mata seorang sahabat! Ini tatapan seseorang yang berharap
orang yang ditatapnya mengetahui perasaan yang dipendam sudah lama.” Tatapan
mata seperti tatapan kekaguman dan rasa sayang.
“Aku
pernah melihatnya. Ya, tatapan lelaki di restoran ujung rumah. Tatapan matanya
pada Kire. Lelaki yang tak jelas itu, yang mengincar Kire sejak lama, ya aku
tahu pasti!” Kepanikan Nara terlihat dari caranya menatap tak tentu arah.
“Nggak!
Nggak mungkin!!” Nara berteriak membanting boneka kelinci yang digenggamnya.
“Ra,
sadar! Kamu kenapa?” Rengga memukul Nara dengan boneka itu.
Nara beranjak pergi. Mengalihkan
semua kebenaran yang akan didengarnya.
“Aku
takut. Lebih baik menghindar,” gumam Nara sambil menuruni atap genting.
“Aku ke kamar kecil dulu ya Ngga.”
“Kamu itu...” sambil menggelengkan kepala, Rengga
terheran-heran.
Sekembalinya dari mengulur waktu,
Rengga masih juga memaksakan diri mengatakannya.
“Aku
mencintaimu,” ucap Rengga bersamaan dengan suara truk yang melintas. Nara tak
bisa menghindari percakapan.
“Apa
Ngga?!” Nara berpura tak mendengar. Truk yang melintas dijadikan kambing hitam.
Nara tak ingin mendengarnya.
Sesuatu yang tak dapat berubah dari
hubungan mereka. Sahabat, mereka terbiasa dengan kata itu. Sangat sulit untuk
mengubah suatu kebiasaan. Ketika alur sudah terbuat, lalu harus merubahnya.
Akan ada kekacauan setelah ini karena Nara yang terlalu memaksakan diri untuk
tak menyakiti Rengga, sahabatnya.
***
Bulan purnama telah lewat. Bulan
nampak seperti tandan tua dari bawah. Sebentar lagi bulan tak akan terlihat
sampai batas bulan baru. Seperti Nara yang enggan menampakkan diri. Terselimuti
perasaan mengambang, serba tak pasti. Sedikit datar, tak ada kejutan. Hanya
kekagetan luar biasa setelah perasaan terkuak. Perasaan yang terbebani oleh
sahabat sendiri.
“Ra,
sombong...”
“Apa
Ngga?” Nara tersenyum
“Akhir-akhir
ini ke mana? Susah banget ditemui.”
“Aku
di rumah Ngga.”
“Iya,
kenapa enggak nemuin aku. Kemarin kan aku ke rumahmu.”
“Owh,
iya ya...”
“Iya,
kamu sibuk?”
“Iya
nih, lagi nyari buku buat tugas kuliah. Bukunya langka, jadi susah nemu,” Nara
menyibukkan diri, tak berani menatap wajah Rengga.
Nara selalu tak nyaman semenjak
Rengga menyatakan perasaannya padanya. Nara selalu menghindari Rengga setiap
ada kesempatan bertemu. Balasan senyum setelah pernyataan cinta itu membuat
Rengga penasaran dengan respon Nara terhadapnya.
“Senyum
masamku juga tak mampu menjelaskan bahwa aku tak lebih hanya menganggapnya
sebagai sahabat. Memang senyum yang singkat. Dia memang tak pernah peka bahasa
tubuh!”
Nara selalu ingin bisa mengerti
sahabatnya. Jika Rengga diam, itu berarti dia sedang marah atau sedang sakit.
Jika sedang sakit, Rengga selalu menyembunyikannya di kedua tangkupan giginya,
sambil meringis kecil. Jika marah, Rengga juga akan melakukan hal yang sama,
ditambah dengan mengepalkan tangannya erat-erat. Cara dia menahan marah.
Dulu, saat Rengga marah, tak sengaja
dorongan tangannya membuat Nara tertabrak sepeda dan gerobag burung yang
melintas di depan rumah. Kotoran burung yang kering bertaburan ke seluruh tubuh
Nara. Sejak saat itu, Rengga selalu diam jika marah pada Nara. Namun kali ini,
untuk mengerti Rengga, Nara harus mengorbankan perasaannya. Mencoba bersikap
seolah satu rasa padanya, hanya untuk menyenangkannya dan tak ingin membuat
Rengga kecewa.
***
Nara dan Kire duduk bersama membahas
tugas kelompok usaha bisnisnya. Seperti biasa, Rengga datang untuk mengganggu.
“Kamu
nggak kuliah Ngga?” tanya Kire.
“Udah
pulang kok,” Beruntung hanya teman masa kecil, SD, SMP, SMA. Nara lebih tenang,
kegiatan kuliahnya tak terusik keberadaan Rengga.
“Untung
kamu nggak satu kampus sama aku ya Ngga, kalau enggak kan bosen banget bareng
terus,” gumam Nara.
“Apa?
Tadi kamu ngomong apa Ra?!” tanya Rengga memperhatikan Nara.
“Eeenggak
kok, nggak apa-apa!” Nara menunduk.
Nara sengaja menghindari percakapan
dengan Rengga. Mata selalu beralih jika Rengga menatapnya. Nara mencoba
mengusik Rengga pergi, agar dia bisa bicara leluasa pada Kire mengenai
perasaannya. Rengga tak juga pergi padahal Nara sudah memaksanya minum jus
jeruk buatannya yang sangat masam. “Ngga, kamu nggak mau ke kamar mandi?”
“Enggak.
Kenapa emang?” Nara tersenyum masam. Nara mengalah, memberi kode pada Kire.
Mereka beranjak dari ruang tamu.
“Re,
bantu aku menjelaskan semua...” Nara bingung harus bagaimana.
“Aduh
Ra, aku juga bingung. Hak dia untuk mencintai orang lain kan?”
“Iya
juga sih. Tapi kenapa harus gue!!” Nara kesal.
“Cinta
mana bisa milih!” lagi-lagi Kire justru membuat Nara semakin bingung.
“Kamu
kan pernah terang-terangan menolak lelaki bujang di ujung sana Re!”
“Jangan
bercanda kamu Ra.. Ini kasusnya berbeda.”
“Sama
saja kok.. Tolong dibantu ya, ya Re... pliss!”
Tidak akan kelar sebelum semua
dijelaskan sejelas-jelasnya. Rengga tak memahami bahasa tubuh. Tak mengerti
kalimat yang berbelit-belit. Dan jelas tak memahami maksud Nara yang tak ingin
menyakitinya.
Maju,
mundur, mundur lagi. “Jangan hari ini Re!”
“Kenapa
Ra?”
“Lihat
wajahnya. Dia belum siap,” bisik Nara.
“Yeee,
emang dari dulu wajahnya gitu. Kamu yang belum siap Ra, bukan dia,” Kire
melirik Nara.
“Besok
aja deh. Aku takut dia salah menerima.”
“Bisa
jadi dia pikir aku juga mencintainya. Enggak, aku takut menyakitinya, dan
akhirnya tak tega. Jadi salah paham nantinya!”
“Terserah
kamu deh Ra.”
Semuanya salah. Sejak tadi Rengga
mendengarkan pembicaraan Nara dan Kire. Nara pikir dia tak tahu. Ternyata dia
lebih paham suara bisikan, daripada harus dijelaskan detail. Dari tadi Rengga
diam, ternyata dia mencerna kebisingan suara Nara dan Kire yang berbisik,
terdengar jelas. Rengga berbalik badan dan berjalan ke luar melewati Nara dan
Kire. Tanpa menyapa mereka dan berlalu.
***
Mentari
lewat 90º, hawa musim kemarau semakin menjadi-jadi. Liburan yang menguras
keringat. Hanya duduk di teras rumah, untaian peluh menuruni helaian rambut.
Rasanya beribu kali perasaan seperti ini muncul. Nara menghabiskan siangnya,
memikirkan cinta yang mengambang, terombang-ambing. Perasaan tak menentu karena
cinta yang tak termiliki.
Sepanjang
hari ini Rengga belum juga terlihat. Biasanya pagi-pagi dia sudah mengajak Nara
bermain sepeda di taman kota.
“Terik begini, Rengga kok belum kelihatan..” Tak
lama kemudian, Kire dan Chika datang dengan mobil putih kucing berpita pink, Hello Kitty-nya. Hanya bunyi klakson
yang menyapa.
“Apaan sih Re? Kenapa enggak turun?”
“Ayo!” teriak Chika, mulutnya lebar menganga.
“Ayo ke mana?”
“Kita kan mau nonton pensi!” Mulut Kire manyun.
Harus berapa lama lagi menunggu Nara bersiap-siap.
“Sekarang?! Tunggu!!” teriak Nara.
Nara
lupa, hari ini dia janji untuk nonton bazar dan pentas seni SMA bersama Kire.
Meski tak muda lagi, wajah mereka masih pantas disebut anak sekolah, meringkup
bersama ABG-ABG dalam masa pubertas. Tak mengingat lagi betapa sudah mature-nya mereka, dewasa yang menua.
Pensi
kali ini, di tempat sekolah Nara dulu, guest
star nya Sheila On 7, band favorit Nara, Rengga, Chika, dan Kire. Menunggu
nanti malam sambil mengunjungi bazar, Nara dan Kire bertemu teman-teman satu
angkatannya.
“Sayang, Rengga nggak ada. Dia kan ngefans banget
sama SO7.”
“Iya
padahal tadi udah kayak artis aja kamu Ra, diajak foto bareng. Coba deh cari di
alamat fanspage di sticker tadi, pasti ada tuh fotomu.”
Nara menghiraukan celotehan Kire yang tak nyambung.
“Iya, dia ngilang ke mana ya Ra? Ah, dia pasti
datang. Cuma nggak ngajak kita aja,” celetuk Chika. Nara sedikit cemas dengan
keadaan Rengga. Rengga butuh waktu untuk sendiri.
***
00
: 00 : 00
Malam hari menjelang pagi, usai
pulang dari pensi, sudah menjadi kebiasaan berkumpulnya semua perasaan selama
sehari penuh. Senang, sedih, jenuh, semuanya menumpuk di penghujung pergantian
hari. Kalau sudah begini, hari esok rasanya akan terbebani dengan konflik hati.
Meraih diary hitam curahan hati Nara,
rasanya sedikit terobati. Dalam sekejap, tak butuh waktu lama untuk tertidur
pulas. Pena tergeletak di jemari Nara yang masih menggenggam.
Alarm berbunyi, belum sampai tiga
jam berlalu. Setengah sadar berjalan ke kamar mandi. Sadar bahwa tak ada kuasa
atas tubuh dan kehidupan ini.
Di
mana sebaik-baiknya sandaran, tempat berkeluh kesah, tempat kembali dan
berserah diri hanya kepada-Nya. Nara membasuh wajahnya, terbalut dengan
kedinginan.
“Jika
kebingungan ini membuatku dewasa, membuatku menjadi kuat, maka berikanlah
hamba-Mu kesabaran untuk melewatinya. Berilah petunjuk atas segala yang
terjadi. Semoga Engkau memberikan yang terbaik,” doa Nara.
Ini mengenai prinsip, prinsip hidup
yang dibangun sekian lama. Itu mengapa menjadi tak mudah untuk diputuskan.
Dengan segala prinsip yang Nara punya, dengan segala keterbatasan ilmu dan
kepolosan, saat itu 17 tahun. Saat duduk di bangku sekolah mengengah, Nara mengikrarkan
diri untuk selalu menjaga hatinya. Bagi Nara hidup sekali, mati pun hanya
sekali, jatuh cinta juga sekali. Tak seperti kawan-kawan lain yang berkali-kali
pacaran.
“Aku
menginginkan kekasih pertama dan terakhir untukku.”
Dan setiap niat akan memberikan
jalannya sendiri. Usaha Nara, sebagaimana normalnya wanita yang menyukai lawan
jenis, tak semudah itu dijalani. Jika memang belum waktunya, inilah yang akan
terjadi. Terbayang kisah lalu yang mengiris hati. Terkadang jika Nara
mengingatnya rasanya ingin mengasihani diri sendiri.
Cinta
bertepuk sebelah tangan, bisa jadi lelaki itu sudah punya pacar, bisa jadi dia
tak menyukaimu, atau telah ada pengisi di hatinya.
Cinta
tak sampai, bisa jadi kamu mencintai orang yang jauh, sama sekali tak mengenal
kamu. Bisa jadi kamu tak dekat namun memaksakan dia mencintaimu.
Cinta
yang lain, bisa jadi ada orang yang mencintaimu namun kamu lebih cenderung
memilih orang lain. Kisah seperti ini yang sering Nara rasakan.
“Apa
pun itu, aku mengartikan memang belum saatnya. Entahlah, aku hanya bisa
mengartikan dengan keterbatasanku.”
Bisa
dibilang ini kedangkalan cinta. Bukan, salah! Ini sama sekali bukan cinta.
Cinta tak pernah mengenal kata dangkal. Berkali-kali tertarik, namun sekalinya
sudah dekat Nara memutuskan untuk menjauh. Kedalaman hati yang tak bisa
mengerti, memahami bahwa cinta itu sesuatu yang berbeda. Yang tak mudah hilang
dan tak tergantikan, “Mungkin itu cinta!” Nara tersenyum seperti orang
mengigau. Dia melanjutkan mimpinya lagi.
Belum saatnya. Kali ini karena Nara
memang tak menyukai Rengga. Nara dan Rengga sudah seperti saudara, kecil
bersama. Kenangan terbaik bersamanya, ya hanya waktu kecil. Usia yang membuat
semua harus ada batasannya. Nara mulai malu-malu jika bertemu dengannya. Dia
yang suaranya mendadak menggema, tak lagi senyaring dulu. Bentuk kesombongan
atau bukan, yang pasti Nara tak pernah bisa seakur dulu. Terbiasa menghindari
Rengga lebih sering dilakukan Nara.
“Aku
memang berharap akan menemukan seseorang yang sama-sama saling mencintai. Cinta
yang tak akan pernah hilang karena waktu,” pikir Nara. Sambil melewati daun
berguguran di tepi kolam, lamunan membawa Nara ke dunia khayalnya.
Sejak dulu, tak dipungkiri Nara
memang berharap seperti perempuan-perempuan lain yang telah punya teman dekat.
Biasa orang sebut pacar. Belajar sambil mencari lelaki yang menyukai dan
disukainya. Saling menjalin cinta di kampus tercinta.
Sampai Nara pernah menyalahkan diri
sendiri karena tak bisa seperti yang lain. Mengapa sampai sekarang belum juga
bisa punya pacar dan segudang pertanyaan yang justru membuat Nara merasa
sendiri. Merasa tak pantas. Memang belum saatnya, namun terkadang Nara
memaksakan diri untuk semua itu. Dalam permasalahan cinta itu munculah
dewi-dewi penolong. Kire dan Chika datang untuk mengingatkan prinsip itu.
Sahabat yang seperti alarm, seperti penasihat hidup, seperti ibu peri.
Perjalanan hidup, baik dan buruk,
yang kadang sejalan dengan keinginan dan yang terkadang bertentangan, sesuatu
yang menjadi bagian dari kisah hidup Nara. Cuilan dari perjalanan waktu Kinara
Larasti. Dia mengakhiri lamunannya dengan senyum. Terjangan dedaunan
menyadarkan diri, waktu sudah terlalu pijar untuk bermalas-malasan. Dia
beranjak menuju kamar mandi.
Tunjuklah bintang yang kauharap. Jangan berharap pada bintang
jatuh.
Taruh harapanmu pada bintang yang bersinar terang. Aku akan
berada di sana.
Kertas
kecil yang menempel di daun, ditemukan Nara di kamarnya usai mandi.
“Mungkin
dari Rengga,” pikir Nara.
Nara
berlari keluar, dia tahu di mana tempat daun itu ada. Di taman kota, mungkin
bukan satu-satunya ada di sana. Namun tiap sore, Rengga selalu ke sana,
bersepeda.
Sore hari, Nara bergegas menuju
taman. Memastikan keadaan Rengga yang menghilang akhir-akhir ini. Pas sekali,
Rengga sedang duduk di bangku taman. Nara menyebelahi Rengga.
“Berlari
ke mana pun, setiap yang telah terpahat diingatan akan terus hadir, sekali pun
dalam diam.” Rengga tak berpaling dari dalamnya tatapan. Melihat lurus, entah
ke mana. Mengacuhkan Nara, walau telinga terus memperhatikan apa yang terucap.
“Kebaikan seseorang bisa
dipertimbangkan, pengorbanan yang ditunjukkan, bisa dijadikan alasan seseorang
untuk membalasnya. Namun tidak dengan cinta,” sambil mengayunkan tangan Rengga,
“...tak bisa ditimbang, yang harus sama dengan ukuran. Bukan berarti yang
kauberikan harus dibalas dengan cinta. Karena cinta tak bisa dengan kata harus,
cinta itu tulus, tak bisa dipaksakan.”
“Aku
akan pergi,” hanya itu ucap Rengga.
“Pergi,
maksud kamu Ngga?!”
Hanya
balasan senyum yang Nara terima. Sama tak mengertinya, Rengga pasti tak
mengerti ucapan Nara, dan Nara hanya bisa bingung mengartikan senyuman Rengga.
Rengga meninggalkan Nara bersama daun kering yang berguguran sore itu.
Sore dengan jingga yang menyayat.
Nara ingin pergi bersama Rengga, namun Rengga menginginkan jalannya sendiri.
Kehilangan teman kecilnya. Nara hampir tak percaya akan adanya ketulusan,
persahabatan.
“Jika
telah sendiri-sendiri, mungkin kita akan terlupakan,” pikir Nara, “Jika kamu
pikir sia-sia, tinggal kamu hitung detik demi detik terlalui, dan berhentilah
mencari.”
Nara memutuskan untuk tak mencari
Rengga, walau hatinya terus gusar.
“Suka-suka
dia. Jika dia pikir aku akan mencarinya, Rengga salah besar. Biarlah dia yang
akan mencari.” Raut wajah sendu terlihat, seakan rela namun tak rela.
Cinta
itu tak dipertemukan waktu. Walau sama-sama berjalan, tujuan yang diyakini Nara
dan Rengga berbeda. Mereka akan menemukan cinta lain di waktu yang lain, dan
mungkin dengan orang lain.
No comments:
Post a Comment