Friday, September 25, 2015

01:00 Waktu Tak Mempertemukan


            Jam dinding yang tak pernah tepat. Empat jam dinding dan arloji yang Nara kenakan tak pernah menunjukkan waktu sebenarnya. Sengaja waktu diajukan lebih cepat sepuluh hingga lima belas menit. Nara memperhatikan Kire yang terus-menerus menatap jam di tangannya dan jam besar yang menggantung di dinding.
“Kata bunda agar kita sekeluarga tak bisa bermalas-malasan Re,” celetuk Nara sambil merapikan buku yang berserakan di ruang tengah. Alasannya, jika waktu diajukan lebih cepat maka semua kegiatan akan maju dengan sendirinya, walau harus tertipu waktu.
“Bukan aku yang mengejar waktu. Karena waktu tak akan terkejar. Aku dan waktu tak pernah jalan bersamaan, apalagi untuk mengejarnya,” gumam Nara yang serba mepet melakukan sesuatu.
“Ah, kurang lima belas menit lagi,” pikir Nara tak peduli.
            Jam berdentang setiap pergantian jam. Nara tahu, waktu belum saatnya menunjukkan apa yang ditunjuk jarum jam. Nara acuh, berlalu begitu saja. Jarum jam tanpa kompromi menghampiri angka-angka yang setia menunggu.
“Ra, lihat ini sudah jam berapa?!” Kire yang sejak tadi menunggu Nara untuk berangkat kuliah bersama tak sabar menanti.
“Iya, sebentar Re!” Kire mondar-mandir mengikuti Nara ke kamar.
            Kire tak tahu jam di kamar juga telah menipunya. Jam di kamar justru sengaja dilebihkan dua puluh menit lebih cepat dari waktu seharusnya. Nara yang mengetahui kelicikan jam dinding yang diajukan lebih cepat memilih untuk mengacuhkannya. Itu mengapa Nara tetap saja terlambat meskipun waktu telah berlalu. Nara sedang malas datang terlalu awal pada kuliah kali ini.
            Sampai di parkiran gedung. Jalan cepat. Mentari sedang dalam perjalanannya merajai bumi. Nara dan Kire berlari menghidari panas. Menerabas rerumputan dan mencari bayangan hitam untuk sekadar bersembunyi dari sengatan matahari.
“Ayo Re, lari!!”
“Gara-gara kamu nih! Udah panas gini baru berangkat,” kata Kire terbata-bata sambil berlari.
***

            Materi kuliah masih melanjutkan problematika minggu lalu. Nara harus menghadapi dosen dengan pertanyaan yang belum terjawab, ayam yang produktivitas bertelurnya menurun saat lebaran dan tahun baru. Pertanyaan bersambung setelah pertemuan yang lalu tak ada satu pun mahasiswa yang bisa menjawab.
“Dunia ini keras mahasiswaku,” kata dosen unik ini, “Pertanyaan ringan seperti ini saja tak ada yang mampu menjawabnya. Bagaimana kalian bisa memecahkan masalah negara yang seperti benang kusut!”
            Tak heran jika kuliah pajak, mahasiswa selalu rajin datang lebih awal. Bukan karena antusias mengikuti kuliah. Itu semua karena ketakutan mahasiswanya diajar dosen pajak yang menohok hati itu. Rajin datang awal untuk secepat mungkin duduk di bangku deretan tengah. Strategi belajar yang nyaman untuk mengikuti kuliah pajak, agar tak sampai sakit hati di tengah kuliah. Kalau duduk di depan itu jadi sasaran empuk untuk diberondong pertanyaan yang tak ada hubungannya dengan masalah pajak. Nah untuk deretan belakang juga tak kalah dibuat tegang.

            Semua mahasiswa dari berbagai macam karakter, dalam sekejap menjadi mahasiswa yang manis-manis, pendiam, penurut, dan mau saja diputar-balikkan dengan segala pertanyaan yang membingungkan. Kalau sudah begini, mahasiswa takut untuk datang terlambat. Bahkan satu jam sebelum jam masuk kuliah, semuanya sudah duduk rapi di barisan ketiga dari depan. Tempat duduk di depan selalu tak laku. Dosen dan mahasiswanya tampak tak akrab.
“Sama sekali tak ada antusias-antusiasnya mahasiswa ini! Jauh sekali jaraknya,” Kacamata Pak Didit diturunkan, matanya membelalak melihat tingkah mahasiswanya.
Memang belum saatnya masuk. “Kurang 20 menit lagi,” Pak Didit keluar ruangan.
            Menegangkan duduk di depan, apalagi ketika mengikuti kuliah yang satu ini. Dan jangan pernah coba-coba datang terlambat. Sudah pasti menjadi jam-jaman dosen sepanjang kuliah berlangsung.
            Melalui waktu yang dibiarkan berlalu lebih cepat. Tahu namun tak terbawa sepuluh, lima belas menit yang terlanjur berlari mendahului. Nara tetap acuh membiarkan waktu memburu. Nara dan Kire masuk kelas terlambat. Bukan terlambat karena sudah waktunya masuk, namun terlambat karena posisi duduk ternyaman sudah penuh.
“Kalian baru datang!” kata Chika. Sahabat yang selalu diandalkan untuk mem-booking tempat duduk, tak sanggup memenuhi permintaan Nara dan Kire.
Teman yang lain terlanjur berdemo. “Nggak ada pesan-pesan tempat duduk, jika orangnya tak ada!” teriak lantang mereka.
“Kali ini kami harus lebih terjaga mengikuti perkuliahan selama satu setengah jam. Gara-gara lembur tugas semalam, harus berusaha setengah mati membelalak penuh konsentrasi. Bayangkan...” Bercerita penuh drama pada teman di belakang tempat duduk Nara. Berharap ada belas kasihan untuk tukar bangku.
‘Ah, sia-sia saja! Pak Didit sudah bertengger di depan pintu tuh,” tersenyum masam, Kire meledek Nara.
            Cukup menjadi lelucon teman sekelas gara-gara pertanyaan sepele namun sangat menguras pikiran dan rasa malu.
“Mengapa harga telur ayam mahal saat hari raya lebaran dan tahun baru?”
“Ehm, tidak tahu pak. Mungkin...”
“Kamu itu pertanyaan gampang. Belum dijawab sudah bilang tak tahu!” tindas pak Didit.
Jawaban yang tak terpikirkan, “Karena produktivitas ayam untuk menghasilkan telur berkurang. Tahu kenapa?!” terdiam, “Itu karena saat lebaran ayam-ayam terlalu shock mendengar suara terompet dan petasan bergemuruh.”
“Emang gitu ya Re?!” kata Nara dengan polosnya.
            Kire mengembangkan senyumnya di balik buku, “Ah kamu Re, bukannya membantu malah ikutan nyebelin!”
Dengan senyum terpaksa Nara melihat pak Didit keluar ruang kelas. Nara dan Kire langsung bergegas pulang, seisi kelas bersorak dan berceloteh tak perlu menganggapi kuliah pajak hari ini.
            Kuliah terakhir minggu ini begitu menyebalkan. Nara harus membawa suasana ini hingga akhir pekan, kesal dan penat. Bekal tugas dari awal minggu selalu menumpuk di akhir pekan. Harus segera diselesaikan sebelum kelabakan dan begadang semalam suntuk gara-gara tugas belum selesai.
            Harus membagi waktu dengan otak kanan yang selalu mengajak Nara bermain-main, nonton TV, mendengarkan musik, bernyanyi riang. Namun kali ini tak bisa dilakukan semuanya.
“Rasanya membagi rasa sakit dengan tugas kuliah yang menumpuk saja terlalu sulit.” Nara harus terbaring di kamar seharian karena tenggorokan gatalnya mendadak berevolusi menjadi flu.
***

            Meski tahu waktu berjalan terlalu cepat meninggalkan namun Nara tak terbawa kecepatan yang seperti memburu. Serasa ingin berlari dari waktu yang tak pernah tepat. Walau begitu Nara masih tetap menjalaninya, tak peduli lagi jam-jam penipu ini.
“Yang sesungguhnya, sebenar-benarnya waktu ada pada jam tangan di laci kamar bunda. Sudahlah tak sempat lagi mencocokkan waktu,” pikir Nara.
            Terus saja berjalan di putaran waktu ini. Tak ada yang tahu kapan waktu yang tepat, sebelum benar-benar melaluinya. Dan tak ada yang ingin berada dalam kesalahan untuk menginjakkan diri di waktu yang terus berputar. Hadir di waktu yang tak tepat, akan seperti ini yang terjadi... Rengga mencintai Nara, namun mereka tak pernah dipertemukan oleh waktu.
            Tetangga yang menjadi teman masa kecil Nara, kini semakin dekat dengan Nara. Nara sudah menganggapnya seperti saudara sendiri, melakukan semua bersama. Ketika Nara mengetahui Rengga memendam rasa padanya, Nara justru berbalik. Semakin lama Nara semakin membencinya. Semakin Rengga memedam perasaannya padanya, Nara semakin menjauh. Nara selalu acuh pada Rengga.
            Bagaimana bisa, partner panjat pohon, pegulat tangguh, dan pembidik gundu ini memendam perasaannya pada Nara, cewek dekil, cuek, ingusan, yang wajahnya dipenuhi arang hitam saat bermain bersama sewaktu dulu.
“Aku tak ingin membalas cinta Rengga,” tegas Nara.
            Nara teringat ucapan Rengga dulu, tempe itu dari pecahan ternit, tahu dari bongkahan genting. Cinta itu dari pecahan benci, sayang itu dari pecahan peduli. Entah apa maksudnya. Rengga selalu memberikan tiap pecahan ternit dan genting pada gadis-gadis cantik di kompleks rumah. Katanya tanda cinta, Rengga memang pandai menggombal di masanya. Jika mengingatnya, Rengga selalu berkata, “Mereka mau-maunya dikasih begituan! Beda sama sekarang, mau ngerayu cewek aja butuh modal yang nggak dikit.” Nara tenggelam dalam memori panjang masa kecilnya. Nara tertawa geli.
            Di bangku Sekolah Dasar, Rengga terlalu dini untuk jadi penggombal. Nara selalu tertawa terbahak-bahak mengingat hal konyol itu. Tak disangka kenangan itu, sekarang hanya menjadi ketakutan.
“Orang lain saja, jangan aku. Aku cukup melihatmu menjadi cowok tengil. Dan aku cukup menasihatimu dalam perjalanan cintamu.” Nara duduk termenung.
Melamun di beranda rumah. Sayup angin menyingkap buku diary yang Nara tulis. Waktu telah larut, Nara terbiasa tidur malam, menanti rasi bintang Auriga di bumi belahan Utara. Nara tak ingin melewatkan penampakan terbaik Auriga pada bulan Mei ini. Diam-diam Nara mengikat keinginannya yang kandas untuk menjadi ahli astronomi sewaktu kecil. Mengamati periode bulan dan rasi bintang, kebiasaan yang sering dilakukannya karena sering tidur sampai larut, lewat dari jam dua belas.
***

Senja, matahari mengintip samar untuk pamit di balik gedung-gedung bertingkat. Merangkak, menjejaki genting-genting cokelat di lantai dua atap rumah. Semua perasaan tertumpah. Rengga membuka isi hati yang selama ini tersimpan rapi. Yang Nara tahu, Rengga hanya sahabatnya. Kini Nara harus tahu perhatian Rengga yang ternyata lebih dari perhatian seorang sahabat.
“Woii, bengong aja kamu Ngga!”
“Apaan sih Ra?”
“Kamu yang apaan! Ngelamunin apa sih?”
“Lagi ngelamunin kamu nih...”
“Plis deh!” Nara tak pernah melihat pandangan yang seperti ini. Risih melihat Rengga menatap penuh makna.
“Bukan, ini bukan tatapan mata seorang sahabat! Ini tatapan seseorang yang berharap orang yang ditatapnya mengetahui perasaan yang dipendam sudah lama.” Tatapan mata seperti tatapan kekaguman dan rasa sayang.
“Aku pernah melihatnya. Ya, tatapan lelaki di restoran ujung rumah. Tatapan matanya pada Kire. Lelaki yang tak jelas itu, yang mengincar Kire sejak lama, ya aku tahu pasti!” Kepanikan Nara terlihat dari caranya menatap tak tentu arah.
“Nggak! Nggak mungkin!!” Nara berteriak membanting boneka kelinci yang digenggamnya.
“Ra, sadar! Kamu kenapa?” Rengga memukul Nara dengan boneka itu.
            Nara beranjak pergi. Mengalihkan semua kebenaran yang akan didengarnya.
“Aku takut. Lebih baik menghindar,” gumam Nara sambil menuruni atap genting.
“Aku ke kamar kecil dulu ya Ngga.”
“Kamu itu...” sambil menggelengkan kepala, Rengga terheran-heran.
            Sekembalinya dari mengulur waktu, Rengga masih juga memaksakan diri mengatakannya.
“Aku mencintaimu,” ucap Rengga bersamaan dengan suara truk yang melintas. Nara tak bisa menghindari percakapan.
“Apa Ngga?!” Nara berpura tak mendengar. Truk yang melintas dijadikan kambing hitam. Nara tak ingin mendengarnya.
            Sesuatu yang tak dapat berubah dari hubungan mereka. Sahabat, mereka terbiasa dengan kata itu. Sangat sulit untuk mengubah suatu kebiasaan. Ketika alur sudah terbuat, lalu harus merubahnya. Akan ada kekacauan setelah ini karena Nara yang terlalu memaksakan diri untuk tak menyakiti Rengga, sahabatnya.
***
            Bulan purnama telah lewat. Bulan nampak seperti tandan tua dari bawah. Sebentar lagi bulan tak akan terlihat sampai batas bulan baru. Seperti Nara yang enggan menampakkan diri. Terselimuti perasaan mengambang, serba tak pasti. Sedikit datar, tak ada kejutan. Hanya kekagetan luar biasa setelah perasaan terkuak. Perasaan yang terbebani oleh sahabat sendiri.
“Ra, sombong...”
“Apa Ngga?” Nara tersenyum
“Akhir-akhir ini ke mana? Susah banget ditemui.”
“Aku di rumah Ngga.”
“Iya, kenapa enggak nemuin aku. Kemarin kan aku ke rumahmu.”
“Owh, iya ya...”
“Iya, kamu sibuk?”
“Iya nih, lagi nyari buku buat tugas kuliah. Bukunya langka, jadi susah nemu,” Nara menyibukkan diri, tak berani menatap wajah Rengga.
            Nara selalu tak nyaman semenjak Rengga menyatakan perasaannya padanya. Nara selalu menghindari Rengga setiap ada kesempatan bertemu. Balasan senyum setelah pernyataan cinta itu membuat Rengga penasaran dengan respon Nara terhadapnya.
“Senyum masamku juga tak mampu menjelaskan bahwa aku tak lebih hanya menganggapnya sebagai sahabat. Memang senyum yang singkat. Dia memang tak pernah peka bahasa tubuh!”
            Nara selalu ingin bisa mengerti sahabatnya. Jika Rengga diam, itu berarti dia sedang marah atau sedang sakit. Jika sedang sakit, Rengga selalu menyembunyikannya di kedua tangkupan giginya, sambil meringis kecil. Jika marah, Rengga juga akan melakukan hal yang sama, ditambah dengan mengepalkan tangannya erat-erat. Cara dia menahan marah.
            Dulu, saat Rengga marah, tak sengaja dorongan tangannya membuat Nara tertabrak sepeda dan gerobag burung yang melintas di depan rumah. Kotoran burung yang kering bertaburan ke seluruh tubuh Nara. Sejak saat itu, Rengga selalu diam jika marah pada Nara. Namun kali ini, untuk mengerti Rengga, Nara harus mengorbankan perasaannya. Mencoba bersikap seolah satu rasa padanya, hanya untuk menyenangkannya dan tak ingin membuat Rengga kecewa.
***



            Nara dan Kire duduk bersama membahas tugas kelompok usaha bisnisnya. Seperti biasa, Rengga datang untuk mengganggu.
“Kamu nggak kuliah Ngga?” tanya Kire.
“Udah pulang kok,” Beruntung hanya teman masa kecil, SD, SMP, SMA. Nara lebih tenang, kegiatan kuliahnya tak terusik keberadaan Rengga.
“Untung kamu nggak satu kampus sama aku ya Ngga, kalau enggak kan bosen banget bareng terus,” gumam Nara.
“Apa? Tadi kamu ngomong apa Ra?!” tanya Rengga memperhatikan Nara.
“Eeenggak kok, nggak apa-apa!” Nara menunduk.
            Nara sengaja menghindari percakapan dengan Rengga. Mata selalu beralih jika Rengga menatapnya. Nara mencoba mengusik Rengga pergi, agar dia bisa bicara leluasa pada Kire mengenai perasaannya. Rengga tak juga pergi padahal Nara sudah memaksanya minum jus jeruk buatannya yang sangat masam. “Ngga, kamu nggak mau ke kamar mandi?”
“Enggak. Kenapa emang?” Nara tersenyum masam. Nara mengalah, memberi kode pada Kire. Mereka beranjak dari  ruang tamu.
“Re, bantu aku menjelaskan semua...” Nara bingung harus bagaimana.
“Aduh Ra, aku juga bingung. Hak dia untuk mencintai orang lain kan?”
“Iya juga sih. Tapi kenapa harus gue!!” Nara kesal.
“Cinta mana bisa milih!” lagi-lagi Kire justru membuat Nara semakin bingung.
“Kamu kan pernah terang-terangan menolak lelaki bujang di ujung sana Re!”
“Jangan bercanda kamu Ra.. Ini kasusnya berbeda.”
“Sama saja kok.. Tolong dibantu ya, ya Re... pliss!”
            Tidak akan kelar sebelum semua dijelaskan sejelas-jelasnya. Rengga tak memahami bahasa tubuh. Tak mengerti kalimat yang berbelit-belit. Dan jelas tak memahami maksud Nara yang tak ingin menyakitinya.
Maju, mundur, mundur lagi. “Jangan hari ini Re!”
“Kenapa Ra?”
“Lihat wajahnya. Dia belum siap,” bisik Nara.
“Yeee, emang dari dulu wajahnya gitu. Kamu yang belum siap Ra, bukan dia,” Kire melirik Nara.
“Besok aja deh. Aku takut dia salah menerima.”
“Bisa jadi dia pikir aku juga mencintainya. Enggak, aku takut menyakitinya, dan akhirnya tak tega. Jadi salah paham nantinya!”
“Terserah kamu deh Ra.”
            Semuanya salah. Sejak tadi Rengga mendengarkan pembicaraan Nara dan Kire. Nara pikir dia tak tahu. Ternyata dia lebih paham suara bisikan, daripada harus dijelaskan detail. Dari tadi Rengga diam, ternyata dia mencerna kebisingan suara Nara dan Kire yang berbisik, terdengar jelas. Rengga berbalik badan dan berjalan ke luar melewati Nara dan Kire. Tanpa menyapa mereka dan berlalu.
***

            Mentari lewat 90º, hawa musim kemarau semakin menjadi-jadi. Liburan yang menguras keringat. Hanya duduk di teras rumah, untaian peluh menuruni helaian rambut. Rasanya beribu kali perasaan seperti ini muncul. Nara menghabiskan siangnya, memikirkan cinta yang mengambang, terombang-ambing. Perasaan tak menentu karena cinta yang tak termiliki.
            Sepanjang hari ini Rengga belum juga terlihat. Biasanya pagi-pagi dia sudah mengajak Nara bermain sepeda di taman kota.
“Terik begini, Rengga kok belum kelihatan..” Tak lama kemudian, Kire dan Chika datang dengan mobil putih kucing berpita pink, Hello Kitty-nya. Hanya bunyi klakson yang menyapa.
“Apaan sih Re? Kenapa enggak turun?”
“Ayo!” teriak Chika, mulutnya lebar menganga.
“Ayo ke mana?”
“Kita kan mau nonton pensi!” Mulut Kire manyun. Harus berapa lama lagi menunggu Nara bersiap-siap.
“Sekarang?! Tunggu!!” teriak Nara.
            Nara lupa, hari ini dia janji untuk nonton bazar dan pentas seni SMA bersama Kire. Meski tak muda lagi, wajah mereka masih pantas disebut anak sekolah, meringkup bersama ABG-ABG dalam masa pubertas. Tak mengingat lagi betapa sudah mature-nya mereka, dewasa yang menua.
            Pensi kali ini, di tempat sekolah Nara dulu, guest star nya Sheila On 7, band favorit Nara, Rengga, Chika, dan Kire. Menunggu nanti malam sambil mengunjungi bazar, Nara dan Kire bertemu teman-teman satu angkatannya.
“Sayang, Rengga nggak ada. Dia kan ngefans banget sama SO7.”
“Iya padahal tadi udah kayak artis aja kamu Ra, diajak foto bareng. Coba deh cari di alamat fanspage di sticker tadi, pasti ada tuh fotomu.” Nara menghiraukan celotehan Kire yang tak nyambung.


“Iya, dia ngilang ke mana ya Ra? Ah, dia pasti datang. Cuma nggak ngajak kita aja,” celetuk Chika. Nara sedikit cemas dengan keadaan Rengga. Rengga butuh waktu untuk sendiri.
***

00 : 00 : 00
            Malam hari menjelang pagi, usai pulang dari pensi, sudah menjadi kebiasaan berkumpulnya semua perasaan selama sehari penuh. Senang, sedih, jenuh, semuanya menumpuk di penghujung pergantian hari. Kalau sudah begini, hari esok rasanya akan terbebani dengan konflik hati. Meraih diary hitam curahan hati Nara, rasanya sedikit terobati. Dalam sekejap, tak butuh waktu lama untuk tertidur pulas. Pena tergeletak di jemari Nara yang masih menggenggam.
            Alarm berbunyi, belum sampai tiga jam berlalu. Setengah sadar berjalan ke kamar mandi. Sadar bahwa tak ada kuasa atas tubuh dan kehidupan ini.
Di mana sebaik-baiknya sandaran, tempat berkeluh kesah, tempat kembali dan berserah diri hanya kepada-Nya. Nara membasuh wajahnya, terbalut dengan kedinginan.
“Jika kebingungan ini membuatku dewasa, membuatku menjadi kuat, maka berikanlah hamba-Mu kesabaran untuk melewatinya. Berilah petunjuk atas segala yang terjadi. Semoga Engkau memberikan yang terbaik,” doa Nara.
            Ini mengenai prinsip, prinsip hidup yang dibangun sekian lama. Itu mengapa menjadi tak mudah untuk diputuskan. Dengan segala prinsip yang Nara punya, dengan segala keterbatasan ilmu dan kepolosan, saat itu 17 tahun. Saat duduk di bangku sekolah mengengah, Nara mengikrarkan diri untuk selalu menjaga hatinya. Bagi Nara hidup sekali, mati pun hanya sekali, jatuh cinta juga sekali. Tak seperti kawan-kawan lain yang berkali-kali pacaran.
“Aku menginginkan kekasih pertama dan terakhir untukku.”
            Dan setiap niat akan memberikan jalannya sendiri. Usaha Nara, sebagaimana normalnya wanita yang menyukai lawan jenis, tak semudah itu dijalani. Jika memang belum waktunya, inilah yang akan terjadi. Terbayang kisah lalu yang mengiris hati. Terkadang jika Nara mengingatnya rasanya ingin mengasihani diri sendiri.
Cinta bertepuk sebelah tangan, bisa jadi lelaki itu sudah punya pacar, bisa jadi dia tak menyukaimu, atau telah ada pengisi di hatinya.
Cinta tak sampai, bisa jadi kamu mencintai orang yang jauh, sama sekali tak mengenal kamu. Bisa jadi kamu tak dekat namun memaksakan dia mencintaimu.
Cinta yang lain, bisa jadi ada orang yang mencintaimu namun kamu lebih cenderung memilih orang lain. Kisah seperti ini yang sering Nara rasakan.
“Apa pun itu, aku mengartikan memang belum saatnya. Entahlah, aku hanya bisa mengartikan dengan keterbatasanku.”
Bisa dibilang ini kedangkalan cinta. Bukan, salah! Ini sama sekali bukan cinta. Cinta tak pernah mengenal kata dangkal. Berkali-kali tertarik, namun sekalinya sudah dekat Nara memutuskan untuk menjauh. Kedalaman hati yang tak bisa mengerti, memahami bahwa cinta itu sesuatu yang berbeda. Yang tak mudah hilang dan tak tergantikan, “Mungkin itu cinta!” Nara tersenyum seperti orang mengigau. Dia melanjutkan mimpinya lagi.


            Belum saatnya. Kali ini karena Nara memang tak menyukai Rengga. Nara dan Rengga sudah seperti saudara, kecil bersama. Kenangan terbaik bersamanya, ya hanya waktu kecil. Usia yang membuat semua harus ada batasannya. Nara mulai malu-malu jika bertemu dengannya. Dia yang suaranya mendadak menggema, tak lagi senyaring dulu. Bentuk kesombongan atau bukan, yang pasti Nara tak pernah bisa seakur dulu. Terbiasa menghindari Rengga lebih sering dilakukan Nara.
“Aku memang berharap akan menemukan seseorang yang sama-sama saling mencintai. Cinta yang tak akan pernah hilang karena waktu,” pikir Nara. Sambil melewati daun berguguran di tepi kolam, lamunan membawa Nara ke dunia khayalnya.
            Sejak dulu, tak dipungkiri Nara memang berharap seperti perempuan-perempuan lain yang telah punya teman dekat. Biasa orang sebut pacar. Belajar sambil mencari lelaki yang menyukai dan disukainya. Saling menjalin cinta di kampus tercinta.
            Sampai Nara pernah menyalahkan diri sendiri karena tak bisa seperti yang lain. Mengapa sampai sekarang belum juga bisa punya pacar dan segudang pertanyaan yang justru membuat Nara merasa sendiri. Merasa tak pantas. Memang belum saatnya, namun terkadang Nara memaksakan diri untuk semua itu. Dalam permasalahan cinta itu munculah dewi-dewi penolong. Kire dan Chika datang untuk mengingatkan prinsip itu. Sahabat yang seperti alarm, seperti penasihat hidup, seperti ibu peri.
            Perjalanan hidup, baik dan buruk, yang kadang sejalan dengan keinginan dan yang terkadang bertentangan, sesuatu yang menjadi bagian dari kisah hidup Nara. Cuilan dari perjalanan waktu Kinara Larasti. Dia mengakhiri lamunannya dengan senyum. Terjangan dedaunan menyadarkan diri, waktu sudah terlalu pijar untuk bermalas-malasan. Dia beranjak menuju kamar mandi.
vddc

Tunjuklah bintang yang kauharap. Jangan berharap pada bintang jatuh.
Taruh harapanmu pada bintang yang bersinar terang. Aku akan berada di sana.


Kertas kecil yang menempel di daun, ditemukan Nara di kamarnya usai mandi.
“Mungkin dari Rengga,” pikir Nara.
Nara berlari keluar, dia tahu di mana tempat daun itu ada. Di taman kota, mungkin bukan satu-satunya ada di sana. Namun tiap sore, Rengga selalu ke sana, bersepeda.
            Sore hari, Nara bergegas menuju taman. Memastikan keadaan Rengga yang menghilang akhir-akhir ini. Pas sekali, Rengga sedang duduk di bangku taman. Nara menyebelahi Rengga.
“Berlari ke mana pun, setiap yang telah terpahat diingatan akan terus hadir, sekali pun dalam diam.” Rengga tak berpaling dari dalamnya tatapan. Melihat lurus, entah ke mana. Mengacuhkan Nara, walau telinga terus memperhatikan apa yang terucap.
            “Kebaikan seseorang bisa dipertimbangkan, pengorbanan yang ditunjukkan, bisa dijadikan alasan seseorang untuk membalasnya. Namun tidak dengan cinta,” sambil mengayunkan tangan Rengga, “...tak bisa ditimbang, yang harus sama dengan ukuran. Bukan berarti yang kauberikan harus dibalas dengan cinta. Karena cinta tak bisa dengan kata harus, cinta itu tulus, tak bisa dipaksakan.”
“Aku akan pergi,” hanya itu ucap Rengga.
“Pergi, maksud kamu Ngga?!”
Hanya balasan senyum yang Nara terima. Sama tak mengertinya, Rengga pasti tak mengerti ucapan Nara, dan Nara hanya bisa bingung mengartikan senyuman Rengga. Rengga meninggalkan Nara bersama daun kering yang berguguran sore itu.
            Sore dengan jingga yang menyayat. Nara ingin pergi bersama Rengga, namun Rengga menginginkan jalannya sendiri. Kehilangan teman kecilnya. Nara hampir tak percaya akan adanya ketulusan, persahabatan.
“Jika telah sendiri-sendiri, mungkin kita akan terlupakan,” pikir Nara, “Jika kamu pikir sia-sia, tinggal kamu hitung detik demi detik terlalui, dan berhentilah mencari.”



            Nara memutuskan untuk tak mencari Rengga, walau hatinya terus gusar.
“Suka-suka dia. Jika dia pikir aku akan mencarinya, Rengga salah besar. Biarlah dia yang akan mencari.” Raut wajah sendu terlihat, seakan rela namun tak rela.
            Cinta itu tak dipertemukan waktu. Walau sama-sama berjalan, tujuan yang diyakini Nara dan Rengga berbeda. Mereka akan menemukan cinta lain di waktu yang lain, dan mungkin dengan orang lain.

No comments:

Post a Comment