Friday, September 25, 2015

Aku Ce'e Ho'o Latang Meu, Murid Daku


Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh, tidak kan hilang dari kalbu
Tanahku yang kucintai engkau kuhargai...

            Bait demi bait lagu yang dilantunkan pada hari Sumpah Pemuda itu. Siang menjelang sore, les sore kami menyebutnya. Lantunan lagu Tanah Airku, menjadi semangat sore itu.
“Mengapa terlambat?”
“Ibu, sungai di belakang sekolah meluap ibu. Sa tidak bisa lewat,”
            Bagaimana kawan, pendidikan yang tak sembarang orang bisa menikmatinya. Saya bilang ini nikmat, ditempa oleh alam yang tak jarang lebih kejam dari melimpahnya fasilitas dan penunjang yang cukup modern.
            Jakarta, hanya sedikit yang mengetahui ibukota Indonesia ini. Saling tunjuk di mana Indonesia berada, pada globe yang diputar-putar. Di mana Flores tempat mereka tinggal, mereka masih kebingungan mencari.
“Di mana ada kami, di situ kita tinggal ibu. Lalu mengapa susah-susah mencarinya,” kata mereka sambil merenges.
            Di sini fasilitas berlimpah. Printer, LCD, alat peraga, buku ada. Walau hanya beberapa, yang hanya cukup dibagikan 4-5 orang untuk satu buku. Kawan, di sini, mereka berebut ilmu. Berebut perhatian. Karena sulit mengontrol 43 murid dalam satu kelas. Kawan, di sini berbeda. Jika kalian bisa memahami ilmu hanya dengan satu sampai tiga kali baca. Di sini harus lima sampai tujuh kali, bahkan lebih. Bosan?? Saya justru sangat hafal dengan apa yang sudah berkali-kali saya sampaikan, hingga titik komanya. Hafal dengan ekspresi mengerti, kemudian lupa jika ditanya lagi. Goyangan dan lekuk tubuh yang kebingungan itu. Kesabaran yang beradu dengan kebingungan. Harus bagaimana mendidik mereka.
            Mungkin tempat yang terjangkau, jauh dari kata terdepan. Mungkin fasilitas yang memadai jauh dari kata tertinggal. Dan kondisi yang jauh dari kata terpencil. Sumber daya alam bisa dikatakan melimpah, namun sumber daya manusia yang masih jauh dari kota-kota besar. Mungkin ini bisa disebut ketimpangan di tengah berkembangnya pendidikan di Indonesia dan pemerataannya. Dan banyak cara melengkapinya. Saya bilang, ini salah satu caranya. Program SM3T ini, sedikit banyak sangat membantu pendidikan di Manggarai ini.
            Tempat dimana saya harus dihadapkan pilihan. Mereka paham walaupun sedikit, atau semua materi diberikan, terlepas mereka paham atau tidak. Mengajar semua yang telah disusun pada perangkat pembeajaran, atau menyampaikan intinya saja. Membaca saja, sulit bagi mereka, apalagi untuk memahami. Butuh waktu yang tak sebentar.
            Murid di sini memiliki volume ekstra. Dan saya harus punya tenaga ekstra untuk mengajar di sore hari, mulai pukul 12.20 sampai pukul 17.15 WITA. Kelas yang tidak memungkinkan untuk murid berangkat pagi semua.
            Awal di sini saya tak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. Bahasa Manggarai, tak semudah itu dikuasai. Jika mereka sedang membicarakan saya, hanya bisa tersenyum. Namun ketika saya meminta murid-murid untuk mengulangi menggunakan bahasa Indonesia, mereka hanya tersenyum malu dan enggan bicara.
            Sering kali murid bertengkar menggunakan bahasa Manggarai, entah apa. Terkadang merasa diremehkan. Karena mereka bilang, “Ibu terlalu lembut. Mereka tidak mau mendengar kalau ibu tidak pukul mereka.” Ini orang Jawa punya, logat seperti puteri Solo, khas saya, yang sangat berbeda dengan orang Manggarai punya.
            Entah didengarkan atau tidak. Saya bilang ini marah tapi mereka bilang terlalu lembut untuk dikatakan marah. Dan mereka selalu menirukan perkataan yang saya ucapkan.
“Muridku, bedakan antara ketegasan dan marah gurumu. Belajarlah untuk selalu jujur dan bertanggung jawab. Tak lain tak bukan, hanya untuk kebaikanmu sendiri. Jadikan pelajaran kemarin untuk esok lebih baik ya nak..”
            Kebiasaan yang baru saya temukan di sini. Sebagian dari kita memakai polesan semir sepatu untuk membuatnya hitam pekat. Namun sepatu mereka, sudah terbiasa dengan penghapus white board untuk membuatnya tampil mengesankan. Entah mengerti atau tidak, rasanya ingin berkata, “Muridku, kalian mengenal semir sepatu dengan merk yang serupa buah dan sejenisnya bukan?”


Namun sudahlah... Kesederhanaan mereka cukup membuat saya diam dan tersenyum. Karena ini yang ingin kutemukan dari pengalaman di sini. Mereka unik dan mengesankan.
            Tak bisa dibandingkan, tak bisa hanya dibayangkan. Keadaan di sini sungguh berbeda. Di balik keterbatasan, ada semangat seperti mentari yang terus membakar kulit mereka yang legam.
            Banyak pengalaman mengesankan yang saya dapat di sini. Bukan mereka yang belajar di sini namun saya yang belajar dari mereka. Belajar kesederhanaan, belajar menerima, dan belajar untuk tak takut menantang matahari. Belajar menghadapi terik tanpa mengeluh.
            Mentari mengobarkan semangat mereka. Semangat belajar sampai mentari tepat di ubun hingga tenggelam menyingkap gelap.

            Dedikasi yang tak selalu menjadi alasan utama. Namun saya di sini, pulau bunga, Flores-ku. Di sini semua menjadi jelas. Segala alasan mengapa saya di sini, yang katanya untuk mengabdi. Dan alasan itu, murid saya. Matahari yang muncul di Timur Indonesia.
“Aku ce'e ho'o latang meu, murid daku...” 1
 





1 Saya di sini untuk kalian, muridku.

No comments:

Post a Comment