Tanah
airku tidak kulupakan
Kan
terkenang selama hidupku
Biarpun
saya pergi jauh, tidak kan hilang dari kalbu
Tanahku
yang kucintai engkau kuhargai...
Bait demi bait lagu yang dilantunkan
pada hari Sumpah Pemuda itu. Siang menjelang sore, les sore kami menyebutnya.
Lantunan lagu Tanah Airku, menjadi semangat sore itu.
“Mengapa
terlambat?”
“Ibu,
sungai di belakang sekolah meluap ibu. Sa tidak bisa lewat,”
Bagaimana kawan, pendidikan yang tak
sembarang orang bisa menikmatinya. Saya bilang ini nikmat, ditempa oleh alam
yang tak jarang lebih kejam dari melimpahnya fasilitas dan penunjang yang cukup
modern.
Jakarta, hanya sedikit yang
mengetahui ibukota Indonesia ini. Saling tunjuk di mana Indonesia berada, pada
globe yang diputar-putar. Di mana Flores tempat mereka tinggal, mereka masih
kebingungan mencari.
“Di
mana ada kami, di situ kita tinggal ibu. Lalu mengapa susah-susah mencarinya,”
kata mereka sambil merenges.
Di sini fasilitas berlimpah. Printer,
LCD, alat peraga, buku ada. Walau
hanya beberapa, yang hanya cukup dibagikan 4-5 orang untuk satu buku. Kawan, di
sini, mereka berebut ilmu. Berebut perhatian. Karena sulit mengontrol 43 murid
dalam satu kelas. Kawan, di sini berbeda. Jika kalian bisa memahami ilmu hanya
dengan satu sampai tiga kali baca. Di sini harus lima sampai tujuh kali, bahkan
lebih. Bosan?? Saya justru sangat hafal dengan apa yang sudah berkali-kali saya
sampaikan, hingga titik komanya. Hafal dengan ekspresi mengerti, kemudian lupa
jika ditanya lagi. Goyangan dan lekuk tubuh yang kebingungan itu. Kesabaran
yang beradu dengan kebingungan. Harus bagaimana mendidik mereka.
Mungkin tempat yang terjangkau, jauh
dari kata terdepan. Mungkin fasilitas yang memadai jauh dari kata tertinggal.
Dan kondisi yang jauh dari kata terpencil. Sumber daya alam bisa dikatakan
melimpah, namun sumber daya manusia yang masih jauh dari kota-kota besar. Mungkin
ini bisa disebut ketimpangan di tengah berkembangnya pendidikan di Indonesia
dan pemerataannya. Dan banyak cara melengkapinya. Saya bilang, ini salah satu
caranya. Program SM3T ini, sedikit banyak sangat membantu pendidikan di
Manggarai ini.
Tempat dimana saya harus dihadapkan
pilihan. Mereka paham walaupun sedikit, atau semua materi diberikan, terlepas
mereka paham atau tidak. Mengajar semua yang telah disusun pada perangkat
pembeajaran, atau menyampaikan intinya saja. Membaca saja, sulit bagi mereka,
apalagi untuk memahami. Butuh waktu yang tak sebentar.
Murid
di sini memiliki volume ekstra. Dan saya harus punya tenaga ekstra untuk
mengajar di sore hari, mulai pukul 12.20 sampai pukul 17.15 WITA. Kelas yang
tidak memungkinkan untuk murid berangkat pagi semua.
Awal di sini saya tak mengerti apa
yang sedang mereka bicarakan. Bahasa Manggarai, tak semudah itu dikuasai. Jika
mereka sedang membicarakan saya, hanya bisa tersenyum. Namun ketika saya meminta
murid-murid untuk mengulangi menggunakan bahasa Indonesia, mereka hanya
tersenyum malu dan enggan bicara.
Sering kali murid bertengkar
menggunakan bahasa Manggarai, entah apa. Terkadang merasa diremehkan. Karena
mereka bilang, “Ibu terlalu lembut. Mereka tidak mau mendengar kalau ibu tidak
pukul mereka.” Ini orang Jawa punya, logat seperti puteri Solo, khas saya, yang
sangat berbeda dengan orang Manggarai punya.
Entah didengarkan atau tidak. Saya
bilang ini marah tapi mereka bilang terlalu lembut untuk dikatakan marah. Dan
mereka selalu menirukan perkataan yang saya ucapkan.
“Muridku,
bedakan antara ketegasan dan marah gurumu. Belajarlah untuk selalu jujur dan
bertanggung jawab. Tak lain tak bukan, hanya untuk kebaikanmu sendiri. Jadikan
pelajaran kemarin untuk esok lebih baik ya nak..”
Kebiasaan yang baru saya temukan di
sini. Sebagian dari kita memakai polesan semir sepatu untuk membuatnya hitam
pekat. Namun sepatu mereka, sudah terbiasa dengan penghapus white board untuk membuatnya tampil
mengesankan. Entah mengerti atau tidak, rasanya ingin berkata, “Muridku, kalian
mengenal semir sepatu dengan merk yang serupa buah dan sejenisnya bukan?”
Namun
sudahlah... Kesederhanaan mereka cukup membuat saya diam dan tersenyum. Karena
ini yang ingin kutemukan dari pengalaman di sini. Mereka unik dan mengesankan.
Tak bisa dibandingkan, tak bisa
hanya dibayangkan. Keadaan di sini sungguh berbeda. Di balik keterbatasan, ada
semangat seperti mentari yang terus membakar kulit mereka yang legam.
Banyak pengalaman mengesankan yang saya
dapat di sini. Bukan mereka yang belajar di sini namun saya yang belajar dari
mereka. Belajar kesederhanaan, belajar menerima, dan belajar untuk tak takut
menantang matahari. Belajar menghadapi terik tanpa mengeluh.
Mentari mengobarkan semangat mereka.
Semangat belajar sampai mentari tepat di ubun hingga tenggelam menyingkap
gelap.
Dedikasi yang tak selalu menjadi
alasan utama. Namun saya di sini, pulau bunga, Flores-ku. Di sini semua menjadi
jelas. Segala alasan mengapa saya di sini, yang katanya untuk mengabdi. Dan
alasan itu, murid saya. Matahari yang muncul di Timur Indonesia.
“Aku
ce'e ho'o latang meu, murid daku...” 1
1
Saya di sini untuk kalian, muridku.
No comments:
Post a Comment