Perjalanan cinta yang dimulai dengan
proses yang singkat. Nara mulai menaruh hati tanpa tahu alasan lain. Dia baik,
berbeda dari yang lain. Sangat subjektif, namun masalah hati membuat semuanya
lebih dari sekadar istimewa. Mungkin ─ ini cinta. Seberapa besarnya dan bagaimana
bentuknya cinta, bisa dilihat dari betapa tak semudah itu kamu berpaling, tak
semudah itu kamu tak peduli.
Masih teringat jelas kenangan
bersama Awan. Walau tak lagi bersama setiap harinya karena Kuliah Kerja Nyata
telah usai, Awan tak pernah luput dari ingatan Nara.
“Mungkin
ini suatu dosa, namun masa-masa itu memberikan makna yang tak pernah dirasakan
sebelumnya. Melekat di sini, ya di sini! Di hatiku.”
Antara prinsip dan pilihan. Jika
yang dipilih salah, maka prinsip akan menjadi percuma. Nol besar untuk prinsip
yang dibuat sendiri, namun justru tak bisa menjadi penuntunnya. Bagi Nara ini
pertaruhan. Walau akhirnya tak akan bisa disebut menang atau kalah. Karena
semua merupakan perjalan hidup.
Takdir telah ditangguhkan. Nara
beruntung diberi waktu untuk menghapus rasa sesalnya. Mereka bertemu lagi,
takdir masih mengizinkan. Ada penilaian KKN yang telah dilakukan selama sebulan
lalu. Mereka berkumpul lagi setelah jeda dua hari berpisah.
Usai ujian, mereka memutuskan untuk
pergi bersama. Menghabiskan sisa cerita yang belum usai, menuntaskan cinta yang
belum kelar. Menuju tempat karaoke menghabiskan sisa uang kas yang masih banyak.
Lalu menemani Ofa membeli hp baru. Hanya itu, namun sudah menghabiskan waktu
dari siang hingga malam hari. Rasanya masih kurang.
Pertemuan itu merupakan titik balik
dari harapan Nara.
“Ada
harapan!” bisik Anda di telinga Nara.
Nara
hanya tersenyum. Senyumnya tak habis walau semalaman dia tak bisa tidur
memikirkan perasaannya. Nara tengah mengantuk dan kelelahan saat pergi bersama
teman-temannya, namun dia tak bisa melewatkan kebersamaan dengan Awan.
Kesempatan bertemu mungkin akan ada lagi, namun karena waktu tak akan terulang.
Nara menjalani penangguhan hari ini, menebus penyesalan masa KKN lalu.
Hujan menahan sejenak perjalanan
mereka, memberi waktu untuk memahami perasaan masing-masing. Terhenti namun
jantung berdetak seakan sedang berlari kencang. Menatap wajah Awan diterpa
tempias air hujan.
“Ah,
tidak! Dia begitu teristimewa bagiku. Jangan berikan hatimu Nara atau jika
kausiap untuk terjatuh,” Nara memalingkan wajahnya. Sesekali ingin melihat
Awan.
“Ya
Tuhan, begitu indahnya ciptaanmu hingga membuatku mengawang-awang di awan,
meyakinkan aku untuk siap terjatuh.”
Nara selalu takut dengan hubungan
ini. “Ada sesuatu yang salah, yang tak seharusnya kulakukan. Jika ini suatu
dosa, kembalikanlah aku ke dalam keikhlasan untuk melepasnya,” Nara semakin
gelisah jika mengingat prinsip itu.
Dari awal Nara mengenal cinta, hanya
ada satu prinsip dalam hidupnya. Jika memang harus menanggalkan masa
sendirinya, hanya pada kekasih pertama dan terakhirnya. Namun siapa yang tahu
hari esok. Jika dia harus terjatuh hanya karena Awan. Inilah pilihan hidup...
Kesempatan berjuta hadirnya, namun ketika harus memberanikan memungut satu
diantara berjuta, itu pilihan.
***
Pertama kali jalan berdua dengan cowok, dengan label
pdkt. Percobaan untuk Awan. Nara tak pernah jalan dengan lelaki mana pun,
kecuali dengan ayah dan sahabatnya, Rengga. Canggung, salah tingkah, tak
mengerti harus bagaimana. Raut wajahnya tak bisa disembunyikan rasa malu yang
terus melekat. Di usianya yang menginjak 22 tahun, pertama kali dalam hidupnya.
“Selamat
berkagok-kagok ria ya neng!” Kire tertawa puas meledek Nara.
Pukul 15.00, masih terlalu awal untuk
menuju Pandanaran Art Fest di pusat
kota. Setelah lama berkeliling, Awan ternyata membelokkan niatnya untuk
menonton film di bioskop.
“Kenapa
Awan tak bilang kalau mau nonton. Sepertinya dia sudah merencanakan!” Nara tak
tahu harus berbuat apa.
“Memalukan,
udah tua begini baru kali ini jalan sama cowok. Ke mana aja lu Kinara
Larasati?!!”
Nara
dibuat canggung. Semua mengalir begitu saja. Ingin namun tak ingin. Ini
mengenai prinsip yang harus terkhianati. Yang hanya karena ego, penghalang itu
akan runtuh.
Usai membeli tiket, mereka keluar
untuk mencari makan. Masih satu setengah jam lagi film diputar.
“Enaknya
kalau nonton biar nggak kelaparan makan apa ya?” tanya Awan, “Makan soto enak
tuh, dibawa pas nonton film” lanjut Awan bercanda, sambil melirik rumah makan
soto di pinggir jalan.
“Iya
ya, terus sotonya dimasukin plastik gitu!” jawab Nara garing. Namun Awan
tertawa lepas. Nara senang melihat Awan yang tak menunjukkan dia tersiksa jalan
dengannya.
Berjalan memasuki studio. Waktu demi
waktu terlewat, film menyita semua perhatian Nara. Sesekali saling menatap dan
berbalas senyum.
“Seandainya
kamu tahu, waktu terhenti ketika aku menatapmu. Namun aku selalu takut jika
waktu bergerak maju. Aku harus bagaimana dengan perasaan cinta ini.” Nara
menatap layar dengan tatapan kosong. Entah apa adegan di film tadi.
Seperti halnya orang nge-date, pendekatan yang biasa dilakukan
dengan nonton bareng, jalan bareng, makan bareng, semua bareng, berdua. Bagi
Nara ini seperti menyamakan sesuatu yang dulu hanya bisa didengar dengan
pembuktian, kenyataan yang dia rasakan.
“Ehm,
mungkin gitu ya...” Nara melamun dan film berlalu. Setengah adegan film
dilewatkan Nara hanya untuk melamun.
***
1 Januari,
tahun baru. Malam tanggal 31 Desember, Awan mengajak Nara keluar. Tujuannya tak
jelas ke mana. Yang penting tahun baruan. Hujan, namun Awan dan Nara tetap
melaju malam itu. Menuju
puncak perayaan tahun baru yang berlangsung di taman
budaya. Ritual pembakaran ogoh-ogoh yang berbentuk kerucut raksasa dengan empat
warna, yakni putih, merah, hitam, dan kuning, melambangkan unsur udara, air,
tanah, dan api. Nara dan Awan menuliskan harapan pada secarik kertas yang
kemudian ditempel pada ogoh-ogoh itu agar ikut dibakar. Permohonan mengenai
cinta mereka diharapkan akan terkabul. Api melahab kertas demi kertas menjadi
abu. Asap mengebul, semoga sampai pada pemilik-Nya.
Banyak yang
bisa diungkapkan, namun hanya satu yang tak terungkap. Awan belum mengatakan
cintanya, walau sudah lewat 12 pagi. Waktu sudah beralih, 1 Januari. Namun Awan
tetap diam. Walau begitu, sinyal-sinyal cinta sangat kuat diantara mereka.
Mendengarkan alunan musik di taman budaya, liriknya ‘Would you be my girlfriend’, Awan hanya menirukannya. Nara hanya
tersenyum menutupi kegugupannya. Sekali lagi, ini tahun baru pertama keluar
dengan lelaki yang sangat istimewa di hatinya.
***
“Kepastian itu butuh diungkapkan
atau hanya dirasakan?”
“Kepastian
ya?! Apa yang pasti, di dunia ini tak ada yang pasti,” ketus Chika.
“Iya
sih,”
Tanggal 17 Januari, Nara menagih
kepastian itu. Awan mengajak Nara ke atas kota, menikmati pemandangan bawah
kota. Bercerita banyak hal, sambil menikmati milkshake mangga kesukaan Nara. Melihat lampu-lampu kota yang
remang. Ketika menemukan sesuatu, rasanya seperti berada di bukit, semua nampak
jelas, seluas mata memandang. Indah, melihat dan mereka-reka objek yang nampak
bias karena lampu warna beribu jumlahnya. Namun bagaimana sesuatu itu justru nampak
tak terjangkau. Jika mengingat prinsip itu, rasanya kedekatan Nara dengan Awan
menjadi ketakutan untuknya. Mengingkari pilihan yang telah diambil Nara. Selama
ini jelas Awan yang dipilihnya, namun justru menjadi kebimbangan untuknya.
Kepribadian dan kebaikan Awan
membuat Nara percaya dan yakin. Pulang dari sana, Nara mencoba memastikan
perasaan Awan.
“Apa
harus aku meminta?!”
“Minta
apa?” tanya Awan bingung. Nara hanya tersenyum. Harus dijelaskan dengan kalimat
lain.
“Enak
nggak sih menunggu?”
“Emang
kamu nunggu siapa?”
“Ehm,
nunggu siapa ya?!”
“Siapa?!
Bukan siapa! Nunggu apa, tepatnya!” Awan tersenyum. Dia mengerti maksud Nara.
“Susah
Ra. Tahun baru kemarin harusnya. Nggak tahu kenapa susah ngungkapinnya,” kata
Awan sambil mengendarai motornya, hampir sampai rumah Nara.
“Kok
susah?” celetuk Nara.
“Nggak
tahu, mau ngomong aja rasanya nggak bisa keluar.” Nara melihat Awan tersipu
dari spion sepeda motornya.
Sampai rumah, pembicaraan
dilanjutkan. Keraguan itu tiba-tiba muncul saat Awan secara tersirat
menyatakannya. Tak ada kata jadian, namun hati terlanjur bertaut, apa lagi yang
perlu dipastikan. Kata menjadi tak berarti karena hati yang bicara.
“Aku
takut,” kata Nara lirih.
“Takut
apa?!”
“Nggak
tahu. Ini baru pertama kalinya, dan kamu tahu kan aku inginnya mencari pacar
pertama dan terakhir,” tegas Nara.
“Kita
jalani saja dulu,” kata Awan memandang Nara.
Tak bisa mundur, karena keadaan
sudah sedemikian menyatukan. Jika tak jadi bersatu, akan menjadi aneh karena
intensitas kedekatan, sudah terlanjur dekat. Nara hanya tersenyum mendengar
pernyataan Awan, artinya iya. Sekali lagi kata tak berkuasa jika hati telah
berisyarat.
***
Nara merasa telah menemukan cinta yang selama ini
dia cari.
“Ini
senyum terbaikku dari wajah terbaikku!!” teriak Nara bersemangat.
“Wajah
lu berubah?!!” kata Chika membuyarkan.
Kembali
ke pantai, yang membuat dia menghanyutkan beberapa permintaan semasa mengakhiri
sekolah menengah dulu. Sentilan manis ketika mengingat cara Nara menciptakan
bahagianya bersama teman-temannya. Ya, teringat pada satu permintaan yang Nara
harap secepatnya akan menemui terang.
“Botol
itu, entah di samudera mana... Mungkin tersangkut di karang, terbawa ombak yang
kemudian menenggelamkannya.” Hal sederhana, sedikit norak kedengarannya.
Mengingatkan bahwa mimpi itu harus diwujudkan. Satu dari seribu cara. Minta dan
berharaplah.
“Re??”
Kehadiran Kire membuyarkan posisi Nara yang sejak tadi menatap lampu
belajarnya.
“Kurang
kerjaan ya?! Tombol on-off
dipencet-pencet sampai lecet gitu!” Kire meluncur ke tempat tidur menghindari
pukulan Nara.
Walau hanya pertautan dua hati yang
keberadaannya tak pernah Nara rasakan sebelumnya. Kenangan yang akan terhapus
waktu, namun di hati Nara ini akan terus membekas. Walau hanya meninggalkan
satu nama. Kenyataannya cepat atau lembat perpisahan pasti akan mengalami
masanya. Dan ketika memulai hubungan ini, Nara telah mempersiapkan diri untuk
kemungkinan berpisah.
“Aneh
kamu Ra, orang biasanya akan menghindari kemungkinan-kemungkinan terburuk dalam
berhubungan. Ini kenapa sepertinya kamu justru berharap?!”
“Ini
mengenai kenyataan Re! Setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan. Walaupun
mungkin nanti kita dipertemukan lagi, dan kemudian akan berpisah lagi,” Nara
tersenyum.
“Iya
tapi tetap aja aneh,” kata Kire, heran. Nara hanya terdiam.
Tak
lama terdengar suara motor Awan di halaman rumah.
“Awan,
Re...”
“Ya
udah sana keluar. Numpang tidur ya Ra?! Rumah kosong, Rengga lagi di luar
kota.” Nara tersenyum dan bergegas menemui Awan.
Duduk di beranda rumah. Malam
mengingatkan Nara tentang risalah yang terucap pada bulan dan bintang. Bulan
purnama dan satu bintang terang. Langit seperti mengamini, mungkin memang
saatnya, Awan hadir. Hanya bisa menerka. Dan untuk memastikan Nara butuh
keyakinan, hatinya yang akan memilih.
“Di
bawah langit ini, hanya ada purnama dan satu bintang terang yang terlihat,”
Nara tersenyum. Dia telah tersugesti dengan risalahnya.
“Langit
jadi saksi. Bulan, bintang kupandangi. Dia tetap indah... Namun, seakan semua
mauku, kehendakku, melihatnya nampak bulat berkuasa, satu benderang bintang
mengalahkan kerlingan irisan yang seperti belimbing lainnya. Yang lainnya entah
ke mana, satu keindahan setelah dia di hadapanku,” Nara tersenyum manis.
***
120 menit lagi, menghitung detik
demi detik. Belum jam tiga, rasanya lembat sekali waktu berjalan. Nara tak
sanggup menyembunyikan kegembiraannya. Tak biasanya dia mandi lebih awal. Cinta
memang indah, apalagi jika baru dirasakan. Awal memulai seperti musim semi.
Bunga bermekaran, seperti sakura pink
di halaman rumah. Serasa melihat langsung di negara asalnya, Jepang. Ya, jatuh
cinta membuat Nara jatuh ke dalam dunia khayal. Yang indah, menjadi lebih
indah.
Awan
belum datang, Nara sudah berkali-kali keluar masuk pintu. Gelisah menanti Awan
di depan pintu. Setelah beberapa lama, Nara hanya terduduk. Nara mulai cemas
karena Awan tak kunjung datang. Tak lama kemudian, suara motor yang khas
mendekat. Nara sangat hafal motor yang dikendarai Awan.
Duduk
di beranda rumah, menyempatkan berbincang sebentar sebelum pergi berkunjung ke
rumah Okky, sahabat Awan.
“Orang seperti
apa yang kamu cari?” Nara bertanya, namun Awan tetap diam.
“Kamu
kebingungan atau terlalu besar harapanmu dengan kriteria yang kamu miliki.
Entahlah, aku tak pernah tahu.”
“Apa perlu dijawab?”
“Ya...” sahut
Nara
“Untuk apa...
kalau yang dihadapanku sudah menjelaskan semuanya,” Nara tersipu malu.
“Aku harus
bagaimana... Ada sedikit keraguan pada perasaan ini. Aku takut, kamu sama saja
dengan yang lain,” memandang wajah Awan dengan penuh kekalutan
“Masa depan kita
nggak pernah tahu kan. Jalani aja Nara,” Awan tersenyum
Nara membalas
senyumnya, sedikit tertutupi rasa kalut yang dirasakan.
Nara belum pernah pergi jauh bersama
orang yang sangat istimewa seperti Awan. Dia tak tahu harus berbuat apa. Nara
berusaha menutupi kebingungannya.
Dalam hatinya,
“Maaf Awan, aku bukan perempuan yang menyenangkan seperti perempuan lain.
Perjalanan kali ini pasti akan sangat membosankan.”
Usai dari rumah sahabat Awan, Okky,
tak lama perjalanan dilanjutkan. Nara akan pergi ke kolam renang terbuka di
puncak. Dingin menyelimuti, angin semakin kencang berembus. Nara hanya menemani
Awan dan Okky berenang di sana.
Dia teristimewa di mata Nara. Nara
melihat barisan bukit yang menyundul ke awan dari kejauhan. Menanjaki jalanan
landai. Nara menulis cerita di sini.
“Aku
bertemu kamu tanpa keraguan. Dan sekarang, meski ada curiga, ada ketakutan yang
berbanding terbalik dengan keyakinan ini, aku memantabkan hati untuk tetap
bersamamu. Menjadikan tanganmu sebagai tumpuan goyahku, menjadikan bahumu
sandaran tangisku, menjadikan langkahmu penuntunku.”
Melambaikan tangan dari kejauhan.
Salam kerinduan dari jauh walau bersama dalam satu tempat. Masih terasa rindu
yang terpisah jarak walau hanya sedepa.
“Haruskah
kita diikat jadi satu, agar tak berai. Tak ada jarak yang membuat kita enggan.
Agar tak ada lagi rindu pada sosokmu, namun merindukan hal lain – di hatimu.”
***
Perjalanan
pulang telah melewati malam minggu. Tak nampak cahaya bulan dan bintang, namun
tetap indah. Tak butuh waktu lama, hujan turun tak begitu deras.
Awan melaju kencang pada kegelapan malam yang dingin. Nara hanya bisa terdiam
menatap punggungnya dari belakang.
“Biar
pun tak memakai mantel. Hati ini rasanya sudah terpayungi,” Nara senyum-senyum
sendiri.
“Kenapa
kamu Ra? Heh, kegirangan gitu!” Awan menegur lewat kaca spion.
“Hee...
enggak, enggak kok.”
“Kamu
senang hujan-hujanan gini?”
“Iya,
suka.”
“Suka
apanya?! Nanti masuk angin! Udah, nanti di depan kita berhenti, mantelnya
dipakai ya.. Udah mulai deras banget hujannya,” Nara mengangguk.
Hujan turun meniupkan angin bersama
cipratan tanah. Bau knalpot, asap, dan sorot lampu yang berpapasan dengan
rintik hujan. Menghindari lubang-lubang menganga di jalan beraspal, sentilan
dingin tetes hujan, baju yang mulai basah karena rembesan air hujan yang terus
menerpa. Sebenarnya ini suasana biasa saja, saat kehujanan. Namun bagi Nara
sangatlah istimewa karena ada Awan di sampingnya.
Di tengah perjalanan, Nara
menyempatkan membeli wedang ronde kesukaannya. Cocok dengan
cuaca dingin usai hujan. Minuman tradisional rasa jahe yang membuat hangat dengan
isi ronde, kacang, dan kolang-kaling, dimakan berdua di trotoar yang dipayungi
pohon besar yang rimbun.
Tak
banyak yang bisa dimakan. Menatap wajah Awan sudah membuat Nara kenyang.
“Dia itu sederhana, tak banyak cerita, terkadang
rasanya malu melihatnya yang seakan banyak kelebihannya,” Nara memalingkan
wajahnya ketika Awan memergoki menatapnya tak berkedip.
***
Setiap orang yang pernah jatuh cinta
pasti merasakannya. Bodoh, Nara baru saja mengenal cinta. Entah betapa
beruntungnya Awan atau justru betapa malangnya nasib Awan. Sampai pernah
terbesit dipikiran Nara untuk menginggalkannya pada awal kebersamaan mereka.
“Aku
tak pantas untukmu. Lihat aku ini gadis yang menyedihkan. Banyak gadis di luar
sana yang lebih baik dariku, kamu bisa pergi. Sebelum... sebelum aku
benar-benar mencintaimu!”
Ketakutan yang benar-benar dirasakan
oleh Nara. Nara mencintai Awan, namun dia lebih takut jika suatu saat ketika
Nara sudah mencintai seseorang, akan sulit untuk menjauh. Ini tak baik untuk
selanjutnya. Nara tahu dirinya seperti apa, dan untuk mencegah perasaan itu
lebih baik tak terlalu jatuhkan hati.
Yang tahu diri Nara, ya dia sendiri.
Jika Nara terlanjur sayang pada seseorang, dia akan susah melepas. Jika
hanya Awan yang terlihat, Nara tak bisa melihat hal lain, pandangan lain,
karena hanya terpaku pada satu objek. Nara tak mau terlalu dalam jatuh. Karena
rasanya pasti sakit sekali. Awan seperti dua mata pisau yang dikhawatirkan
Nara. Jika terlanjur menaruh hati akan sulit untuk melepaskan, seperti kata
Sabrina, penyanyi wanita kesukaan Nara, ‘You
have become my addiction’.
“Gini
nih kalau udah tergantung sama seseorang, apa-apa inginnya bareng!” Perasaan
senang dan kesal seakan jadi satu. Menyenangkan sekaligus melenakan.
Sejenak kegundahan hati tertahan.
Awan mengajak Nara ke pantai, tempat yang sering ia ceritakan bersama
sahabatnya.
“Iyut??”
panggilan Nara pada cinta pertamanya ini. Entah dari mana nama itu berasal.
Panggilan yang disematkan padanya saat KKN dulu, menjadi panggilan
kesayangannya untuk Awan.
“Kita
mau ke mana?” Awan hanya tersenyum. Jalanan ini memang tak asing bagi Nara,
namun sedikit aneh jika Awan mengajak Nara ke sini.
“Ah,
kesurupan apa si cuek ini?!” Awan begitu manis hari ini, Nara senang tak
terkira.
Nara dan Awan pergi ke pantai tempat
semua kenangan manis dimulai untuk diakhiri, kelak. Ya, kelak... Sungguh Nara
takut dengan apa yang dia rasakan.
“Sementara,
tak ada yang abadi. Semuanya fana kan?” tegas Nara pada dirinya sendiri.
Hujan
memulai perjalanan dua sedjoli ini. Walau basah kuyub, kehangatan cinta mereka
yang selalu menyelimuti dinginnya angin yang dibawa hujan.
Cinta yang sederhana dari orang
sesederhana Awan Dan seapaadanya Nara. Mereka sangat-sangat saling melengkapi,
saling mengisi. Awan dengan sifatnya yang cuek, pendiam, dan pasif untuk ukuran
seorang cowok. Sedangkan Nara yang ekspresif dengan kepolosannya.
“Aku
mencintaimu.”
Kata
yang sering terucap dari mulut Nara untuk Awan, dan sebaliknya. Kata-kata yang
bisa dihitung jari untuk disampaikan Awan pada Nara. Jika harus mendengarnya,
itu karena Nara yang memaksa Awan untuk mengatakannya. Walau begitu Nara cukup
tersenyum meyakini bahwa cintanya sama walau tak diungkapkan Awan.
“Iya!
Pasti seperti itu!” Nara meyakinkan diri.
***
Siluet senja hadir usai hujan deras.
Masih sempat menyaksikan senja menenggelamkan bayang. Di ujung batas yang
memisahkan deruan ombak dengan batu penghalang membuncah air pasang yang seakan
menyapa dua pecinta, satu rasa ini. Atau justru iri melihat eratnya mereka, tak
ada celah. Tangan erat menggengam, terjangan ombak tak sampai hati mengusik,
uluman ombak semakin pelan mendekat yang kadang tak sempat memecah karang,
beradu, menghantam bebatuan. Tak ada cahaya apa pun, kecuali siluet yang memang
indah dengan temaram warna jingga.
“Siluet
mengabadikan kisah cinta ini. Siluet yang menyembunyikan cinta, diantara
bayanganmu dan semburat jingga di sekitar wujudmu. Aku tahu sesungguhnya kita
tak benar-benar saling memiliki. Ini alasan ketakutanku, kehilanganmu.”
“Ra,
senyum dong!”
“Enggak
Yut, malu...” berkata manja pada Awan.
“Dasar
pemalu,” Awan tersenyum sambil mengusap-usap kepala Nara.
“Sini
kamu aja yang aku foto!” Nara meraih handphone
di tangan Awan.
“Sungguh,
ini indah karena senja. Hasilnya tak akan seindah ini jika tak berupa siluet.
Namun kamu keindahan itu Awan,” Nara memandangi hasil foto di handphone-nya.
Kadang Nara merasa dia hanya bisa
melihat Awan dari bawah, layaknya awan. Dan Awan hanya bisa melihat Nara
mengaguminya, tanpa dia tahu Nara telah mempertaruhkan prinsip untuk
bersamanya.
“Kinara
Larasati, kenapa diam saja?” Nara hanya menggelengkan kepala.
“Apa
yang perlu aku lakukan agar kamu tak hanya memandangi senja. Aku iri melihatmu
menduakanku pada keindahan di ujung sana. Walaupun aku tahu aku tak akan mampu
menandingi keindahannya...” Nara merasa semua itu bukan diri Awan yang
sesungguhnya, kalimat yang terangkai itu. Nara tahu betapa Awan telah berusaha
keras untuk mengimbangi Nara dengan sifatnya yang begitu ekspresif.
“Berikan
senyummu pada senja, kamu tampak istimewa saat ini. Keberadaanmu pada keindahan
ini, terlengkapi dengan kehadiranmu,” Nara menimpali perkataan Awan yang belum
selesai.
“Kau
dan senja, aku tak dapat memilih salah satunya,” Dua bagian yang melengkapi
cinta pertama ini.
Akan ada yang pergi dan akan ada
yang menggantikannya. Matahari meredup dengan anggunnya. Siluet yang semakin
memudar mengakhiri pergantian waktu. Walau telah menghilang dan hanya
meninggalkan gelap, ini keindahan usai kepergian. Bulan dan bintang belum
terlihat di pergantian ini, matahari tak sempat pamit.
“Esok,
apakah aku masih bersamamu memberi salam pada senja, menyaksikan pamitnya di
ufuk barat, melihat siluet itu, kembali?!” gumam Nara. Awan hanya diam menatap
kegelapan.
Akan ada rindu saban senja, akan ada
harapan pada tiap gulungan ombak yang kembali. Romantisme ini belum usai sampai
malam menyapa. Mereka kembali pulang, mengantongi cinta yang seakan tak ada
habisnya.
Lihatlah
akhir saat awalmu. Lihatlah awal cinta yang manis, tak ada bengis dan tangis.
Dan kita lihat akhir, saat merasakan awal. Maka kau akan sedih karena perih dan
kau akan merintih walau hanya membayangkannya.
***
Seharian Nara berpikir akan
mendapatkan kejutan dari Awan. Seharian menanti Awan untuk pergi bersama. Namun
dia tak datang, dia membatalkan niatnya untuk pergi. Dengan perasaan kecewa,
Nara hanya bisa diam.
“Apa
ini yang namanya sayang? Walaupun sudah dikecewakan, dibuat marah dan jengkel,
aku tetap tak bisa membencinya.” Nara justru ingin belajar mengertinya.
Nara sangat menanti bulan April
tahun ini. Pertama kalinya pada hari ulang tahunnya yang ke-22 ditemani
seseorang yang istimewa. Selama “dua puluh dua” tahun ─ penekanan usia untuk
Nara yang baru mempunyai kekasih, Awan adalah seseorang yang sangat teristimewa
sekali!
Pagi hari bersama kelincinya yang
bernama Mony alias ‘Mony’ong bermain di taman rumah. Tak disangka Awan, Kire,
dan Chika datang tak hanya membawa senyum, mereka datang membawa kue tart dan kado istimewa di hari ulang
tahun Nara.
Awan bilang baru pertama kalinya melakukannya.
Memberikan kejutan ulang tahun untuk seseorang perempuan, Nara. Baru pertama
kalinya setelah empat kali berpacaran. Baru pacar kelima inilah dia memberikan kejutan
dan hadiah ulang tahun untuk kekasihnya.
“Beruntungnya
aku,” gumam Nara.
Atau
karena semenjak pacaran sampai hari putusnya, ulang tahun mantan-mantannya yang
dulu tak bisa dijumpai. Putus sebelum menginjak ulang tahun mereka. Sepertinya alasan
kedua lebih tepat. Awan tak bisa pacaran lebih dari tiga bulan. Pantas jika tak bisa bertahan lama, dia
terlalu cuek namun dia juga tak bisa disalahkan. Memang ketidakcocokan yang
terjadi membuat hubungan menjadi singkat. Sederhana ─ tanda tak jodoh.
Senangnya Nara melihat pigura yang
berisi foto Awan dan Nara. Dilihatnya Awan mengangkat huruf demi huruf
membentuk kalimat ucapan ulang tahun itu. ‘Happy
Birthday Kinara!’, huruf balok di
sela jemari Awan, terangkai dengan cinta yang menghiasi sekeliling bingkai. Terbingkai
indah, buatan tangan Awan sendiri. Ini sungguh istimewa. Bukan barang mewah dan
mahal. Sederhana, namun itu bentuk perhatian Awan pada Nara. Dengan tangannya
sendiri, dia menyempatkan waktunya untuk membuat hadiah itu. Hadiah pertama
yang diterima dari seseorang yang begitu istimewa.
“Beruntungnya
Nara,” Kire tersenyum. Dia sudah tak jadi penasihat prinsip Nara. Namun dia
tetap jadi ibu peri dan dewi cinta untuknya.
Mereka hanya sebentar memberikan
kejutan. Mengabadikannya, berfoto bersama, kemudian makan kue tart bersama. Tak lama, Chika dan Kire
pamit. Mereka tahu diri untuk tak menggangu waktu Nara dan Awan bersama. Walau
sekadar untuk mengusapkan krim gula di kue tart
sisa dimakan tadi.
Setelah itu Awan pamit. Seperti
biasa, tak banyak kata terucap dari mulutnya. Namun hari ini Nara tahu, apa
yang dia lihat dan rasakan cukup untuk menunjukkan rasa cinta itu ─ untuk saat
ini. Cukup melegakan.
“Akan
kusimpan bahagia ini. jika tak cukup untuk setahun yang akan datang, akan
kuciptakan bahagia ini sendiri dengan mengingatmu ─ pada foto ini,” gumam Nara
melihat foto ulang tahunnya. Cinta dalam bingkai. Menyeka waktu, pertanda ulang
tahun ke-22 Nara.
“Dua
puluh dua,” kata Nara dengan penuh penekanan. Tak akan terulang masa di 22
tahun ini. Namun kebahagiaan itu akan membawa kenangan yang mungkin akan
bermakna di angka 23 nanti.
Segenap rasa yang tertumpah, biarlah
tumpah. Hari istimewa yang tak akan terulang lagi, usia 22 yang tak akan
dilalui lagi. Nara merasakan dua perasaan sekaligus, bersamaan merasakan sedih
dan bahagia.
“Tuhan,
jika sekarang aku bahagia, jangan biarkan kebahagiaan ini hanya sampai ini
berakhir. Bukan hanya di hari spesial ini, aku harap akan selalu bersama
keluarga dan orang-orang yang spesial seperti mereka.”
***
Selisih tiga hari, tanggal 22 pada
bulan April, ulang tahun Awan. Namun Nara tak bisa memberikan apa-apa. Sudah
berhari-hari Nara mengerjakan maket bola dan maket logo club bola kesayangan Awan, Manchester United. Namun hasilnya tak
bisa dibilang memuaskan, hancur.
“Lihat
nih Re, hasil lembur semalaman... nggak jadi apa-apa Re!” menarik nafas panjang
dan mengembuskannya.
“Kamu
enggak tidur Ra?”
“Tidur,
satu dua jaman lah!” Kire menggelengkan kepalanya, heran.
Pagi hari, Nara masih melanjutkan
mengerjakan maket bola lagi. Yang semalam itu hanya replika dari kertas. Lembur
semalam itu hanya menghasilkan maket eksperimen, dua kali kerja. Akan lebih
sulit lagi, maket yang sebenarnya terbuat dari mika bening, yang dibentuk pola
setelah lembur semalam, mulai dipotong sesuai pola dan kemudian dirangkainya.
“Licin
cint!” teriak Nara disamping Kire.
Setelah berjam-jam, sampai matahari
tepat di ubun-ubun, memang sudah membentuk bola, bola yang kempes. Hasilnya
berantakan, tak jelas bentuknya.
“Yah
Re, gimana nih?! Tinggal semalam lagi. Udah nggak sempat.”
Padahal Nara sampai mengesampingkan
revisi skripsinya. Selama seminggu, Nara disibukkan dengan handmade buatan tangannya sendiri sebagai kado ulang tahun Awan.
Namun harus gagal. Akhirnya, tak satu pun kado yang bisa diberikan Nara. Nara
ingin sekali memberi Awan hasil karyanya, seperti yang dilakukan Awan pada
Nara.
“Yaahh
gagal total! Maaf Yut, hari ulang tahunmu tak ada yang spesial dariku.” batin
Nara.
Malam hari, Nara sengaja ingin
memberikan kejutan setelah lewat pukul 12:00 nanti. Menanti hari berganti,
tanggal 22 April. Bingung, Nara hanya bisa memberikan ucapan ulang tahun pada
Awan.
Hari berganti, Nara menelepon Awan
yang tengah tertidur pulas. Namun sepertinya Awan terganggu.
“Maaf
yut, kepencet. Ini tanggal 22 kan ya? Hari ulang tahunmu bukan?! Maaf ya tak
bisa memberikan apa-apa di hari ulang tahunmu.” Nara berpura tak mengetahui
hari ulang tahun Awan. Niatnya
ingin memberi kejutan dengan pura-pura lupa, namun yang terjadi, benar-benar
mengaku lupa. Ini karena tak ada sambutan yang berarti dari Awan. Sepertinya
tak tepat memberikan kejutan ulang tahun di tengah malam, mengganggu tidur.
Telepon
diakhiri dengan doa dan harapan yang diamini Awan yang setengah sadar, suaranya
terdengar khas layaknya orang baru bangun tidur.
Nara menyesal tak bisa memberikan
yang terbaik seperti Awan yang memberikan kado istimewa di ulang tahunnya. Nara
sengaja tak memberitahukan Awan mengenai usahanya yang gagal membuat kado
untuknya.
“Bagaimana
kamu bisa mengerti apa yang tak diungkapkan, sedang yang diungkapkan kadang
juga tak dimengerti olehmu,” Nara memendam semua kekecewaannya. Seandainya Awan
tahu, betapa Nara telah berusaha keras untuk memberikan sesuatu yang istimewa
untuknya.
Nara tak bisa memberikan apa-apa
pada Awan di hari ulang tahunnya, walau dia tak meminta apa pun. Nara tahu Awan
kecewa, meski tak ditunjukkannya. Dan harusnya Awan bisa melihat betapa
kecewanya Nara terhadap hasil usaha yang tak berarti apa-apa. Yang tak bisa
ditunjukkan kadang itu yang menunjukkan. Kegigihan Nara lewat usahanya yang tak
bisa diperlihatkannya pada Awan, ketulusan Nara.
Nara gagal untuk menunjukkan betapa
Awan juga sangat istimewa, kado buatannya, hancur di sudut meja. Jika cinta
perlu dibuktikan, Nara telah mengacaukan salah satu pembuktian itu. Berharap
cinta bisa menghapus kekecewaan yang dirasakan Awan.
“Doaku
akan lebih berarti untukmu,” Nara tersungkur lemas, membereskan sisa bahan dari
maket buatannya. Bahkan sebentar lagi maket hancur itu juga akan masuk
pembuangan. Nara tak tega melihatnya, mengingat kehancuran kado ulang tahun
Awan itu.
Nara
segera tidur. Tidur dengan kekecewaan, rasanya seperti mengigau dengan
tangisan. Terpejam, tak sadar, namun rasanya benar-benar nyata dengan air mata
menetes horisontal.
No comments:
Post a Comment