Tuesday, September 29, 2015

05:00 Langit Jadi Saksi



            Perjalanan cinta yang dimulai dengan proses yang singkat. Nara mulai menaruh hati tanpa tahu alasan lain. Dia baik, berbeda dari yang lain. Sangat subjektif, namun masalah hati membuat semuanya lebih dari sekadar istimewa. Mungkin ─ ini cinta. Seberapa besarnya dan bagaimana bentuknya cinta, bisa dilihat dari betapa tak semudah itu kamu berpaling, tak semudah itu kamu tak peduli.
            Masih teringat jelas kenangan bersama Awan. Walau tak lagi bersama setiap harinya karena Kuliah Kerja Nyata telah usai, Awan tak pernah luput dari ingatan Nara.
“Mungkin ini suatu dosa, namun masa-masa itu memberikan makna yang tak pernah dirasakan sebelumnya. Melekat di sini, ya di sini! Di hatiku.”
            Antara prinsip dan pilihan. Jika yang dipilih salah, maka prinsip akan menjadi percuma. Nol besar untuk prinsip yang dibuat sendiri, namun justru tak bisa menjadi penuntunnya. Bagi Nara ini pertaruhan. Walau akhirnya tak akan bisa disebut menang atau kalah. Karena semua merupakan perjalan hidup.
***


            Takdir telah ditangguhkan. Nara beruntung diberi waktu untuk menghapus rasa sesalnya. Mereka bertemu lagi, takdir masih mengizinkan. Ada penilaian KKN yang telah dilakukan selama sebulan lalu. Mereka berkumpul lagi setelah jeda dua hari berpisah.
            Usai ujian, mereka memutuskan untuk pergi bersama. Menghabiskan sisa cerita yang belum usai, menuntaskan cinta yang belum kelar. Menuju tempat karaoke menghabiskan sisa uang kas yang masih banyak. Lalu menemani Ofa membeli hp baru. Hanya itu, namun sudah menghabiskan waktu dari siang hingga malam hari. Rasanya masih kurang.
            Pertemuan itu merupakan titik balik dari harapan Nara.
“Ada harapan!” bisik Anda di telinga Nara.
Nara hanya tersenyum. Senyumnya tak habis walau semalaman dia tak bisa tidur memikirkan perasaannya. Nara tengah mengantuk dan kelelahan saat pergi bersama teman-temannya, namun dia tak bisa melewatkan kebersamaan dengan Awan. Kesempatan bertemu mungkin akan ada lagi, namun karena waktu tak akan terulang. Nara menjalani penangguhan hari ini, menebus penyesalan masa KKN lalu.
            Hujan menahan sejenak perjalanan mereka, memberi waktu untuk memahami perasaan masing-masing. Terhenti namun jantung berdetak seakan sedang berlari kencang. Menatap wajah Awan diterpa tempias air hujan.
“Ah, tidak! Dia begitu teristimewa bagiku. Jangan berikan hatimu Nara atau jika kausiap untuk terjatuh,” Nara memalingkan wajahnya. Sesekali ingin melihat Awan.
“Ya Tuhan, begitu indahnya ciptaanmu hingga membuatku mengawang-awang di awan, meyakinkan aku untuk siap terjatuh.”
            Nara selalu takut dengan hubungan ini. “Ada sesuatu yang salah, yang tak seharusnya kulakukan. Jika ini suatu dosa, kembalikanlah aku ke dalam keikhlasan untuk melepasnya,” Nara semakin gelisah jika mengingat prinsip itu.

            Dari awal Nara mengenal cinta, hanya ada satu prinsip dalam hidupnya. Jika memang harus menanggalkan masa sendirinya, hanya pada kekasih pertama dan terakhirnya. Namun siapa yang tahu hari esok. Jika dia harus terjatuh hanya karena Awan. Inilah pilihan hidup... Kesempatan berjuta hadirnya, namun ketika harus memberanikan memungut satu diantara berjuta, itu pilihan.
***

Pertama kali jalan berdua dengan cowok, dengan label pdkt. Percobaan untuk Awan. Nara tak pernah jalan dengan lelaki mana pun, kecuali dengan ayah dan sahabatnya, Rengga. Canggung, salah tingkah, tak mengerti harus bagaimana. Raut wajahnya tak bisa disembunyikan rasa malu yang terus melekat. Di usianya yang menginjak 22 tahun, pertama kali dalam hidupnya.
“Selamat berkagok-kagok ria ya neng!” Kire tertawa puas meledek Nara.
            Pukul 15.00, masih terlalu awal untuk menuju Pandanaran Art Fest di pusat kota. Setelah lama berkeliling, Awan ternyata membelokkan niatnya untuk menonton film di bioskop.
“Kenapa Awan tak bilang kalau mau nonton. Sepertinya dia sudah merencanakan!” Nara tak tahu harus berbuat apa.
“Memalukan, udah tua begini baru kali ini jalan sama cowok. Ke mana aja lu Kinara Larasati?!!”
Nara dibuat canggung. Semua mengalir begitu saja. Ingin namun tak ingin. Ini mengenai prinsip yang harus terkhianati. Yang hanya karena ego, penghalang itu akan runtuh.
            Usai membeli tiket, mereka keluar untuk mencari makan. Masih satu setengah jam lagi film diputar.
“Enaknya kalau nonton biar nggak kelaparan makan apa ya?” tanya Awan, “Makan soto enak tuh, dibawa pas nonton film” lanjut Awan bercanda, sambil melirik rumah makan soto di pinggir jalan.
“Iya ya, terus sotonya dimasukin plastik gitu!” jawab Nara garing. Namun Awan tertawa lepas. Nara senang melihat Awan yang tak menunjukkan dia tersiksa jalan dengannya.
            Berjalan memasuki studio. Waktu demi waktu terlewat, film menyita semua perhatian Nara. Sesekali saling menatap dan berbalas senyum.
“Seandainya kamu tahu, waktu terhenti ketika aku menatapmu. Namun aku selalu takut jika waktu bergerak maju. Aku harus bagaimana dengan perasaan cinta ini.” Nara menatap layar dengan tatapan kosong. Entah apa adegan di film tadi.
            Seperti halnya orang nge-date, pendekatan yang biasa dilakukan dengan nonton bareng, jalan bareng, makan bareng, semua bareng, berdua. Bagi Nara ini seperti menyamakan sesuatu yang dulu hanya bisa didengar dengan pembuktian, kenyataan yang dia rasakan.
“Ehm, mungkin gitu ya...” Nara melamun dan film berlalu. Setengah adegan film dilewatkan Nara hanya untuk melamun.
***

                1 Januari, tahun baru. Malam tanggal 31 Desember, Awan mengajak Nara keluar. Tujuannya tak jelas ke mana. Yang penting tahun baruan. Hujan, namun Awan dan Nara tetap melaju malam itu. Menuju puncak perayaan tahun baru yang berlangsung di taman budaya. Ritual pembakaran ogoh-ogoh yang berbentuk kerucut raksasa dengan empat warna, yakni putih, merah, hitam, dan kuning, melambangkan unsur udara, air, tanah, dan api. Nara dan Awan menuliskan harapan pada secarik kertas yang kemudian ditempel pada ogoh-ogoh itu agar ikut dibakar. Permohonan mengenai cinta mereka diharapkan akan terkabul. Api melahab kertas demi kertas menjadi abu. Asap mengebul, semoga sampai pada pemilik-Nya.
            Banyak yang bisa diungkapkan, namun hanya satu yang tak terungkap. Awan belum mengatakan cintanya, walau sudah lewat 12 pagi. Waktu sudah beralih, 1 Januari. Namun Awan tetap diam. Walau begitu, sinyal-sinyal cinta sangat kuat diantara mereka. Mendengarkan alunan musik di taman budaya, liriknya ‘Would you be my girlfriend’, Awan hanya menirukannya. Nara hanya tersenyum menutupi kegugupannya. Sekali lagi, ini tahun baru pertama keluar dengan lelaki yang sangat istimewa di hatinya.
***

            “Kepastian itu butuh diungkapkan atau hanya dirasakan?”
“Kepastian ya?! Apa yang pasti, di dunia ini tak ada yang pasti,” ketus Chika.
“Iya sih,”
            Tanggal 17 Januari, Nara menagih kepastian itu. Awan mengajak Nara ke atas kota, menikmati pemandangan bawah kota. Bercerita banyak hal, sambil menikmati milkshake mangga kesukaan Nara. Melihat lampu-lampu kota yang remang. Ketika menemukan sesuatu, rasanya seperti berada di bukit, semua nampak jelas, seluas mata memandang. Indah, melihat dan mereka-reka objek yang nampak bias karena lampu warna beribu jumlahnya. Namun bagaimana sesuatu itu justru nampak tak terjangkau. Jika mengingat prinsip itu, rasanya kedekatan Nara dengan Awan menjadi ketakutan untuknya. Mengingkari pilihan yang telah diambil Nara. Selama ini jelas Awan yang dipilihnya, namun justru menjadi kebimbangan untuknya.
            Kepribadian dan kebaikan Awan membuat Nara percaya dan yakin. Pulang dari sana, Nara mencoba memastikan perasaan Awan.
“Apa harus aku meminta?!”
“Minta apa?” tanya Awan bingung. Nara hanya tersenyum. Harus dijelaskan dengan kalimat lain.
“Enak nggak sih menunggu?”
“Emang kamu nunggu siapa?”
“Ehm, nunggu siapa ya?!”
“Siapa?! Bukan siapa! Nunggu apa, tepatnya!” Awan tersenyum. Dia mengerti maksud Nara.
“Susah Ra. Tahun baru kemarin harusnya. Nggak tahu kenapa susah ngungkapinnya,” kata Awan sambil mengendarai motornya, hampir sampai rumah Nara.
“Kok susah?” celetuk Nara.
“Nggak tahu, mau ngomong aja rasanya nggak bisa keluar.” Nara melihat Awan tersipu dari spion sepeda motornya.
            Sampai rumah, pembicaraan dilanjutkan. Keraguan itu tiba-tiba muncul saat Awan secara tersirat menyatakannya. Tak ada kata jadian, namun hati terlanjur bertaut, apa lagi yang perlu dipastikan. Kata menjadi tak berarti karena hati yang bicara.
“Aku takut,” kata Nara lirih.
“Takut apa?!”
“Nggak tahu. Ini baru pertama kalinya, dan kamu tahu kan aku inginnya mencari pacar pertama dan terakhir,” tegas Nara.
“Kita jalani saja dulu,” kata Awan memandang Nara.
            Tak bisa mundur, karena keadaan sudah sedemikian menyatukan. Jika tak jadi bersatu, akan menjadi aneh karena intensitas kedekatan, sudah terlanjur dekat. Nara hanya tersenyum mendengar pernyataan Awan, artinya iya. Sekali lagi kata tak berkuasa jika hati telah berisyarat.
***

Nara merasa telah menemukan cinta yang selama ini dia cari.
“Ini senyum terbaikku dari wajah terbaikku!!” teriak Nara bersemangat.
“Wajah lu berubah?!!” kata Chika membuyarkan.
Kembali ke pantai, yang membuat dia menghanyutkan beberapa permintaan semasa mengakhiri sekolah menengah dulu. Sentilan manis ketika mengingat cara Nara menciptakan bahagianya bersama teman-temannya. Ya, teringat pada satu permintaan yang Nara harap secepatnya akan menemui terang.
“Botol itu, entah di samudera mana... Mungkin tersangkut di karang, terbawa ombak yang kemudian menenggelamkannya.” Hal sederhana, sedikit norak kedengarannya. Mengingatkan bahwa mimpi itu harus diwujudkan. Satu dari seribu cara. Minta dan berharaplah.
“Re??” Kehadiran Kire membuyarkan posisi Nara yang sejak tadi menatap lampu belajarnya.
“Kurang kerjaan ya?! Tombol on-off dipencet-pencet sampai lecet gitu!” Kire meluncur ke tempat tidur menghindari pukulan Nara.
            Walau hanya pertautan dua hati yang keberadaannya tak pernah Nara rasakan sebelumnya. Kenangan yang akan terhapus waktu, namun di hati Nara ini akan terus membekas. Walau hanya meninggalkan satu nama. Kenyataannya cepat atau lembat perpisahan pasti akan mengalami masanya. Dan ketika memulai hubungan ini, Nara telah mempersiapkan diri untuk kemungkinan berpisah.
“Aneh kamu Ra, orang biasanya akan menghindari kemungkinan-kemungkinan terburuk dalam berhubungan. Ini kenapa sepertinya kamu justru berharap?!”
“Ini mengenai kenyataan Re! Setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan. Walaupun mungkin nanti kita dipertemukan lagi, dan kemudian akan berpisah lagi,” Nara tersenyum.
“Iya tapi tetap aja aneh,” kata Kire, heran. Nara hanya terdiam.
Tak lama terdengar suara motor Awan di halaman rumah.
“Awan, Re...”
“Ya udah sana keluar. Numpang tidur ya Ra?! Rumah kosong, Rengga lagi di luar kota.” Nara tersenyum dan bergegas menemui Awan.
            Duduk di beranda rumah. Malam mengingatkan Nara tentang risalah yang terucap pada bulan dan bintang. Bulan purnama dan satu bintang terang. Langit seperti mengamini, mungkin memang saatnya, Awan hadir. Hanya bisa menerka. Dan untuk memastikan Nara butuh keyakinan, hatinya yang akan memilih.
“Di bawah langit ini, hanya ada purnama dan satu bintang terang yang terlihat,” Nara tersenyum. Dia telah tersugesti dengan risalahnya.
“Langit jadi saksi. Bulan, bintang kupandangi. Dia tetap indah... Namun, seakan semua mauku, kehendakku, melihatnya nampak bulat berkuasa, satu benderang bintang mengalahkan kerlingan irisan yang seperti belimbing lainnya. Yang lainnya entah ke mana, satu keindahan setelah dia di hadapanku,” Nara tersenyum manis.
***

            120 menit lagi, menghitung detik demi detik. Belum jam tiga, rasanya lembat sekali waktu berjalan. Nara tak sanggup menyembunyikan kegembiraannya. Tak biasanya dia mandi lebih awal. Cinta memang indah, apalagi jika baru dirasakan. Awal memulai seperti musim semi. Bunga bermekaran, seperti sakura pink di halaman rumah. Serasa melihat langsung di negara asalnya, Jepang. Ya, jatuh cinta membuat Nara jatuh ke dalam dunia khayal. Yang indah, menjadi lebih indah.
Awan belum datang, Nara sudah berkali-kali keluar masuk pintu. Gelisah menanti Awan di depan pintu. Setelah beberapa lama, Nara hanya terduduk. Nara mulai cemas karena Awan tak kunjung datang. Tak lama kemudian, suara motor yang khas mendekat. Nara sangat hafal motor yang dikendarai Awan.
Duduk di beranda rumah, menyempatkan berbincang sebentar sebelum pergi berkunjung ke rumah Okky, sahabat Awan.
“Orang seperti apa yang kamu cari?” Nara bertanya, namun Awan tetap diam.
“Kamu kebingungan atau terlalu besar harapanmu dengan kriteria yang kamu miliki. Entahlah, aku tak pernah tahu.”
 “Apa perlu dijawab?”
“Ya...” sahut Nara
“Untuk apa... kalau yang dihadapanku sudah menjelaskan semuanya,” Nara tersipu malu.
“Aku harus bagaimana... Ada sedikit keraguan pada perasaan ini. Aku takut, kamu sama saja dengan yang lain,” memandang wajah Awan dengan penuh kekalutan
“Masa depan kita nggak pernah tahu kan. Jalani aja Nara,” Awan tersenyum
Nara membalas senyumnya, sedikit tertutupi rasa kalut yang dirasakan.
            Nara belum pernah pergi jauh bersama orang yang sangat istimewa seperti Awan. Dia tak tahu harus berbuat apa. Nara berusaha menutupi kebingungannya.
Dalam hatinya, “Maaf Awan, aku bukan perempuan yang menyenangkan seperti perempuan lain. Perjalanan kali ini pasti akan sangat membosankan.”
            Usai dari rumah sahabat Awan, Okky, tak lama perjalanan dilanjutkan. Nara akan pergi ke kolam renang terbuka di puncak. Dingin menyelimuti, angin semakin kencang berembus. Nara hanya menemani Awan dan Okky berenang di sana.
            Dia teristimewa di mata Nara. Nara melihat barisan bukit yang menyundul ke awan dari kejauhan. Menanjaki jalanan landai. Nara menulis cerita di sini.
“Aku bertemu kamu tanpa keraguan. Dan sekarang, meski ada curiga, ada ketakutan yang berbanding terbalik dengan keyakinan ini, aku memantabkan hati untuk tetap bersamamu. Menjadikan tanganmu sebagai tumpuan goyahku, menjadikan bahumu sandaran tangisku, menjadikan langkahmu penuntunku.”
            Melambaikan tangan dari kejauhan. Salam kerinduan dari jauh walau bersama dalam satu tempat. Masih terasa rindu yang terpisah jarak walau hanya sedepa.
“Haruskah kita diikat jadi satu, agar tak berai. Tak ada jarak yang membuat kita enggan. Agar tak ada lagi rindu pada sosokmu, namun merindukan hal lain – di hatimu.”
***

Perjalanan pulang telah melewati malam minggu. Tak nampak cahaya bulan dan bintang, namun tetap indah. Tak butuh waktu lama, hujan turun tak begitu deras. Awan melaju kencang pada kegelapan malam yang dingin. Nara hanya bisa terdiam menatap punggungnya dari belakang.
“Biar pun tak memakai mantel. Hati ini rasanya sudah terpayungi,” Nara senyum-senyum sendiri.
“Kenapa kamu Ra? Heh, kegirangan gitu!” Awan menegur lewat kaca spion.
“Hee... enggak, enggak kok.”
“Kamu senang hujan-hujanan gini?”
“Iya, suka.”
“Suka apanya?! Nanti masuk angin! Udah, nanti di depan kita berhenti, mantelnya dipakai ya.. Udah mulai deras banget hujannya,” Nara mengangguk.
            Hujan turun meniupkan angin bersama cipratan tanah. Bau knalpot, asap, dan sorot lampu yang berpapasan dengan rintik hujan. Menghindari lubang-lubang menganga di jalan beraspal, sentilan dingin tetes hujan, baju yang mulai basah karena rembesan air hujan yang terus menerpa. Sebenarnya ini suasana biasa saja, saat kehujanan. Namun bagi Nara sangatlah istimewa karena ada Awan di sampingnya.
            Di tengah perjalanan, Nara menyempatkan membeli wedang ronde kesukaannya. Cocok dengan cuaca dingin usai hujan. Minuman tradisional rasa jahe yang membuat hangat dengan isi ronde, kacang, dan kolang-kaling, dimakan berdua di trotoar yang dipayungi pohon besar yang rimbun.
            Tak banyak yang bisa dimakan. Menatap wajah Awan sudah membuat Nara kenyang.
“Dia itu sederhana, tak banyak cerita, terkadang rasanya malu melihatnya yang seakan banyak kelebihannya,” Nara memalingkan wajahnya ketika Awan memergoki menatapnya tak berkedip.
***

            Setiap orang yang pernah jatuh cinta pasti merasakannya. Bodoh, Nara baru saja mengenal cinta. Entah betapa beruntungnya Awan atau justru betapa malangnya nasib Awan. Sampai pernah terbesit dipikiran Nara untuk menginggalkannya pada awal kebersamaan mereka.
“Aku tak pantas untukmu. Lihat aku ini gadis yang menyedihkan. Banyak gadis di luar sana yang lebih baik dariku, kamu bisa pergi. Sebelum... sebelum aku benar-benar mencintaimu!”
            Ketakutan yang benar-benar dirasakan oleh Nara. Nara mencintai Awan, namun dia lebih takut jika suatu saat ketika Nara sudah mencintai seseorang, akan sulit untuk menjauh. Ini tak baik untuk selanjutnya. Nara tahu dirinya seperti apa, dan untuk mencegah perasaan itu lebih baik tak terlalu jatuhkan hati.
            Yang tahu diri Nara, ya dia sendiri. Jika Nara terlanjur sayang pada seseorang, dia akan susah melepas. Jika hanya Awan yang terlihat, Nara tak bisa melihat hal lain, pandangan lain, karena hanya terpaku pada satu objek. Nara tak mau terlalu dalam jatuh. Karena rasanya pasti sakit sekali. Awan seperti dua mata pisau yang dikhawatirkan Nara. Jika terlanjur menaruh hati akan sulit untuk melepaskan, seperti kata Sabrina, penyanyi wanita kesukaan Nara, ‘You have become my addiction’.
“Gini nih kalau udah tergantung sama seseorang, apa-apa inginnya bareng!” Perasaan senang dan kesal seakan jadi satu. Menyenangkan sekaligus melenakan.
            Sejenak kegundahan hati tertahan. Awan mengajak Nara ke pantai, tempat yang sering ia ceritakan bersama sahabatnya.
“Iyut??” panggilan Nara pada cinta pertamanya ini. Entah dari mana nama itu berasal. Panggilan yang disematkan padanya saat KKN dulu, menjadi panggilan kesayangannya untuk Awan.
“Kita mau ke mana?” Awan hanya tersenyum. Jalanan ini memang tak asing bagi Nara, namun sedikit aneh jika Awan mengajak Nara ke sini.
“Ah, kesurupan apa si cuek ini?!” Awan begitu manis hari ini, Nara senang tak terkira.
            Nara dan Awan pergi ke pantai tempat semua kenangan manis dimulai untuk diakhiri, kelak. Ya, kelak... Sungguh Nara takut dengan apa yang dia rasakan.
“Sementara, tak ada yang abadi. Semuanya fana kan?” tegas Nara pada dirinya sendiri.
Hujan memulai perjalanan dua sedjoli ini. Walau basah kuyub, kehangatan cinta mereka yang selalu menyelimuti dinginnya angin yang dibawa hujan.
            Cinta yang sederhana dari orang sesederhana Awan Dan seapaadanya Nara. Mereka sangat-sangat saling melengkapi, saling mengisi. Awan dengan sifatnya yang cuek, pendiam, dan pasif untuk ukuran seorang cowok. Sedangkan Nara yang ekspresif dengan kepolosannya.
“Aku mencintaimu.”
Kata yang sering terucap dari mulut Nara untuk Awan, dan sebaliknya. Kata-kata yang bisa dihitung jari untuk disampaikan Awan pada Nara. Jika harus mendengarnya, itu karena Nara yang memaksa Awan untuk mengatakannya. Walau begitu Nara cukup tersenyum meyakini bahwa cintanya sama walau tak diungkapkan Awan.
“Iya! Pasti seperti itu!” Nara meyakinkan diri.
***

            Siluet senja hadir usai hujan deras. Masih sempat menyaksikan senja menenggelamkan bayang. Di ujung batas yang memisahkan deruan ombak dengan batu penghalang membuncah air pasang yang seakan menyapa dua pecinta, satu rasa ini. Atau justru iri melihat eratnya mereka, tak ada celah. Tangan erat menggengam, terjangan ombak tak sampai hati mengusik, uluman ombak semakin pelan mendekat yang kadang tak sempat memecah karang, beradu, menghantam bebatuan. Tak ada cahaya apa pun, kecuali siluet yang memang indah dengan temaram warna jingga.
“Siluet mengabadikan kisah cinta ini. Siluet yang menyembunyikan cinta, diantara bayanganmu dan semburat jingga di sekitar wujudmu. Aku tahu sesungguhnya kita tak benar-benar saling memiliki. Ini alasan ketakutanku, kehilanganmu.”
“Ra, senyum dong!”
“Enggak Yut, malu...” berkata manja pada Awan.
“Dasar pemalu,” Awan tersenyum sambil mengusap-usap kepala Nara.
“Sini kamu aja yang aku foto!” Nara meraih handphone di tangan Awan.
“Sungguh, ini indah karena senja. Hasilnya tak akan seindah ini jika tak berupa siluet. Namun kamu keindahan itu Awan,” Nara memandangi hasil foto di handphone­-nya.
            Kadang Nara merasa dia hanya bisa melihat Awan dari bawah, layaknya awan. Dan Awan hanya bisa melihat Nara mengaguminya, tanpa dia tahu Nara telah mempertaruhkan prinsip untuk bersamanya.
“Kinara Larasati, kenapa diam saja?” Nara hanya menggelengkan kepala.
“Apa yang perlu aku lakukan agar kamu tak hanya memandangi senja. Aku iri melihatmu menduakanku pada keindahan di ujung sana. Walaupun aku tahu aku tak akan mampu menandingi keindahannya...” Nara merasa semua itu bukan diri Awan yang sesungguhnya, kalimat yang terangkai itu. Nara tahu betapa Awan telah berusaha keras untuk mengimbangi Nara dengan sifatnya yang begitu ekspresif.
“Berikan senyummu pada senja, kamu tampak istimewa saat ini. Keberadaanmu pada keindahan ini, terlengkapi dengan kehadiranmu,” Nara menimpali perkataan Awan yang belum selesai.
“Kau dan senja, aku tak dapat memilih salah satunya,” Dua bagian yang melengkapi cinta pertama ini.
            Akan ada yang pergi dan akan ada yang menggantikannya. Matahari meredup dengan anggunnya. Siluet yang semakin memudar mengakhiri pergantian waktu. Walau telah menghilang dan hanya meninggalkan gelap, ini keindahan usai kepergian. Bulan dan bintang belum terlihat di pergantian ini, matahari tak sempat pamit.
“Esok, apakah aku masih bersamamu memberi salam pada senja, menyaksikan pamitnya di ufuk barat, melihat siluet itu, kembali?!” gumam Nara. Awan hanya diam menatap kegelapan.
            Akan ada rindu saban senja, akan ada harapan pada tiap gulungan ombak yang kembali. Romantisme ini belum usai sampai malam menyapa. Mereka kembali pulang, mengantongi cinta yang seakan tak ada habisnya.
Lihatlah akhir saat awalmu. Lihatlah awal cinta yang manis, tak ada bengis dan tangis. Dan kita lihat akhir, saat merasakan awal. Maka kau akan sedih karena perih dan kau akan merintih walau hanya membayangkannya.
***

            Seharian Nara berpikir akan mendapatkan kejutan dari Awan. Seharian menanti Awan untuk pergi bersama. Namun dia tak datang, dia membatalkan niatnya untuk pergi. Dengan perasaan kecewa, Nara hanya bisa diam.
“Apa ini yang namanya sayang? Walaupun sudah dikecewakan, dibuat marah dan jengkel, aku tetap tak bisa membencinya.” Nara justru ingin belajar mengertinya.
            Nara sangat menanti bulan April tahun ini. Pertama kalinya pada hari ulang tahunnya yang ke-22 ditemani seseorang yang istimewa. Selama “dua puluh dua” tahun ─ penekanan usia untuk Nara yang baru mempunyai kekasih, Awan adalah seseorang yang sangat teristimewa sekali!
            Pagi hari bersama kelincinya yang bernama Mony alias ‘Mony’ong bermain di taman rumah. Tak disangka Awan, Kire, dan Chika datang tak hanya membawa senyum, mereka datang membawa kue tart dan kado istimewa di hari ulang tahun Nara.
            Awan bilang baru pertama kalinya melakukannya. Memberikan kejutan ulang tahun untuk seseorang perempuan, Nara. Baru pertama kalinya setelah empat kali berpacaran. Baru pacar kelima inilah dia memberikan kejutan dan hadiah ulang tahun untuk kekasihnya.
“Beruntungnya aku,” gumam Nara.
Atau karena semenjak pacaran sampai hari putusnya, ulang tahun mantan-mantannya yang dulu tak bisa dijumpai. Putus sebelum menginjak ulang tahun mereka. Sepertinya alasan kedua lebih tepat. Awan tak bisa pacaran lebih dari tiga bulan.  Pantas jika tak bisa bertahan lama, dia terlalu cuek namun dia juga tak bisa disalahkan. Memang ketidakcocokan yang terjadi membuat hubungan menjadi singkat. Sederhana ─ tanda tak jodoh.
            Senangnya Nara melihat pigura yang berisi foto Awan dan Nara. Dilihatnya Awan mengangkat huruf demi huruf membentuk kalimat ucapan ulang tahun itu. ‘Happy Birthday Kinara!’, huruf balok di sela jemari Awan, terangkai dengan cinta yang menghiasi sekeliling bingkai. Terbingkai indah, buatan tangan Awan sendiri. Ini sungguh istimewa. Bukan barang mewah dan mahal. Sederhana, namun itu bentuk perhatian Awan pada Nara. Dengan tangannya sendiri, dia menyempatkan waktunya untuk membuat hadiah itu. Hadiah pertama yang diterima dari seseorang yang begitu istimewa.
“Beruntungnya Nara,” Kire tersenyum. Dia sudah tak jadi penasihat prinsip Nara. Namun dia tetap jadi ibu peri dan dewi cinta untuknya.
            Mereka hanya sebentar memberikan kejutan. Mengabadikannya, berfoto bersama, kemudian makan kue tart bersama. Tak lama, Chika dan Kire pamit. Mereka tahu diri untuk tak menggangu waktu Nara dan Awan bersama. Walau sekadar untuk mengusapkan krim gula di kue tart sisa dimakan tadi.
            Setelah itu Awan pamit. Seperti biasa, tak banyak kata terucap dari mulutnya. Namun hari ini Nara tahu, apa yang dia lihat dan rasakan cukup untuk menunjukkan rasa cinta itu ─ untuk saat ini. Cukup melegakan.
“Akan kusimpan bahagia ini. jika tak cukup untuk setahun yang akan datang, akan kuciptakan bahagia ini sendiri dengan mengingatmu ─ pada foto ini,” gumam Nara melihat foto ulang tahunnya. Cinta dalam bingkai. Menyeka waktu, pertanda ulang tahun ke-22 Nara.
“Dua puluh dua,” kata Nara dengan penuh penekanan. Tak akan terulang masa di 22 tahun ini. Namun kebahagiaan itu akan membawa kenangan yang mungkin akan bermakna di angka 23 nanti.
            Segenap rasa yang tertumpah, biarlah tumpah. Hari istimewa yang tak akan terulang lagi, usia 22 yang tak akan dilalui lagi. Nara merasakan dua perasaan sekaligus, bersamaan merasakan sedih dan bahagia.
“Tuhan, jika sekarang aku bahagia, jangan biarkan kebahagiaan ini hanya sampai ini berakhir. Bukan hanya di hari spesial ini, aku harap akan selalu bersama keluarga dan orang-orang yang spesial seperti mereka.”
***

            Selisih tiga hari, tanggal 22 pada bulan April, ulang tahun Awan. Namun Nara tak bisa memberikan apa-apa. Sudah berhari-hari Nara mengerjakan maket bola dan maket logo club bola kesayangan Awan, Manchester United. Namun hasilnya tak bisa dibilang memuaskan, hancur.
“Lihat nih Re, hasil lembur semalaman... nggak jadi apa-apa Re!” menarik nafas panjang dan mengembuskannya.
“Kamu enggak tidur Ra?”
“Tidur, satu dua jaman lah!” Kire menggelengkan kepalanya, heran.
            Pagi hari, Nara masih melanjutkan mengerjakan maket bola lagi. Yang semalam itu hanya replika dari kertas. Lembur semalam itu hanya menghasilkan maket eksperimen, dua kali kerja. Akan lebih sulit lagi, maket yang sebenarnya terbuat dari mika bening, yang dibentuk pola setelah lembur semalam, mulai dipotong sesuai pola dan kemudian dirangkainya.
“Licin cint!” teriak Nara disamping Kire.
            Setelah berjam-jam, sampai matahari tepat di ubun-ubun, memang sudah membentuk bola, bola yang kempes. Hasilnya berantakan, tak jelas bentuknya.
“Yah Re, gimana nih?! Tinggal semalam lagi. Udah nggak sempat.”
            Padahal Nara sampai mengesampingkan revisi skripsinya. Selama seminggu, Nara disibukkan dengan handmade buatan tangannya sendiri sebagai kado ulang tahun Awan. Namun harus gagal. Akhirnya, tak satu pun kado yang bisa diberikan Nara. Nara ingin sekali memberi Awan hasil karyanya, seperti yang dilakukan Awan pada Nara.
“Yaahh gagal total! Maaf Yut, hari ulang tahunmu tak ada yang spesial dariku.” batin Nara.
            Malam hari, Nara sengaja ingin memberikan kejutan setelah lewat pukul 12:00 nanti. Menanti hari berganti, tanggal 22 April. Bingung, Nara hanya bisa memberikan ucapan ulang tahun pada Awan.
            Hari berganti, Nara menelepon Awan yang tengah tertidur pulas. Namun sepertinya Awan terganggu.
“Maaf yut, kepencet. Ini tanggal 22 kan ya? Hari ulang tahunmu bukan?! Maaf ya tak bisa memberikan apa-apa di hari ulang tahunmu.” Nara berpura tak mengetahui hari ulang tahun Awan.             Niatnya ingin memberi kejutan dengan pura-pura lupa, namun yang terjadi, benar-benar mengaku lupa. Ini karena tak ada sambutan yang berarti dari Awan. Sepertinya tak tepat memberikan kejutan ulang tahun di tengah malam, mengganggu tidur.
Telepon diakhiri dengan doa dan harapan yang diamini Awan yang setengah sadar, suaranya terdengar khas layaknya orang baru bangun tidur.
            Nara menyesal tak bisa memberikan yang terbaik seperti Awan yang memberikan kado istimewa di ulang tahunnya. Nara sengaja tak memberitahukan Awan mengenai usahanya yang gagal membuat kado untuknya.
“Bagaimana kamu bisa mengerti apa yang tak diungkapkan, sedang yang diungkapkan kadang juga tak dimengerti olehmu,” Nara memendam semua kekecewaannya. Seandainya Awan tahu, betapa Nara telah berusaha keras untuk memberikan sesuatu yang istimewa untuknya.
            Nara tak bisa memberikan apa-apa pada Awan di hari ulang tahunnya, walau dia tak meminta apa pun. Nara tahu Awan kecewa, meski tak ditunjukkannya. Dan harusnya Awan bisa melihat betapa kecewanya Nara terhadap hasil usaha yang tak berarti apa-apa. Yang tak bisa ditunjukkan kadang itu yang menunjukkan. Kegigihan Nara lewat usahanya yang tak bisa diperlihatkannya pada Awan, ketulusan Nara.
            Nara gagal untuk menunjukkan betapa Awan juga sangat istimewa, kado buatannya, hancur di sudut meja. Jika cinta perlu dibuktikan, Nara telah mengacaukan salah satu pembuktian itu. Berharap cinta bisa menghapus kekecewaan yang dirasakan Awan.
“Doaku akan lebih berarti untukmu,” Nara tersungkur lemas, membereskan sisa bahan dari maket buatannya. Bahkan sebentar lagi maket hancur itu juga akan masuk pembuangan. Nara tak tega melihatnya, mengingat kehancuran kado ulang tahun Awan itu.
            Nara segera tidur. Tidur dengan kekecewaan, rasanya seperti mengigau dengan tangisan. Terpejam, tak sadar, namun rasanya benar-benar nyata dengan air mata menetes horisontal.

No comments:

Post a Comment