Friday, September 25, 2015

02:00 Singgah, Sebentar, Sementara


Ini mengenai rasa yang singgah. Dan yang perlu digaris bawahi, singgah itu hanya sebentar, sementara, tak untuk menetap. Nomaden, tempat tinggal hati bagi yang masih mencari. Hanya singgah, berpindah-pindah sampai menemukan tempat untuk menetap.
Kisah ini belum sempat singgah. Dia sudah jauh, tak tersentuh.
Pamit sebelum terusir, rasa ini tahu diri namun setelah ini ke mana lagi akan dibawa pergi? Pergi jauh, mungkin akan mengobati. Lari dari bayangannya maka kau tak akan mendapatkannya ─ di sini ─ di hatimu.
Tak ada yang bisa menggantikan persahabatan Nara dengan Rengga, namun Eky hadir menggantikan posisi kenyamanannya sebagai sahabat. Eky teman yang baik. Namun untuk persahabatan, Nara lebih menjaga jarak, tak mau menyakiti seperti dulu Nara menyakiti Rengga.
Nara selalu dibuat kebingungan mencari kejelekan Eky.
 “Dasar juragan liur!” kata Eky sambil menjulurkan lidahnya. Nara bingung ingin membalasnya. Terlalu mengada-ada jika tak ada kejelekan yang bisa mempermalukan Eky.
“Apaan?! Huh, dasar ...” Andai saja bisa mempermalukannya. Eky terlalu bersih dari kenakalan sebagai seorang lelaki.
“Apa?? Lanjutin dong!” tindas Eky sambil menunjuk-nunjuk sudut bibirnya. Eky mendapati Nara yang ngiler, ketiduran waktu mengerjakan tugas. Itu mengapa Eky selalu menindas Nara dengan air liurnya yang meluber.
Nara merasa sangat cocok walaupun sering ditindas sahabat barunya itu. Mengenai hobinya yang sama, menulis. Hanya saja, Eky menulis ceritanya melalui gambar. Ya, Eky paling suka bercerita melalui gambar. Dan Nara lebih suka menulis cerita pada diary-nya.
Suatu saat Nara pernah menceritakan impiannya untuk belajar ke negeri menara Eiffel. Nara sangat ingin ke sana dan menjelajah Eropa. Eky yang membuat impian itu terus menyala tiap harinya. Melihat lukisan menara Eiffel yang indah dan megah di kamarnya. Membuat Nara terus memelihara keinginannya. Walau hanya bisa membayangkannya, impian itu dibiarkan hidup bersama lukisan buatan Eky.
***

Nara tak sendiri, dalam persinggahan cinta dua sahabat ini dia bersama Kiky. Entah kapan, diinginkan atau tidak, perjalanan cinta ini menjadi rumit. Jalan yang harusnya bisa dilewati dua orang, kini harus dilalui bertiga. Karena mulai saat itu mulai timbul konflik kecemburuan dari Kiky. Seakan tak mau tahu alasannya ─ Nara dan Eky hanya bersahabat. Mau tak mau, salah satu dari Nara, Kiky, atau bahkan Eky harus pergi. Membentuk jalan sendiri, merelakan untuk pergi.
Kiky, dia telah satu langkah bahkan lebih di depan Nara. Dia menunjukkan bahwa dia tak hanya mengungguli Nara, dia juga menunjukkan kepercayaan diri yang tak Nara punya. Orang seperti Kiky seperti angka-angka jam yang telah berada pada keyakinannya dan hanya menunggu jarum jam menghampiri. Sedangkan Nara, masih terus berputar mencari-cari angka yang selanjutnya ada di hadapannya. Kiky menganggap Nara saingannya. Nara hanya bisa menjalani tanpa bisa menjelaskan. Bagi orang yang sedang jatuh cinta seperti Kiky, tak akan berarti penjelasan apa pun ─ buta karena cinta.
***

            Nara dan Kiky, mereka memulai pada tempat yang sama dan waktu yang sama.     Cinta segitiga yang sebegitunya membuat Kiky menjaga jarak dengan Nara. Walaupun Kiky tahu Nara dan Eky hanya bersahabat.
            Nara menganggap Eky hanya sebagai sahabat. Berbeda dengan Eky yang menyukai Nara. Sahabat yang dijadikannya kedok untuk pendekatan. Semua aktivitas Nara di kampus, bisa jadi bahan untuk pendekatan Eky. Mulai dari meminjam tugas kuliah, meminjam catatan, sampai meminta Nara mengajarinya materi kuliah yang kurang dimengerti. Kire paling peka masalah pendekatan yang dilakukan Eky. Chika apalagi, walaupun terlambat menyadari. Chika sering berbagi informasi pada Eky tentang Nara. Namun Chika baru menyampaikannya saat semua menjadi rumit karena Kiky.
            Nara masih belum bisa menunjukkan kepastiannya. Teringat perkataan Kire, “Sebenarnya sinyal-sinyal cinta dari Eky telah ada sejak dulu, namun aku masih belum yakin,” Nara tak menyadari ada yang menunggunya. Cara Eky untuk mendekati Nara, menjadi sahabatnya.
“Ah, tak penting. Yang jelas aku hanya bersahabat dengan Eky, kita lihat nanti. Mungkin akan sama seperti Rengga, cinta itu tak bisa singgah walau sebentar,” gumam Nara yang sedang menyangga kepalanya di meja kelas.
            Nara masih takut untuk memulai. Dan dia terlambat menyadari bahwa cinta itu tak bisa menunggu. Padahal, yang bisa dilakukan seorang perempuan untuk cintanya adalah menunggu. Usahanya hanya menunggu, menunggu kepastian dari orang yang ditunggu.
            Eky menanti sambutan dari Nara, lebih dari sekadar teman. Perlahan cinta yang serba tak pasti ini akan hilang karena waktu. Eky memutuskan untuk mencari kepastian lain. Dan kepastian itu datang dari Kiky. Secepat itu cinta pergi karena ada cinta yang lain. Kiky, akhirnya dia yang cepat sampai di perjalanan cinta ini.
            “Kamu pergi saja,” begitu kata Nara, “Tak usah lagi hiraukan aku.” Kepedulian Eky justru akan menambah rasa sakit Nara. Karena Kiky akan bertambah rewel jika Eky tetap dekat dengannya.
Sungguh ini biasa saja bagiku, tak begitu menyentuh. Masih terkendalikan, walaupun menyesakkan.
Kita hanya teman,
Bicara seperlunya, bertemu seadanya, bertatap tanpa makna.
Tersenyum dan berayun langkah, kemudian berlalu.
Berbeda rasa,
Kita tak pernah saling memberikan makna.
Kadang hanya mengingatkan, tak untuk saling mengisi.
Sejenak dan terhenti pada wajah samar ditelan waktu.
Sebatas itu...
***

            Nara tak ambil pusing. Semua dijalani seolah tak memikirkan. Namun kehadiran Kiky, benar-benar membuat Nara serba salah. Berkutat dengan kecemburuan wanita. Tak disadari Nara, pikirannya tertarik pada masalah cinta Eky. Nara mulai peduli dengan semua yang dilakukan Eky. Semua karena Kiky, Nara lebih memilah-milah untuk dekat dengan Eky.
            Kepedulian yang membuat semuanya dihubung-hubungkan. Kiky tak akan cemburu berlebihan jika tak ada sebab. Belum jadi kekasih saja, kecemburuannya sangat menggangu.
“Jadi, cerita apa yang Eky gambar saat itu?”
Eky hanya menggambar pelangi yang datang di sela rintik hujan. Menerobos ke ingatan saat itu. Sewaktu Nara dan Eky ke sebuah danau di taman kampus. Melihat pelangi dari air danau. Nara masih juga tak mengerti. Perkataan Eky waktu itu, masih menimbulkan tanya di benaknya. Terlalu besar memberikan makna pada kata. Karena saat itu alam sedang menunjukkan keindahannya.
“Kamu tak mengerti, rinduku juga tertahan pada lengkungan di ujung sana,” ucap Eky. Nara mencoba mengingat semuanya, “Cinta yang ada walau samar tak ada kejelasan. Sekilas, namun memberi arti. Lalu kita terpisah direngkuh waktu yang tak kunjung menyatukan,” Sisa-sisa ingatan yang mencoba diusik Nara dari masa lalu.
“Apa ini maksudnya?! Aku tak kunjung menyadari cinta yang hadir. Aku terlalu sibuk menikmati cinta yang kupunya entah untuk siapa,” pikir Nara.
            Tak ada kepastian dalam hubungan ini. Sekarang atau juga nanti, hanya sebatas ini.
Rezky Pradana
               Dan aku tak ingin bertahan, dan meminta disanggupkan untuk bertahan. Aku ingin pergi.
               Letih jika harus menunggu kehadiranmu di waktu lain, hanya resah jika terus menunggumu.
               Walau begitu, tak semudah itu meniadakan cintamu.
           
            Pesan dari Eky yang membuat Nara semakin tak menentu.
“Lebih baik mencoba menerima atau tinggalkan! Ah, sepertinya aku terlalu banyak menyakiti perasaan sahabat sendiri!” Nara mencoba meredam konflik hati yang terjadi.
            Eky pergi. Seperti kepastian yang selalu diidam-idamkan para perempuan pada cintanya, disambut dengan lelaki yang mencoba dan memastikan kebahagiaannya pada perempuan yang mencintainya ─ pada Kiky. Perlahan cinta mereka tumbuh. Seiring dengan tumbuhnya perasaan di hati Nara, walau terlambat. Perasaan yang ada saat Eky telah pergi untuk orang lain.
            Melihat mereka, Nara sangat bahagia. Teman sendiri bisa menjadi sepasang kekasih. Namun sakit yang dirasakan Nara jauh lebih pasti.
“Apa ini cinta? Ah, pasti hanya bentuk penyesalan. Ada yang mencintaimu, dan kamu kehilangan cintanya. Sebatas itukah?!” Nara bertanya pada hatinya.
Sejauh ini hubungan mereka baik-baik saja. Berbalik dengan perasaan Nara.
“Mengapa cinta datang terlambat padaku?!”
“Hadir di saat semuanya pergi... Ya itu yang namanya tak jodoh Ra,” Chika mencoba memahami kisah mereka. Walaupun sama-sama tak pernah mengerti cinta. Dua sahabat ini hanya berusaha mengerti cinta yang samar-samar, antara iya dan tidak pernah dirasakan keduanya.
***

            Libur semester kali ini, teman-teman sekelas merencanakan pergi ke Jogja. Semua hadir dengan pasangan masing-masing. Bertemu dan dipisahkan, berjumpa lalu dijauhkan. Hanya masalah fisik yang tak bisa bertatap, namun hati tak pernah tahu. Mungkin dia masih ada di benakmu, walau telah pergi.
“Ya, bagi yang mengerti dan paham cinta, bertemu dan kehilangan sudah biasa terjadi,” Dan liburan kali ini menjadi tak biasa untuk Nara.
            Malam keakraban diadakan di kediaman sepupu Nara. Pukul 09.00, makrab dimulai. Dua setengah tahun sudah bersama, hanya ada tiga teman yang tak terpisahkan, tak terganti. Mereka sekelas menyebutnya gang ‘Joris’, jomblo miris.
“Tak ada sebutan yang lebih elegan apa?! Mereka ini!” Chika kesal melihat teman-teman yang lain tertawa terbahak-bahak.
“Apa kamu Re, kamu kan gak jomblo lagi!” timpal Chika.
“Buktikan saja ─ kalau kita jomblo berkualitas,” kata Nara meringis.
“Tetap gak enak kali Ra, JOMBLO!!” kata Chika mengeja huruf demi huruf yang teramat berat untuk disandangnya.
            Di tengah gelak tawa, Eky datang menghampiri, “Aku tak enak, kamu harus pisah dari Kiky.”
“Ah, nggak apa-apa. Bukan mau kita kan.” Eky berlalu.
“Pembagian kelompoknya gimana sih?! Mau tak mau...” kata Nara kesal.
            Agenda makrab kali ini, setiap kelompok yang sudah dibagi harus tampil untuk mengisi acara. Chika, Nara, dan Eky satu kelompok. Mereka memutuskan untuk membuat drama percintaan khas Indonesia.
“Ya terpaksa. Gak ada yang bisa nyanyi, main alat musik, mau apa lagi?!” kata Nara lemas.
Setelah seharian berlatih membaca naskah secara terpisah, pertunjukkan dimulai.
“Instan, latihan jarak jauh demi menjaga perasaan Kiky. Jadinya seperti apa nanti?!” gumam Nara.
“Sudah, ayo maju!” Chika mengangguk.
It’s show time beb,” Kire menyemangati Nara dan Chika yang akan tampil.
***

Nara    : “Aku bukan Roro Jonggrang, yang menolak cinta dengan membebanimu beribu syarat.”
Eky     : “Tapi aku Bandung Bondowoso, yang mau berkorban apa pun demi cinta. Apa pun yang kamu mau akan kukabulkan!”
Nara    : “Maaf, tapi kamu begitu angkuh. Kamu pikir, cinta bisa dibeli?! Aku tak punya perasaan apa pun padamu.”
Eky     : “Baiklah, aku tak akan mengemis cinta padamu. Kamu akan menyesalinya, karena telah menolakku! ─ Singkat cerita.
            Drama diakhiri dengan kepergian Eky. Tinggal Nara berdiri pada padang terbuka. Menjadi bagian langit, berdiri di kegelapan malam. Tak ada yang menjadi patung dalam drama itu. Hanya saja, Nara mematung tanpa kejelasan. Matanya beralih dari langit, menatap Kiky.
            Seketika, teman-teman yang lain memberikan tepuk tangan riuh. Nara hanya menatap ke satu arah. Kiky terlihat tak senang, memalingkan wajah ketika Nara melihatnya.
            Dingin, namun yang terasa hanya panas yang membuat gatal seluruh tubuh. Nara merasa tak nyaman dengan Kiky.
“Sungguh tak ada maksud untuk menyakitinya.” Nara tahu, Kiky sangat mencintai Eky. Tak pernah sedikit pun terbesit untuk memisahkan Kiky dari Eky.
            Nara memberanikan diri menemui Kiky.
“Aku ini siapa! Aku tak berarti apa-apa dibandingkan kamu Ky. Kamu cantik, pintar, baik, lembut. Kamu mencintai Eky dan sebaliknya, Eky mencintaimu. Pertahankan hubungan kalian,” Nara tersenyum. Ia tak bisa berkata apa-apa lagi.
            Ada hal yang tak pernah Nara ceritakan pada siapa pun. Tak ada yang tahu bahwa dia pernah mengalami hal buruk yang menyangkut aibnya. Pelecehan seksual yang dialaminya saat masih kecil dulu. Walaupun tak berdampak banyak pada fisiknya, namun pada jiwanya, masih membekas sampai saat ia dewasa. Berusaha sekuatnya menghadapi trauma yang tak seorang pun tahu.
            Ingatan yang tak terhapus waktu. Jangan salahkan Nara tentang masa kecilnya yang suram ini. Orang lain hanya akan melihat tangisannya, namun tak pernah tahu apa yang ditangisinya. Rasa rendah diri selalu muncul saat mengingat hal menyedihkan itu.
            Walau samar, namun seiring bertambahnya usia. Peristiwa itu membuat dia menjauhi lelaki. Tak ada yang tahu, bahwa ketika Nara menyukai seseorang, perlahan perasaan itu menghilang. Entah karena takut, atau apa pun, jadi tak pernah ada ujungnya.
“Doorr!!” Chika membuyarkan lamunan Nara.
“Apaan Chika, ngagetin aja lu!” Nara tersenyum.
Kire datang. “Eh Re, gimana tadi pertunjukkannya, bagus kan?!” kata Chika bersemangat.
“Apaan?! Yang drama itu Nara dan Eky. Ngapain tadi kamu disebelah Nara?!” ledek Kire.
“Iya Ka, dialogmu mana? Cuma diam aja tadi,” kata Nara sepakat.
“Jangan salahkan aku. Kamu tadi dialog berdua terus sama Eky, sampai lupa sahabatnya cuma jadi jangkrik,” kata Chika menggebu.
“Hahaha, iya maaf. Tadi kan udah dikode. Eh, malah diam aja. Ya sudah lanjut!” kata Nara geli membayangkan Chika yang krik-krik.
***
            Eky menjumpai Nara di rumah. Jika perempuan berkata tidak apa-apa, berarti apa-apa. Inti dari rumitnya wanita yang paling sederhana. Harus dimengerti Eky sebelum cintanya siaga satu. Alasan apa pun, untuk seorang kekasih seperti Kiky tak akan bisa terima jika kekasihnya lebih sering bersama prempuan lain.
“Cepatlah pulang. Aku tak ingin memperkeruh suasana.”
“Kiky ngerti kok, nggak mungkin dia marah tanpa alasan.”
“Kamu harus mengerti rumitnya cinta. Dan perempuan yang ada di dalam cinta, yang ahli memperumit masalah.” Eky hanya tertawa mendengar perkataan Nara.
            Cinta dan wanita, dua ‘...ta’ ini adalah paduan yang saling melengkapi dalam meliuk-liukan rasa. Eky masih saja tak paham.
“Sudahlah, pulang! Cintamu menunggu. Dia merindukan kehadiranmu. Yang ditunggunya adalah awal-awal saat kamu bersamanya,”
Hubungan Eky dan Kiky sedang jenuh-jenuhnya. Perasaan yang berubah setelah sekian lama bersama. Ada baiknya, Eky menumbuhkan rasa pertama saat jatuh cinta dulu.
            Eky pamit, sepertinya dia mulai mengerti. Nara melanjutkan mengemasi barang-barang yang akan dimasukkan gudang setelah terhenti karena kedatangan Eky. Angin dingin merasuk, entah dari kipas angin atau tiupan angin dari jendela kamar. Nara mengacuhkan tubuhnya yang kedinginan, sibuk mengemasi barang-barang yang seharusnya tak masuk ke gudang.
            Barang pemberian Eky, harusnya sudah dikembalikan Nara. Namun bunda Nara bilang, ‘Kalau dikembalikan, justru akan membuat Eky sakit hati’. Jadi Nara memutuskan untuk mengemasinya dan disimpan di gudang saja.
“Akhirnya selesai juga! Bersama segala gundah, semoga terkubur dan menumpuk di gudang saja.” Biar lambat laun mengendap bersama tumpukan debu, laba-laba bersarang, terkubur dengan jaring-jaring tipis yang rapuh.
Menikmati suasana tenang yang lebih baik. Angin terasa lebih ramah menyapa. Saatnya mengikhlaskan semua yang terjadi antara Nara dan Eky. Cinta yang mengambang entah ke mana ini, tak sepantasnya dilanjutkan. Ada Kiky yang lebih membutuhkan Eky. Jadi cinta itu hanya masalah siapa yang butuh dan membutuhkan.
“Mungkin demikian,” Nara mencoba memahami, “Kalau cinta itu kebutuhan, padahal semua orang butuh cinta, termasuk aku. Mungkin, cinta itu ada karena kesungguhan. Kiky ─ aku tak meragukan kesungguhannya mencintai Eky. Jadi, dia lebih pantas daripada aku yang masih meragu.”
***

            Awan hitam pekat. Langit tepat beranda rumah, mendung, tak secerah langit Utara. Namun hanya gerimis kecil yang nampak. Nara meratapi syahdunya gerimis dan kegundahan hati. Hujan itu dapat mengobati suasana hati atau justru menambah luka di hati. Tergantung suasana hati, merasakan turunnya rintik demi rintik dari dahan dan ranting pohon di samping rumah. Menatap dengan penuh kelembutan yang dibalas dengan tetesan dingin menyentil kulit wajah. Lembut namun dingin. Walau hanya setetes, dinginnya merebak dan merasuk ke hati.
            Melanjutkan langkah yang terhenti karena masalah cinta. Jika Eky tetap dengan komitmen cintanya pada Kiky, Nara mencoba memahami kepergian Eky yang sempat dia ratapi. Entah mengapa rasa kehilangan membuat suram hati. Apa mungkin cinta?! Nara masih mempertanyakan cintanya. Sementara Eky memenuhi janjinya untuk bertahan dengan Kiky, dengan semua permasalahan yang ada.
***

            Hujan tak pernah permisi kapan datangnya. Sewaktu-waktu cuaca dapat berubah, panas menyengat bisa berubah menjadi hujan yang mengisi rongga antara langit dan bumi. Melewati lorong gelap. Berteduh di terowongan dari hujan di luar. Berdiri di pinggir terowongan, melihat dua sisi separuh lingkaran. Hujan turun meniupkan angin bersama cipratan tanah. Bau tanah basah, yang seharian tersorot sinar mentari panas. Terlihat tanah dan jalanan aspal mengeluarkan asap bercampur debu, sebelum semuanya rata dengan air hujan.
            Harus tertahan di terowongan yang di atasnya melintas roda empat menderu mesin berlomba dengan suara hujan. Nara menghabiskan waktunya untuk berteduh, memutuskan untuk kembali. Tak jadi membeli kue brownis kesukaannya. Sampai di rumah, gerimis rintik-rintik, Nara melihat Eky berlalu dengan motornya. Eky mencari Nara.
Nara mencoba melaju lambat, menunggu Eky pergi jauh dari rumahnya. Hanya melihat sosok Kiky pada diri Eky, semakin membuat Nara merasa bersalah.
 “Jika kita mempunyai perasaan yang sama pun, kita tak bisa kembali dekat seperti dulu. Kamu telah bersama dia. Walau aku tahu saat itu kamu tak ingin benar-benar berpisah denganku ─ mungkin...” Tak tahu pasti bagaimana perasaan Nara pada Eky. Nara juga tak ingin memastikannya ─ pada orang yang telah bersama orang lain.
***

            Serbuan air yang datang dari langit tak mampu terbendung. Lautan mendung tak mampu membendungnya hingga air tumpah ruah ke bumi. Kampus terlihat samar karena lebatnya hujan turun. Mencoba melangkah keluar, sudah pasti akan basah. Nara melihat Eky menerjang hujan bersama Kiky. Memayungi kekasihnya itu dengan jaket, melindunginya dari derasnya hujan. Nara hanya bisa berdiam diri di koridor gedung. Lampu mati, hanya terlihat bayang-bayang suram menghuni kelas.
            Semuanya tampak gelap. Saat-saat seperti ini, akan terlintas kesalahan-kesalahan dan hal bodoh yang pernah dilakukan. Penyesalan pada masa lalu. Waktu yang tepat untuk menyalahkan diri sendiri. Itu yang Nara pikirkan. Memikirkan bagaimana waktu terlintas sia-sia. Waktu terbuang percuma karena ketakutan tak beralasan pada masa depan.
            Betapa dia telah membuat kenangan dalam kehidupan Nara, yang selalu mengusik perlahan. Yang tak bisa dibedakan antara kenangan manis atau kenangan pahit.
“Sebentar saja aku mengenalmu, secepat itu engkau pergi.” Perasaan yang sekarang baru terasa setelah kepergian Eky.
            Salah Nara mengacuhkan cinta. Yang tak disadari Nara, cinta itu akan luntur karena waktu. Tak Nara kira, Eky akan mengacuhkannya secepat ini.
“Aku telah kehilangan sosok yang kukira akan bertahan walau beribu acuh dariku. Kamu membuatku menyesal karena tak mempedulikanmu saat itu,” tegas Nara di depan cermin, “Itu salahku atau salahmu? Salahku karena mengacuhkanmu. Atau salahmu, karena ternyata kamu tak benar-benar mencintaiku.”
            Dan sebelum Nara tenggelam, dia segera berlari ke tepi. “Aku tersudut pada perasaan ini. Karena tak ada kejelasan dariku sendiri. Aku anggap kita memang tak jodoh.”
***

            Malam hari, hati dan pikiran memang banyak terkuras. Teringat peristiwa saat hujan yang sangat syahdu membanjiri kampus hari kamis lalu. Tiga hari terlewat, namun masih saja terpaksa untuk mengingatnya. Seandainya satu hari itu bisa dihapus dari memori otak jangka panjang. Peristiwa itu sudah terlanjur terekam nyata dan tersimpan jelas tanpa harus direka ulang. Terpatri dalam jangka panjang, yang sewaktu-waktu bisa muncul dengan sendirinya tanpa harus mengingatnya.
Senang melihat teman melabuhkan dan menjatuhkan pilihannya. Memang masa depan tak pernah terduga. Dan yang perlu dimengerti cukup perasaan Nara, untuk merelakan. Kesungguhan itu belum juga didapatkan. Sesekali merenung, menatap wajah sendiri. Jarang sekali Nara seperti ini.
“Aku cantik, nggak bodoh juga, standar. Nyebelin sih, tapi nggak terlalu. Ah, sepertinya tak ada yang salah dari diriku. Tapi...” perkataannya terhenti, “Tapi... mengapa seperti ini?! Apa aku tak bisa mendapatkan kesungguhan itu?!”
“Belum...” Kire tiba-tiba muncul di cermin. Berdiri di belakang Nara, “Belum saatnya aja Ra! Tenang bukan hanya kamu yang merasa seperti itu. Lihat! Cewek cantik tapi gendut, mleber kayak gini. Syukuri saja. Kelak pasti ada yang mau.”
“Mau apa Re?” Nara menoleh, matanya berkaca-kaca. celotehan Kire meredakan gundah. Kire hanya membalasnya dengan senyuman.
“Kamu itu lho, punya segudang kelebihan. Cuma...”
“Cuma apa Re??”
“Cuma tertutup sama beton,” Kire tertawa puas
“Yaah, ketutup dong, susah dilihatnya, sama saja nggak ada yang bisa ditunjukkan!” Nara memeluk tubuh gembil Kire.
***

            Butuh hiburan, pencerahan. Butuh suplemen untuk hati agar bisa bangkit kembali. Menjalani aktivitas yang akan segera Nara awali. Sebelum siang hari dan semua terlambat untuk dibenahi. Kalau hati sudah tak nyaman, rasanya sulit untuk mengawali hari.
            Nara bergegas menuju kolam ikan yang teduh karena pohon jeruk bali yang tumbuh di samping kolam. Melamun di pinggir kolam dan memandang kosong ke kolam. Sesekali kepala Nara menengadah. Reruntuhan daun jeruk menerpa wajah, turun perlahan. Jatuh terhempas angin, berguguran lalu terapung di air kolam. Ikan-ikan terhentak, kaget. Nara yang sedang melamun turut kaget, membuyarkan tatapan mata kosong. Sadar, melihat daun serupa hati.
            Masih bisa tersenyum dan tak merasakan kehilangan. Itu mengapa tak seharusnya terbawa perasaan.  Dan cinta Nara memang bukan dengan Eky. Cinta itu tak pernah tersampaikan. Seperti bui, menghilang tanpa ada jejak. Ternyata hanya rasa takut kehilangan seseorang yang biasa dekat, kini harus jauh. Bukan cinta.
            Kita memang tak bisa memilih dengan siapa kita mau. Kadang dia yang mencintai, kita tak mengharapkannya. Kadang kita yang mencintai, dia tak menyambutnya. Sederhana tanda tak berjodoh.
Bisa saja kita salah mengartikan. Kita tak akan pernah tahu di mana ujungnya, semua akan terhenti saat masing-masing menyadari ─ tak berjodoh. Itu hanya masalah waktu.
“Sedikasihnya aja,” kata Nara, pasrah.

Nara belajar banyak arti cinta dari Kire. “Jika sudah saatnya pasti akan dimudahkan,” senyum terakhir Nara pada libur akhir pekan. Esok, biar tak ada lagi kegalauan. Biarlah mengendap, tak perlu diusik lagi. Hanya menunggu waktu berlalu, siapkan untuk kebingungan lain yang menanti di depan.

No comments:

Post a Comment