Ini mengenai rasa yang singgah.
Dan yang perlu digaris bawahi, singgah itu hanya sebentar, sementara, tak untuk
menetap. Nomaden, tempat tinggal hati bagi yang masih mencari. Hanya singgah,
berpindah-pindah sampai menemukan tempat untuk menetap.
Kisah ini belum sempat singgah.
Dia sudah jauh, tak tersentuh.
Pamit sebelum
terusir, rasa ini tahu diri namun setelah ini ke mana lagi akan dibawa pergi?
Pergi jauh, mungkin akan mengobati. Lari dari bayangannya maka kau tak akan
mendapatkannya ─ di sini ─ di hatimu.
Tak ada yang bisa menggantikan
persahabatan Nara dengan Rengga, namun Eky hadir menggantikan posisi
kenyamanannya sebagai sahabat. Eky teman yang baik. Namun untuk persahabatan,
Nara lebih menjaga jarak, tak mau menyakiti seperti dulu Nara menyakiti Rengga.
Nara selalu dibuat kebingungan
mencari kejelekan Eky.
“Dasar
juragan liur!” kata Eky sambil menjulurkan lidahnya. Nara bingung ingin
membalasnya. Terlalu mengada-ada jika tak ada kejelekan yang bisa mempermalukan
Eky.
“Apaan?! Huh, dasar ...” Andai saja bisa
mempermalukannya. Eky terlalu bersih dari kenakalan sebagai seorang lelaki.
“Apa?? Lanjutin dong!” tindas Eky sambil
menunjuk-nunjuk sudut bibirnya. Eky mendapati Nara yang ngiler, ketiduran waktu
mengerjakan tugas. Itu mengapa Eky selalu menindas Nara dengan air liurnya yang
meluber.
Nara merasa sangat cocok walaupun
sering ditindas sahabat barunya itu. Mengenai hobinya yang sama, menulis. Hanya
saja, Eky menulis ceritanya melalui gambar. Ya, Eky paling suka bercerita
melalui gambar. Dan Nara lebih suka menulis cerita pada diary-nya.
Suatu saat Nara pernah
menceritakan impiannya untuk belajar ke negeri menara Eiffel. Nara sangat ingin ke sana dan menjelajah Eropa. Eky yang
membuat impian itu terus menyala tiap harinya. Melihat lukisan menara Eiffel yang indah dan megah di kamarnya.
Membuat Nara terus memelihara keinginannya. Walau hanya bisa membayangkannya,
impian itu dibiarkan hidup bersama lukisan buatan Eky.
***
Nara tak sendiri, dalam
persinggahan cinta dua sahabat ini dia bersama Kiky. Entah kapan, diinginkan
atau tidak, perjalanan cinta ini menjadi rumit. Jalan yang harusnya bisa
dilewati dua orang, kini harus dilalui bertiga. Karena mulai saat itu mulai
timbul konflik kecemburuan dari Kiky. Seakan tak mau tahu alasannya ─ Nara dan
Eky hanya bersahabat. Mau tak mau, salah satu dari Nara, Kiky, atau bahkan Eky
harus pergi. Membentuk jalan sendiri, merelakan untuk pergi.
Kiky, dia telah satu langkah
bahkan lebih di depan Nara. Dia menunjukkan bahwa dia tak hanya mengungguli
Nara, dia juga menunjukkan kepercayaan diri yang tak Nara punya. Orang seperti
Kiky seperti angka-angka jam yang telah berada pada keyakinannya dan hanya
menunggu jarum jam menghampiri. Sedangkan Nara, masih terus berputar
mencari-cari angka yang selanjutnya ada di hadapannya. Kiky menganggap Nara
saingannya. Nara hanya bisa menjalani tanpa bisa menjelaskan. Bagi orang yang
sedang jatuh cinta seperti Kiky, tak akan berarti penjelasan apa pun ─ buta
karena cinta.
***
Nara
dan Kiky, mereka memulai pada tempat yang sama dan waktu yang sama. Cinta segitiga yang sebegitunya membuat
Kiky menjaga jarak dengan Nara. Walaupun Kiky tahu Nara dan Eky hanya
bersahabat.
Nara
menganggap Eky hanya sebagai sahabat. Berbeda dengan Eky yang menyukai Nara.
Sahabat yang dijadikannya kedok untuk pendekatan. Semua aktivitas Nara di
kampus, bisa jadi bahan untuk pendekatan Eky. Mulai dari meminjam tugas kuliah,
meminjam catatan, sampai meminta Nara mengajarinya materi kuliah yang kurang
dimengerti. Kire paling peka masalah pendekatan yang dilakukan Eky. Chika
apalagi, walaupun terlambat menyadari. Chika sering berbagi informasi pada Eky
tentang Nara. Namun Chika baru menyampaikannya saat semua menjadi rumit karena
Kiky.
Nara
masih belum bisa menunjukkan kepastiannya. Teringat perkataan Kire, “Sebenarnya
sinyal-sinyal cinta dari Eky telah ada sejak dulu, namun aku masih belum
yakin,” Nara tak menyadari ada yang menunggunya. Cara Eky untuk mendekati Nara,
menjadi sahabatnya.
“Ah, tak penting. Yang jelas aku hanya bersahabat
dengan Eky, kita lihat nanti. Mungkin akan sama seperti Rengga, cinta itu tak
bisa singgah walau sebentar,” gumam Nara yang sedang menyangga kepalanya di
meja kelas.
Nara
masih takut untuk memulai. Dan dia terlambat menyadari bahwa cinta itu tak bisa
menunggu. Padahal, yang bisa dilakukan seorang perempuan untuk cintanya adalah
menunggu. Usahanya hanya menunggu, menunggu kepastian dari orang yang ditunggu.
Eky
menanti sambutan dari Nara, lebih dari sekadar teman. Perlahan cinta yang serba
tak pasti ini akan hilang karena waktu. Eky memutuskan untuk mencari kepastian
lain. Dan kepastian itu datang dari Kiky. Secepat itu cinta pergi karena ada
cinta yang lain. Kiky, akhirnya dia yang cepat sampai di perjalanan cinta ini.
“Kamu
pergi saja,” begitu kata Nara, “Tak usah lagi hiraukan aku.” Kepedulian Eky
justru akan menambah rasa sakit Nara. Karena Kiky akan bertambah rewel jika Eky
tetap dekat dengannya.
Sungguh ini
biasa saja bagiku, tak begitu menyentuh. Masih terkendalikan, walaupun
menyesakkan.
Kita hanya
teman,
Bicara
seperlunya, bertemu seadanya, bertatap tanpa makna.
Tersenyum dan
berayun langkah, kemudian berlalu.
Berbeda rasa,
Kita tak
pernah saling memberikan makna.
Kadang hanya
mengingatkan, tak untuk saling mengisi.
Sejenak dan
terhenti pada wajah samar ditelan waktu.
Sebatas itu...
***
Nara
tak ambil pusing. Semua dijalani seolah tak memikirkan. Namun kehadiran Kiky,
benar-benar membuat Nara serba salah. Berkutat dengan kecemburuan wanita. Tak
disadari Nara, pikirannya tertarik pada masalah cinta Eky. Nara mulai peduli
dengan semua yang dilakukan Eky. Semua karena Kiky, Nara lebih memilah-milah
untuk dekat dengan Eky.
Kepedulian yang membuat semuanya
dihubung-hubungkan. Kiky tak akan cemburu berlebihan jika tak ada sebab. Belum
jadi kekasih saja, kecemburuannya sangat menggangu.
“Jadi, cerita apa yang Eky gambar saat itu?”
Eky hanya menggambar pelangi yang datang di sela
rintik hujan. Menerobos ke ingatan saat itu. Sewaktu Nara dan Eky ke sebuah
danau di taman kampus. Melihat pelangi dari air danau. Nara masih juga tak
mengerti. Perkataan Eky waktu itu, masih menimbulkan tanya di benaknya. Terlalu
besar memberikan makna pada kata. Karena saat itu alam sedang menunjukkan
keindahannya.
“Kamu tak mengerti, rinduku juga tertahan pada
lengkungan di ujung sana,” ucap Eky. Nara mencoba mengingat semuanya, “Cinta
yang ada walau samar tak ada kejelasan. Sekilas, namun memberi arti. Lalu kita
terpisah direngkuh waktu yang tak kunjung menyatukan,” Sisa-sisa ingatan yang
mencoba diusik Nara dari masa lalu.
“Apa ini maksudnya?! Aku tak kunjung menyadari cinta
yang hadir. Aku terlalu sibuk menikmati cinta yang kupunya entah untuk siapa,”
pikir Nara.
Tak
ada kepastian dalam hubungan ini. Sekarang atau juga nanti, hanya sebatas ini.
Rezky Pradana
Dan
aku tak ingin bertahan, dan meminta disanggupkan untuk bertahan. Aku ingin
pergi.
Letih
jika harus menunggu kehadiranmu di waktu lain, hanya resah jika terus menunggumu.
Walau
begitu, tak semudah itu meniadakan cintamu.
Pesan
dari Eky yang membuat Nara semakin tak menentu.
“Lebih baik mencoba menerima atau tinggalkan! Ah,
sepertinya aku terlalu banyak menyakiti perasaan sahabat sendiri!” Nara mencoba
meredam konflik hati yang terjadi.
Eky
pergi. Seperti kepastian yang selalu diidam-idamkan para perempuan pada
cintanya, disambut dengan lelaki yang mencoba dan memastikan kebahagiaannya
pada perempuan yang mencintainya ─ pada Kiky. Perlahan cinta mereka tumbuh.
Seiring dengan tumbuhnya perasaan di hati Nara, walau terlambat. Perasaan yang
ada saat Eky telah pergi untuk orang lain.
Melihat
mereka, Nara sangat bahagia. Teman sendiri bisa menjadi sepasang kekasih. Namun
sakit yang dirasakan Nara jauh lebih pasti.
“Apa ini cinta? Ah, pasti hanya bentuk penyesalan.
Ada yang mencintaimu, dan kamu kehilangan cintanya. Sebatas itukah?!” Nara
bertanya pada hatinya.
Sejauh ini hubungan mereka baik-baik saja. Berbalik
dengan perasaan Nara.
“Mengapa cinta datang terlambat padaku?!”
“Hadir di saat semuanya pergi... Ya itu yang namanya
tak jodoh Ra,” Chika mencoba memahami kisah mereka. Walaupun sama-sama tak
pernah mengerti cinta. Dua sahabat ini hanya berusaha mengerti cinta yang
samar-samar, antara iya dan tidak pernah dirasakan keduanya.
***
Libur
semester kali ini, teman-teman sekelas merencanakan pergi ke Jogja. Semua hadir
dengan pasangan masing-masing. Bertemu dan dipisahkan, berjumpa lalu dijauhkan.
Hanya masalah fisik yang tak bisa bertatap, namun hati tak pernah tahu. Mungkin dia masih ada di benakmu, walau
telah pergi.
“Ya, bagi yang mengerti dan paham cinta, bertemu dan
kehilangan sudah biasa terjadi,” Dan liburan kali ini menjadi tak biasa untuk
Nara.
Malam
keakraban diadakan di kediaman sepupu Nara. Pukul 09.00, makrab dimulai. Dua
setengah tahun sudah bersama, hanya ada tiga teman yang tak terpisahkan, tak
terganti. Mereka sekelas menyebutnya gang
‘Joris’, jomblo miris.
“Tak ada sebutan yang lebih elegan apa?! Mereka
ini!” Chika kesal melihat teman-teman yang lain tertawa terbahak-bahak.
“Apa kamu Re, kamu kan gak jomblo lagi!” timpal
Chika.
“Buktikan saja ─ kalau kita jomblo berkualitas,”
kata Nara meringis.
“Tetap gak enak kali Ra, JOMBLO!!” kata Chika
mengeja huruf demi huruf yang teramat berat untuk disandangnya.
Di
tengah gelak tawa, Eky datang menghampiri, “Aku tak enak, kamu harus pisah dari
Kiky.”
“Ah, nggak apa-apa. Bukan mau kita kan.” Eky
berlalu.
“Pembagian kelompoknya gimana sih?! Mau tak mau...”
kata Nara kesal.
Agenda
makrab kali ini, setiap kelompok yang sudah dibagi harus tampil untuk mengisi
acara. Chika, Nara, dan Eky satu kelompok. Mereka memutuskan untuk membuat
drama percintaan khas Indonesia.
“Ya terpaksa. Gak ada yang bisa nyanyi, main alat
musik, mau apa lagi?!” kata Nara lemas.
Setelah seharian berlatih membaca naskah secara
terpisah, pertunjukkan dimulai.
“Instan, latihan jarak jauh demi menjaga perasaan
Kiky. Jadinya seperti apa nanti?!” gumam Nara.
“Sudah, ayo maju!” Chika mengangguk.
“It’s show
time beb,” Kire menyemangati Nara dan Chika yang akan tampil.
***
Nara :
“Aku bukan Roro Jonggrang, yang menolak cinta dengan membebanimu beribu
syarat.”
Eky :
“Tapi aku Bandung Bondowoso, yang mau berkorban apa pun demi cinta. Apa pun
yang kamu mau akan kukabulkan!”
Nara :
“Maaf, tapi kamu begitu angkuh. Kamu pikir, cinta bisa dibeli?! Aku tak punya
perasaan apa pun padamu.”
Eky :
“Baiklah, aku tak akan mengemis cinta padamu. Kamu akan menyesalinya, karena
telah menolakku! ─ Singkat cerita.
Drama
diakhiri dengan kepergian Eky. Tinggal Nara berdiri pada padang terbuka.
Menjadi bagian langit, berdiri di kegelapan malam. Tak ada yang menjadi patung
dalam drama itu. Hanya saja, Nara mematung tanpa kejelasan. Matanya beralih
dari langit, menatap Kiky.
Seketika,
teman-teman yang lain memberikan tepuk tangan riuh. Nara hanya menatap ke satu
arah. Kiky terlihat tak senang, memalingkan wajah ketika Nara melihatnya.
Dingin,
namun yang terasa hanya panas yang membuat gatal seluruh tubuh. Nara merasa tak
nyaman dengan Kiky.
“Sungguh tak ada maksud untuk menyakitinya.” Nara
tahu, Kiky sangat mencintai Eky. Tak pernah sedikit pun terbesit untuk
memisahkan Kiky dari Eky.
Nara
memberanikan diri menemui Kiky.
“Aku ini siapa! Aku tak berarti apa-apa dibandingkan
kamu Ky. Kamu cantik, pintar, baik, lembut. Kamu mencintai Eky dan sebaliknya,
Eky mencintaimu. Pertahankan hubungan kalian,” Nara tersenyum. Ia tak bisa
berkata apa-apa lagi.
Ada
hal yang tak pernah Nara ceritakan pada siapa pun. Tak ada yang tahu bahwa dia
pernah mengalami hal buruk yang menyangkut aibnya. Pelecehan seksual yang
dialaminya saat masih kecil dulu. Walaupun tak berdampak banyak pada fisiknya,
namun pada jiwanya, masih membekas sampai saat ia dewasa. Berusaha sekuatnya
menghadapi trauma yang tak seorang pun tahu.
Ingatan
yang tak terhapus waktu. Jangan salahkan Nara tentang masa kecilnya yang suram
ini. Orang lain hanya akan melihat tangisannya, namun tak pernah tahu apa yang
ditangisinya. Rasa rendah diri selalu muncul saat mengingat hal menyedihkan
itu.
Walau
samar, namun seiring bertambahnya usia. Peristiwa itu membuat dia menjauhi
lelaki. Tak ada yang tahu, bahwa ketika Nara menyukai seseorang, perlahan
perasaan itu menghilang. Entah karena takut, atau apa pun, jadi tak pernah ada
ujungnya.
“Doorr!!” Chika membuyarkan lamunan Nara.
“Apaan Chika, ngagetin aja lu!” Nara tersenyum.
Kire datang. “Eh Re, gimana tadi pertunjukkannya,
bagus kan?!” kata Chika bersemangat.
“Apaan?! Yang drama itu Nara dan Eky. Ngapain tadi
kamu disebelah Nara?!” ledek Kire.
“Iya Ka, dialogmu mana? Cuma diam aja tadi,” kata
Nara sepakat.
“Jangan salahkan aku. Kamu tadi dialog berdua terus
sama Eky, sampai lupa sahabatnya cuma jadi jangkrik,” kata Chika menggebu.
“Hahaha, iya maaf. Tadi kan udah dikode. Eh, malah
diam aja. Ya sudah lanjut!” kata Nara geli membayangkan Chika yang krik-krik.
***
Eky
menjumpai Nara di rumah. Jika perempuan berkata tidak apa-apa, berarti apa-apa.
Inti dari rumitnya wanita yang paling sederhana. Harus dimengerti Eky sebelum
cintanya siaga satu. Alasan apa pun, untuk seorang kekasih seperti Kiky tak
akan bisa terima jika kekasihnya lebih sering bersama prempuan lain.
“Cepatlah pulang. Aku tak ingin memperkeruh
suasana.”
“Kiky ngerti kok, nggak mungkin dia marah tanpa
alasan.”
“Kamu harus mengerti rumitnya cinta. Dan perempuan
yang ada di dalam cinta, yang ahli memperumit masalah.” Eky hanya tertawa
mendengar perkataan Nara.
Cinta
dan wanita, dua ‘...ta’ ini adalah paduan yang saling melengkapi dalam
meliuk-liukan rasa. Eky masih saja tak paham.
“Sudahlah, pulang! Cintamu menunggu. Dia merindukan
kehadiranmu. Yang ditunggunya adalah awal-awal saat kamu bersamanya,”
Hubungan Eky dan Kiky sedang jenuh-jenuhnya.
Perasaan yang berubah setelah sekian lama bersama. Ada baiknya, Eky menumbuhkan
rasa pertama saat jatuh cinta dulu.
Eky
pamit, sepertinya dia mulai mengerti. Nara melanjutkan mengemasi barang-barang
yang akan dimasukkan gudang setelah terhenti karena kedatangan Eky. Angin
dingin merasuk, entah dari kipas angin atau tiupan angin dari jendela kamar.
Nara mengacuhkan tubuhnya yang kedinginan, sibuk mengemasi barang-barang yang
seharusnya tak masuk ke gudang.
Barang
pemberian Eky, harusnya sudah dikembalikan Nara. Namun bunda Nara bilang,
‘Kalau dikembalikan, justru akan membuat Eky sakit hati’. Jadi Nara memutuskan
untuk mengemasinya dan disimpan di gudang saja.
“Akhirnya
selesai juga! Bersama segala gundah, semoga terkubur dan menumpuk di gudang
saja.” Biar lambat laun mengendap bersama tumpukan debu, laba-laba bersarang,
terkubur dengan jaring-jaring tipis yang rapuh.
Menikmati
suasana tenang yang lebih baik. Angin terasa lebih ramah menyapa. Saatnya
mengikhlaskan semua yang terjadi antara Nara dan Eky. Cinta yang mengambang
entah ke mana ini, tak sepantasnya dilanjutkan. Ada Kiky yang lebih membutuhkan
Eky. Jadi cinta itu hanya masalah siapa yang butuh dan membutuhkan.
“Mungkin
demikian,” Nara mencoba memahami, “Kalau cinta itu kebutuhan, padahal semua
orang butuh cinta, termasuk aku. Mungkin, cinta itu ada karena kesungguhan.
Kiky ─ aku tak meragukan kesungguhannya mencintai Eky. Jadi, dia lebih pantas
daripada aku yang masih meragu.”
***
Awan
hitam pekat. Langit tepat beranda rumah, mendung, tak secerah langit Utara.
Namun hanya gerimis kecil yang nampak. Nara meratapi syahdunya gerimis dan
kegundahan hati. Hujan itu dapat mengobati suasana hati atau justru menambah
luka di hati. Tergantung suasana hati, merasakan turunnya rintik demi rintik
dari dahan dan ranting pohon di samping rumah. Menatap dengan penuh kelembutan
yang dibalas dengan tetesan dingin menyentil kulit wajah. Lembut namun dingin.
Walau hanya setetes, dinginnya merebak dan merasuk ke hati.
Melanjutkan
langkah yang terhenti karena masalah cinta. Jika Eky tetap dengan komitmen
cintanya pada Kiky, Nara mencoba memahami kepergian Eky yang sempat dia ratapi.
Entah mengapa rasa kehilangan membuat suram hati. Apa mungkin cinta?! Nara
masih mempertanyakan cintanya. Sementara Eky memenuhi janjinya untuk bertahan
dengan Kiky, dengan semua permasalahan yang ada.
***
Hujan
tak pernah permisi kapan datangnya. Sewaktu-waktu cuaca dapat berubah, panas
menyengat bisa berubah menjadi hujan yang mengisi rongga antara langit dan
bumi. Melewati lorong gelap. Berteduh di terowongan dari hujan di luar. Berdiri
di pinggir terowongan, melihat dua sisi separuh lingkaran. Hujan turun
meniupkan angin bersama cipratan tanah. Bau tanah basah, yang seharian tersorot
sinar mentari panas. Terlihat tanah dan jalanan aspal mengeluarkan asap
bercampur debu, sebelum semuanya rata dengan air hujan.
Harus
tertahan di terowongan yang di atasnya melintas roda empat menderu mesin
berlomba dengan suara hujan. Nara menghabiskan waktunya untuk berteduh,
memutuskan untuk kembali. Tak jadi membeli kue brownis kesukaannya. Sampai di
rumah, gerimis rintik-rintik, Nara melihat Eky berlalu dengan motornya. Eky
mencari Nara.
Nara
mencoba melaju lambat, menunggu Eky pergi jauh dari rumahnya. Hanya melihat
sosok Kiky pada diri Eky, semakin membuat Nara merasa bersalah.
“Jika kita mempunyai perasaan yang sama pun,
kita tak bisa kembali dekat seperti dulu. Kamu telah bersama dia. Walau aku
tahu saat itu kamu tak ingin benar-benar berpisah denganku ─ mungkin...” Tak
tahu pasti bagaimana perasaan Nara pada Eky. Nara juga tak ingin memastikannya
─ pada orang yang telah bersama orang lain.
***
Serbuan air yang datang dari langit
tak mampu terbendung. Lautan mendung tak mampu membendungnya hingga air tumpah
ruah ke bumi. Kampus terlihat samar karena lebatnya hujan turun. Mencoba
melangkah keluar, sudah pasti akan basah. Nara melihat Eky menerjang hujan
bersama Kiky. Memayungi kekasihnya itu dengan jaket, melindunginya dari
derasnya hujan. Nara hanya bisa berdiam diri di koridor gedung. Lampu mati,
hanya terlihat bayang-bayang suram menghuni kelas.
Semuanya tampak gelap. Saat-saat
seperti ini, akan terlintas kesalahan-kesalahan dan hal bodoh yang pernah dilakukan.
Penyesalan pada masa lalu. Waktu yang tepat untuk menyalahkan diri sendiri. Itu
yang Nara pikirkan. Memikirkan bagaimana waktu terlintas sia-sia. Waktu
terbuang percuma karena ketakutan tak beralasan pada masa depan.
Betapa dia telah membuat kenangan
dalam kehidupan Nara, yang selalu mengusik perlahan. Yang tak bisa dibedakan
antara kenangan manis atau kenangan pahit.
“Sebentar
saja aku mengenalmu, secepat itu engkau pergi.” Perasaan yang sekarang baru
terasa setelah kepergian Eky.
Salah Nara mengacuhkan cinta. Yang
tak disadari Nara, cinta itu akan luntur karena waktu. Tak Nara kira, Eky akan
mengacuhkannya secepat ini.
“Aku
telah kehilangan sosok yang kukira akan bertahan walau beribu acuh dariku. Kamu
membuatku menyesal karena tak mempedulikanmu saat itu,” tegas Nara di depan cermin,
“Itu salahku atau salahmu? Salahku karena mengacuhkanmu. Atau salahmu, karena
ternyata kamu tak benar-benar mencintaiku.”
Dan sebelum Nara tenggelam, dia
segera berlari ke tepi. “Aku tersudut pada perasaan ini. Karena tak ada
kejelasan dariku sendiri. Aku anggap kita memang tak jodoh.”
***
Malam hari, hati dan pikiran memang
banyak terkuras. Teringat peristiwa saat hujan yang sangat syahdu membanjiri
kampus hari kamis lalu. Tiga hari terlewat, namun masih saja terpaksa untuk
mengingatnya. Seandainya satu hari itu bisa dihapus dari memori otak jangka
panjang. Peristiwa itu sudah terlanjur terekam nyata dan tersimpan jelas tanpa
harus direka ulang. Terpatri dalam jangka panjang, yang sewaktu-waktu bisa
muncul dengan sendirinya tanpa harus mengingatnya.
Senang
melihat teman melabuhkan dan menjatuhkan pilihannya. Memang masa depan tak
pernah terduga. Dan yang perlu dimengerti cukup perasaan Nara, untuk merelakan.
Kesungguhan itu belum juga didapatkan. Sesekali merenung, menatap wajah
sendiri. Jarang sekali Nara seperti ini.
“Aku
cantik, nggak bodoh juga, standar. Nyebelin sih, tapi nggak terlalu. Ah,
sepertinya tak ada yang salah dari diriku. Tapi...” perkataannya terhenti,
“Tapi... mengapa seperti ini?! Apa aku tak bisa mendapatkan kesungguhan itu?!”
“Belum...”
Kire tiba-tiba muncul di cermin. Berdiri di belakang Nara, “Belum saatnya aja
Ra! Tenang bukan hanya kamu yang merasa seperti itu. Lihat! Cewek cantik tapi
gendut, mleber kayak gini. Syukuri saja. Kelak pasti ada yang mau.”
“Mau
apa Re?” Nara menoleh, matanya berkaca-kaca. celotehan Kire meredakan gundah.
Kire hanya membalasnya dengan senyuman.
“Kamu
itu lho, punya segudang kelebihan. Cuma...”
“Cuma
apa Re??”
“Cuma
tertutup sama beton,” Kire tertawa puas
“Yaah,
ketutup dong, susah dilihatnya, sama saja nggak ada yang bisa ditunjukkan!”
Nara memeluk tubuh gembil Kire.
***
Butuh hiburan, pencerahan. Butuh
suplemen untuk hati agar bisa bangkit kembali. Menjalani aktivitas yang akan
segera Nara awali. Sebelum siang hari dan semua terlambat untuk dibenahi. Kalau
hati sudah tak nyaman, rasanya sulit untuk mengawali hari.
Nara bergegas menuju kolam ikan yang
teduh karena pohon jeruk bali yang tumbuh di samping kolam. Melamun di pinggir
kolam dan memandang kosong ke kolam. Sesekali kepala Nara menengadah. Reruntuhan
daun jeruk menerpa wajah, turun perlahan. Jatuh terhempas angin, berguguran
lalu terapung di air kolam. Ikan-ikan terhentak, kaget. Nara yang sedang
melamun turut kaget, membuyarkan tatapan mata kosong. Sadar, melihat daun
serupa hati.
Masih bisa tersenyum dan tak
merasakan kehilangan. Itu mengapa tak seharusnya terbawa perasaan. Dan cinta Nara memang bukan dengan Eky. Cinta
itu tak pernah tersampaikan. Seperti bui, menghilang tanpa ada jejak. Ternyata
hanya rasa takut kehilangan seseorang yang biasa dekat, kini harus jauh. Bukan
cinta.
Kita
memang tak bisa memilih dengan siapa kita mau. Kadang dia yang mencintai, kita
tak mengharapkannya. Kadang kita yang mencintai, dia tak menyambutnya.
Sederhana tanda tak berjodoh.
Bisa saja kita salah mengartikan. Kita tak akan
pernah tahu di mana ujungnya, semua akan terhenti saat masing-masing menyadari ─
tak berjodoh. Itu hanya masalah waktu.
“Sedikasihnya aja,” kata Nara, pasrah.
Nara belajar banyak arti cinta dari Kire. “Jika
sudah saatnya pasti akan dimudahkan,” senyum terakhir Nara pada libur akhir
pekan. Esok, biar tak ada lagi kegalauan. Biarlah mengendap, tak perlu diusik
lagi. Hanya menunggu waktu berlalu, siapkan untuk kebingungan lain yang menanti
di depan.
No comments:
Post a Comment