Monday, September 28, 2015

04:00 I Find You, Cloud!


Setelah 21 tahun usia terlewati, sendiri adalah masa terindah. Banyak teman yang sudah memiliki pendamping, entah itu pacar, tunangan, bahkan ada yang sudah menikah. Kesendirian yang indah namun tak Nara harapkan akan berlangsung lebih lama lagi. Dan sekarang, Nara jalani dengan terus berharap menemukan dia yang pertama dan terakhir.
            Nara dan Chika, sahabat yang sedang mengukir mimpi ini mengharapkan adanya keajaiban cinta. Ya, bukan mencari tapi yang jelas mereka menunggu. Tak terlalu banyak berharap namun usia menyadarkan. Kire lebih dulu meninggalkan masa lajangnya. Menikah usia muda, kuliah sambil mengurus rumah tangga. Tak disangka akan secepat itu. Si gendut cantik, jalan hidupnya indah walau dalam paksaan. Semakin Nara mengingatnya semakin tak yakin sahabatnya yang merasa rendah diri itu justru mendapatkan cintanya lebih dulu, beruntungnya dia.
            Meskipun telah menjadi Ny. Rengga, Kire sering melewatkan malam minggu bersama sahabatnya. Rengga memakluminya, menemani jomblo-jomblo pesimis katanya.
“Cowok mubadzir itu cowok ganteng yang nggak punya pacar.”
“Bisa aja kamu Ka,” Nara tertawa geli.
“Berarti cewek mubadzir, cewek cantik yang nggak punya pacar. Apalagi yang sampai sekarang nggak pernah yang namanya pacaran.”
“Lu ngledek gue Re,” melirik Kire.
“Ya nggak apa-apa Ra, dapat cantiknya kan,” Chika tertawa puas.
“Iya, tetap saja kesimpulannya cantik-cantik kok gak laku-laku!”
“Kamu yang bilang sendiri lho Ra. Nyadar juga!” Kire terbahak-bahak berdiri di hadapan Nara.
Mereka memang gemar menghina satu sama lain. Mereka tumbuh pada cinta dalam kehinaan. Manusia yang penuh dengan hina, bersama-sama selama tiga tahun, bergelut dengan kehidupan kampus.
            Nara sadar, selama ini hanya dekat dengan Rengga dan Eky. Tak pernah dekat dengan siapa pun selain mereka berdua apalagi mempunyai kekasih. Walaupun hanya sekali, paling tidak Chika sudah pernah yang namanya punya pacar. Dan Nara, cukup bangga dengan perasaannya pada Awan. Lelaki yang berhasil mencuri hati Nara. Dalam diam, Nara mencari kepastian perasaannya.
            Awan, wajahnya tak bisa hilang sejak pertama bertemu. Di taman tempat pembekalan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Seperti awan, dia menenangkan dan senyumnya lembut. Dia istimewa, kebaikannya tercermin dari wajahnya. Nara semakin tambah dekat dengan Awan setelah melalui perjalanan panjang 90 km menuju desa tempat KKN mereka. Melaju dengan motor Awan, dia tampak mengesankan menggunakan kacamata hitamnya.
“Berdoa dulu Ra,” kata-kata yang meluncur sebelum perjalanan itu dimulai.
            Nara berdiri di trotoar jalan raya. Melihat kendaraan melintas dengan kencangnya siang itu. Nara menanti Awan yang sedang membeli snack dan minuman di toko ujung jalan. Segera mengabaikan kebisingan yang melintas. Bersandar di motor Awan. Saat itu Nara mulai menyadari babak baru dalam hidupnya. Meninggalkan perkara cinta lalu.
“Ra?!” Awan menghardik dari belakang. Nara masih saja melamun.
“Nara?!” kata Awan, tersenyum.
            Senyum Awan membuat Nara menyadari yang lalu memang perlu diganti dengan yang baru. Dengan harapan Nara akan menemukan sosok yang lebih berarti pada belahan waktu ini. Awan menyela ditengah lamunan Nara yang senyum-senyum sendiri. Perjalanan dilanjutkan, sudah lebih jauh dari tempat memulai. Tak ada waktu untuk menengok belakang. Yang di belakang, biarkan berlalu tanpa perlu menghapusnya.
***

            Belum sehari berada di desa Kuning, Nara sudah dibuat kebingungan tak menentu. Canggung, tak pernah bisa menatap wajah Awan. Matanya. Nara paling tak bisa menatap mata orang yang dia suka. Perasaan Nara datang terlalu cepat, instan. Tak bisa dipungkiri, selalu ada senyum setiap Nara mengingatnya. Namun Nara selalu takut jika cintanya hanya sepihak.
            Sifat Nara yang pendiam namun jika mood-nya sedang sangat baik, tak bisa berhenti untuk terus berceloteh. Mempunyai dua kepribadian yang berbeda. Nara mulai menjadi pendiam dan pemalu sejak bertemu Awan. Dia berbeda saat pertama kali Nara berkenalan padanya. Lelaki berkumis jarang, nampak begitu dewasa, manis, namun sangat cuek ini begitu mengesankan. Perlahan awan yang menggumpal terurai lembut. Siang hari, Nara begitu menikmati teriknya matahari. Berjalan menyusuri sawah hijau.
“Dalam diam ini, aku hanya berharap bisa mengenalnya lebih dekat,” gumam Nara.
            Ayunan langkah semakin cepat. Ingin sekali berbincang dengan Awan, namun Nara tak pernah bisa menghilangkan kegugupannya. Sama-sama pendiam dan Awan terlalu cuek. Nara dan Awan tak pernah bisa bercakap-cakap lama, dan kemungkinan untuk dekat sepertinya sulit.
            Harus ada pihak ketiga dalam hubungan mereka ─ mak comblang. Teman-teman yang menyatukan kedekatan mereka. Setidaknya, Nara dan Awan lebih mempunyai banyak waktu untuk bersama karena mereka. Entah apa perasaan Awan, Nara tak berharap banyak.
“Satu, dua, tiga...” menghitung bagaimana Nara bisa keluar dari bisu. Tak sepatah kata bisa keluar. Selama dua jam Nara harus piket bersama Awan, dan tak mungkin terus-menerus berdiam diri. Akhirnya Awan memulai percakapan.
“Ra, gimana persentasinya? Ada yang kurang?”
“Iya nih, buat penyuluhan kesehatan di balai desa masih kurang jelas. Bahan persentasi yang kemarin mana ya?”
            Terlalu formal. Nara canggung, tak mengerti, bicara saja keringat menetes tak terseka. Nara memang tak pernah bisa mengendalikan perasaannya, sangat ekspresif. Orang lain akan cepat mengerti hanya dari sikapnya. Teman-teman yang lain ingin membantu, namun justru membuat Awan enggan dekat, malu. Takut jika yang lain menyindirnya.
“Dengan semua perasaan singkat yang terpendam, ah aku ingin sekali melupakannya!” Nara pergi ke kamarnya, dia tak ingin Awan melihatnya gugup dan salah tingkah lebih lama lagi.
***

Senja mengubur segala lelah dari aktivitas di balai desa. Mulai menyemai semangat baru untuk nanti malam. Pertunjukkan wayang, baru kali ini Nara menonton wayang secara langsung sekaligus jadi panitia penyelenggara. Nara menikmati saat-saat bersama keluarga barunya kecuali perasaannya.
“Ah, sudahlah. Aku menyerah Nda.” Nara bersandar di bahu Anda.
“Sabar ya Ra. Aku kenalin sama cowok lain mau?”
“Apaan sih Nda? Nggak ngaruh juga buat nglupain Awan.”
“Terus kamu mau dicuekin gini tiap hari??”
            Nara berusaha menutupi perasaannya. Namun tak pernah bisa disembunyikan dari teman-teman yang lain. Sikap Nara yang tak dewasa dan kadang berlebihan membuat mereka sering mengejeknya. Dan Nara mulai tak nyaman jika ternyata tak ada sambutan berarti dari Awan. Jika ada, pasti paksaan dari teman-teman. Anda, dia teman curhat Nara yang baru. Teman sekamar, berbagi kasur bersama, berbagi keringat bersama. Dia terbaik setelah Kire dan Chika.
“Begini banget ya nasib gue... Malu tau gak sih Nda!!”
“Udah lah dilupain aja. Nggak penting Ra! Kamu itu cantik, nggak nyadar juga?!”
“Lah apa hubungannya sama Awan?” Nara mengerti jika Anda mengkhawatirkannya, jangan sampai patah hati.
Perasaan yang tak terwadahi karena belum ada cawan yang menampungnya. Memang belum saatnya. Perbincangan di sela pertunjukkan. Walau lelah, mata selalu menatap panggung, menyaksikan wayang di tengah kerumunan warga.
            Tengah malam lewat, mereka memutuskan untuk pulang ke posko. Jalanan masih ramai. Hanya hati Nara yang sepi. Banyak hal yang dipikirkan Nara, terutama keadaan ayahnya yang sedang sakit. Seminggu sekali Nara menyempatkan untuk pulang ke rumah. Perjalanan selama tiga jam naik bus dan langsung menuju rumah sakit untuk menjaga ayahnya. Nara menjalani apa yang seharusnya dijalani, tak banyak mengeluh. Hanya terkadang, dia selalu menyendiri jika teman-teman yang lain sedang berkumpul.
***

            Hari-hari di posko hanya bersama Awan. Tiap perjalanan jadi selalu bersamanya, itu karena teman-teman. Anda dan teman-teman yang lain selalu saja tak kehabisan akal untuk membuat Nara semakin dekat dengan Awan.
            Rapat malam hari, hanya ada rasa malu menatap wajah Awan. Nara menjalani hari-hari dengan perasaan yang tak mampu dipendamnya, terlihat dari wajahnya yang selalu memerah. Setelah rapat harus menyelesaikan tugas untuk program sekolah Paud di sana. Hiasan dibuat untuk media belajar di kelas nantinya. Kupu-kupu, awan, bunga, bintang-bintang, semua hiasan terurai panjang menggantung. Seperti perasaan Nara, yang menggantung tanpa kejelasan.
            Nara tak bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa menuruti rasa malu yang dia rasakan. Nara lebih sering berada di kamar, tiba-tiba mengendap-endap keluar, sesekali mencuri pandang ketika Awan lewat. Nara sungguh menikmati perasaan itu. Yang tak dia sadari justru menyeretnya lebih dalam pada perasaan yang tak seharusnya ada.
            Malam itu, Awan pamit untuk pergi. Namun diam-diam dia memberi pesan singkat untuk Nara. Itu karena tadi dia melihat Nara senyum-senyum sendirian melihat Awan.
‘Belum tidur Ra?’
‘Belum, belum ngantuk.’ Jawab Nara singkat.
‘Sini kumpul sama teman-teman. Siap-siap, nanti kan kita mau ngasih kejutan buat Ofa.’

            Lewat jam 12 malam nanti, Ofa teman sekamar Nara akan berulang tahun. Semua sudah dipersiapkan matang-matang. Nara sangat senang berbalas pesan dengan Awan. Ada harapan untuk cinta Nara kali ini. Tak lama, Nara tertidur pulas. Sms terakhir Awan yang membangunkannya tidur pun tak sempat dibaca.
            Memasuki kamar, mereka sudah kumpul bersama di dalam kamar Nara, Anda, dan Ofa. Nyala lilin berpijar di kegelapan. Lagu wajib saat ulang tahun dikumandangkan. Sebelum meniup lilin, Ofa mengucapkan doa, membuat permintaan di hari bahagianya. Make a wish. Entah apa doanya, mereka hanya mengamininya. Lilin yang meleleh segera padam.
            Sepuluh mahasiswa KKN, tengah malam berbuat keributan di posko. Malam itu, timpukan kue tart melayang dan mendarat ke tubuh Ofa.
“Selamat ya Ofa!” satu persatu memberikan selamat.
“Ayo makan!” teriak Anda, menyerbu kue tart yang masih tersisa.
Gemuruh suara kaki, mereka berlarian takut terkena sasaran kue. Suara tawa yang menghentakkan kesunyian malam. Suara jangkrik meredup, kalah saing dengan suara gaduh mereka. Satu jam berlalu merayakan ulang tahun Ofa. Setelah bersih-bersih badan karena kotor, mereka melanjutkan tidur.
            Menjelang pagi, hanya tidur tiga jam. Setelah tadi malam terjadi kegaduhan di rumah bapak lurah. Nara bangun jam empat pagi, sudah menjadi kebiasaan. Dia tak pernah melewatkan malam yang akan pamit digantikan mentari. Timpukan kue tart berceceran di lantai. Nara membersihkan kotoran sisa tadi malam, menyapu dan mengepel lantai bersama Anda.
            Diam-diam, Nara melihat Awan tertidur pulas di karpet. Tak tega membangunkannya. Mengepel, sesekali mencuri pandang menatap Awan yang terbalut selimut tebal. Walau hanya melihatnya, hati Nara bergetar dibuatnya. Apalagi jika harus bertatapan dan bicara pada Awan. Ini cinta pertama Nara ─ cinta sebenar-benarnya. Baginya ini begitu menegangkan dan luar biasa.
            Kian hari, Nara semakin kagum dengan kepribadian Awan. Dia baik, ibadahnya selalu dijaga, pintar, pantas dia menjadi koordinator  KKN desa Kuning ini. Terlengkapi sudah cerita cinta dengan kekaguman yang dirasakan Nara.
***

             Hari ini peringatan tahun baru Islam. Akan ada pawai peringatan 1 Sura di lapangan desa Kuning. Anak-anak kecil berpartisipasi, mengarak spanduk diiringi musik drum band sepanjang jalan desa Kuning. Melihat Awan dari kejauhan.
“Mungkin dia sama saja dengan yang lain. Namun perasaan ini yang membuat dia sangat istimewa di mataku.”
“Ra, jangan melamun!”
“Enggak kok Nda,” Nara kaget, “Itu panitia nyuruh kamu jaga posko!”
             Pawai dimulai, Anda dan teman-teman lain harus membantu mengamankan jalan. Hanya Nara yang tinggal di posko. Menunggu acara khitanan massal. Rangkaian acara peringatan tahun baru Islam di sini. Meriah dan menyenangkan.
            Mayoret memimpin penampilan tiap grup perwakilan sekolah. Bunyi genderang drum menambah semangat pagi hari yang panas, mentari dengan teriknya menyinari. Belyra yang memberi keharmonisan melodi menyemai semangat dari anak-anak yang melambai-lambaikan bendera warna-warni, begitu semarak.
            Lelah hilang, terkesima menyaksikan anak-anak yang antusias memeriahkan acara. Sejenak menyingkirkan perasaannya pada Awan. Tak mau terlihat gerogi di samping Awan. Duduk bersebelahan, Anda sengaja mengabadikan kedekatan mereka. Nara tampak malu-malu. Tak bisa disembunyikan betapa bahagianya dia, sesekali memandangi foto hasil jepretan Anda. Senyum Nara semakin mengembang.
            Siang hari, periksa dan konsultasi kesehatan gratis. Para warga berdatangan ke tengah lapangan, terutama para lansia. Mereka saling membantu mengarahkan bapak-bapak dan ibu-ibu yang tengah mengantri untuk pengobatan gratis.
“Awan tak terlihat di sini...” batin Nara
“Aku tahu dari tadi clingukan nyari Awan ya?!” Anda meledek.
“Enggak kok Nda.”
“Iya juga nggak apa-apa kok. Hehe. Dia di tempat khitanan massal Ra. Kamu mau ke sana?”
“Enggak ah Ra, di sini aja...” Nara tersenyum.
            Hari semakin sore, semakin rame. Warga berdatangan, terlihat betapa pedulinya mereka akan kesehatan. Jauh-jauh datang untuk periksa dan mengikuti penyuluhan yang diberikan setelah pemeriksaan selesai dilakukan. Pengobatan dan konsultasi gratis ini sangat membantu warga di desa Kuning, terutama untuk para lansia.
            Panas mulai surut. Nara dan teman-temannya segera kembali ke posko. Berjejeran di depan TV. Mereka nampak kelelahan namun masih jelas raut riang yang terpancar. Berebutan makanan ringan. Nara mundur perlahan, membayangkan seakan semua mimpi.
“Punya keluarga seperti ini. Seru!”
Mengesankan bisa tinggal serumah dengan konflik yang justru membuat mereka semakin kompak. Air mata menetes, Nara mulai belajar menghargai waktu. Yang ada di depan, harusnya dijalankan sepenuh hati. Karena waktu tak akan terulang lagi.
***

            Sebentar lagi akan berpisah, ya dua minggu lagi. Tak terbayangkan jika harus merubah kebiasaan. Biasa serumah, tinggal bersama, berbagi cerita. Dalam sekejap, teman-teman ini menjadi begitu berarti. Ikatan yang instan namun mendalam.
“Dan ini keluargaku, keluarga ‘Kolor Merah’....” tak hentinya senyum merekah jika Nara mengingat mereka. Kolor merah. Mahasiswa yang masih butuh suntikan dana ini hanya mampu membeli kolor merah sebagai seragam tanda kekompakan. Kolor seharga sepuluh ribu seadanya dibeli di pasar, menjadi seragam kebanggaan keluarga ini.
“Nggak nyangka udah separuh perjalanan ya! Sebentar lagi semua akan sendiri-sendiri,” kata Ofa dalam.
“Iya ya...” Nara termangu memandang keluar jendela kamar.
Sedih pasti, namun Nara juga bahagia karena bisa jauh dari Awan.
            Saat ini, untuk Nara, lebih realistis untuk pergi saja. Keadaan ayah lebih penting. Nara mendapat kabar dari ibunya, ayahnya sakit. Nara pamit sejenak, melambaikan tangan perpisahan. Meski sementara, Nara bisa membayangkan saat perpisahan nanti pasti akan menyedihkan.
            Nara harus pulang menunggu ayahnya yang sedang terbaring di rumah sakit. Untuk tiga hari ke depan Nara tak bisa melihat Awan yang selalu membuatnya tersipu malu. Meski jauh, Nara selalu mengantongi senyum Awan di hatinya.
“Walaupun jauh, senyum malu ini selalu saja menghiasi rautku.”
***

            “Ayah harus sembuh. Besok pagi aku pulang ke tempat KKN.” Ayah Nara hanya bisa merasakan sakit yang diderita lambungnya. Tanpa banyak bertanya, Nara duduk di sofa depan, air mata menetes. Tanpa harus menyekanya, air mata mengering dalam tidurnya.
            Daun merendah tak mampu menyangga tetesan gerimis pagi. Ujung daun seolah yang menjadikan sumber tetesan air dari langit mendung yang mencurahkan hujan kecil tak merata. Tetesan yang tak tersampaikan langsung ke daratan, sejenak tertahan di dahan. Mungkin juga akan mengering sebelum sampai ke permukaan tanah. Perasaan yang tak tersampaikan, menguap. Yang sudah-sudah memang berakhir demikian.
“Kisah ini, semoga akan sampai kepada pemiliknya,” gumam Nara.
            Mengenal Awan, sosok pendiam, tak banyak tingkah. Sekiranya pandangan pertama cukup mengesankan kebaikan Awan. Baru kali ini Nara merasakan ada yang berbeda. Getaran perasaan yang sejak awal bertemu, tanpa permisi langsung membuat hati Nara luluh lantak. Entah apa yang membuat Nara yakin pada perasaannya.
            Tak mengerti perjalanan hati, yang terjadi ke depan. Sejenak prinsip terabaikan. Sering kali mendapatkan kesempatan untuk berdua, namun tak pernah bisa menyatukan. Antara kesempatan dan prinsip yang telah berikrar di masa lalu yang membuat Nara ragu. Nara memendam, dan selalu menyesal tiap waktunya.
***

            Minggu pagi, keluarga ‘Kolor Merah’ akan memulai aktivitasnya di pantai. Melepas penat setelah berbagai kesibukan menjadi agenda rutin. Satu jam bersama perjalanan ke pantai. Nara masih tak bisa melepas canggungnya. Satu jam bersama dalam diam.
            Sesampainya di pantai. Nara tak mau membiarkan diri hanya memandangi indahnya. Menikmati keindahan pantai diiringi sunrise yang melelehkan gundah. Mentari bersinar terang membangkitkan harapan. Menginjakkan kaki di pasir pantai. Rela terbawa ombak yang memanggil. Menapaki pinggir pantai yang membekas tapak kaki teman-teman yang lain bersama kolor merahnya. Mereka nampak kompak dengan warna merah.
            Menenggelamkan diri di lautan garam yang mencairkan kebekuan sayup angin. Tangan usil mereka melempar pasir yang mereka raup bersama gulungan ombak. Teriakan histeris mencuat bersama deru ombak. Senyum Nara lepas, tangisannya terbawa asinnya laut. Kesedihannya berkurang karena sejak tadi  memikirkan ayahnya.
“Ra ayo! Kita main bola,” teriak Anda. Dua tim saling berebut bola. Bola melayang melawan angin, disambut tangkapan dari teman satu tim. Lemparan demi lemparan hingga ditangkap oleh pemain terakhir di ujung sebagai base kemenangan.
“Gooolll!!!” teriak mereka. Bersaut-sautan, saling bergantian memasukkan bola.
            Matahari semakin naik, menyilaukan mata. Terhenti dan lebih tenang menikmati ombak. Nara bersandar pada pijakan tangan di pasir pantai.
“Kamu awan... Apa aku hanya bsa memandangmu dari bawah sini?! Kamu akan mengiringi perjalanan ini di atas sana, di birunya langit. Aku cukup melihatmu dengan senyuman.” Mata Nara menyipit, melihat langit berpendar cahaya mentari.
“Ra, ayo mandi, ganti baju!” teriak Anda yang sudah beranjak dari bibir pantai.
“Iya, tunggu Nda,” sahut Nara.
            Menikmati setiap tawa yang berubah jadi tangis. Betapa bahagianya Nara sampai matanya berkaca-kaca. Tetesan itu tak berarti apa-apa. Menyatu dengan lautan, hanya nampak keindahan menenggelamkannya. Lebih banyak kebahagiaan yang bisa dirasakan. Lautan ini umpama bahagia yang tak akan ada habisnya.
***

            Makan pagi kali ini menunya cumi-cumi. Nara paling suka dengan si tinta hitam ini. Nara segera mengambil piring, nasi menggunung, dan kuah hitam yang sangat banyak. Dengan lahap ia makan. Nara harus sehat, teringat pesan bundanya. Jauh dari rumah, Nara tak ingin jika kembali nanti tubuhnya jadi kurus. Tak lama kemudian Awan datang, menuju tempat makan. Satu hal yang baru Nara tahu tentang Awan. Dia tak menyukai wortel.
“Pantas saja, dia selalu memilah-milah sayur jika yang dimasak ada wortelnya,” gumam Nara. Meneguk segelas air putih, Awan tersenyum melihat Nara yang dari tadi memperhatikannya.
            Hari ini mereka harus berpanas-panasan. Melakukan penanaman pohon di sekitar desa. Berjalan menyusuri jalan membawa bibit pohon yang akan ditanam. Betapa canggungnya Nara berjalan bersama Awan. Menutup lubang tanah yang telah diisi bibit, kemudian Nara yang menyiram air.
“Semoga pohon ini bisa tumbuh besar, meski nanti kita tinggal pergi,” Awan tersenyum. Senyumnya manis, membuat Nara tak hentinya berdecak kagum.
            Perpisahan KKN, jalan sehat bersama warga desa. Mereka berjalan penuh riang. Meski mereka tahu, di depan nanti hanya ada perpisahan.
 “Kenangan yang mungkin akan terhapus waktu. Biarlah, setidaknya kita pernah merasakannya. Merasakan kebersamaan ini, perasaan ‘lara-lapa’ yang dilalui walau dalam waktu singkat.”
            Kita pernah bersama. Sedalam apa pun kita mengukir kebersamaan, mungkin kita akan sama-sama lupa. Tapi, setidaknya kita pernah mengingat ini ─ bersama.
            Banyak pelajaran yang Nara dapat. Cara Nara menghargai waktu, menghargai orang lain, belajar banyak tentang arti kehidupan. Setelah ini, tak ada yang tahu ke depan akan seperti apa.
“Kita akan jalan masing-masing. Dan tak tahu jalan cerita cinta ini akan seperti apa. Cerita ini mungkin hanya akan ada sampai perpisahan nanti.”
Nara mulai berkemas-kemas, satu persatu baju pindah dari lemari ke tas.
***

            Malam hari, malam terakhir mereka bersama. Menikmati saat-saat terakhir di desa Kuning. Permainan terakhir sebelum semuanya berakhir. Dan terakhir kalinya memakai kolor warna merah bersama-sama. Mereka akan segera ditarik dari tempat KKN mereka. Bermain kartu sampai lelap. Nara selalu saja kalah. Dia harus mengenakan helm cakil warna hitam.
“Benar-benar sumpek pakai helm ini Nda!” Anda tertawa puas melihat Nara berkacamata hitam besar, dan memakai helm cakil apek. Hukuman bagi yang kalah.
            Walaupun sudah larut malam, permainan dilanjutkan lagi. Nara tetap saja menjadi sasaran kemalangan. Truth or Dare, gara-gara permainan ini Nara harus jujur dengan perasaannya. Botol diputar dan berhenti tepat ke arah Nara. Dua kali pada awal permainan, botol itu selalu mengarah ke Nara. Rencana yang tak dia mengerti, membuat semuanya terungkap.
            Nara memilih untuk jujur, truth. Harus jujur! Sangat berat untuk mengatakannya. Saatnya jujur mengenai perasaan Nara. Teman-teman Nara sengaja memberikan pertanyaan yang mereka sendiri sudah tahu jawabannya.
“Nara... apa sekarang kamu sedang jatuh cinta?! Kalau iya, sama siapa?!”
“Harus jujur lho?!” Nara hanya bisa meringis.
Malu-malu dia menjawab, “Iyaa...”
“Siapa-siapa?! Ehm, insial aja deh!” Mereka tampak antusias, padahal mereka sendiri sudah tahu jawabannya.
“Nara, Nara... ini kesempatan buat kamu, waktunya kamu jujur. Daripada nanti pisah, nyesel lho!” Ofa berbisik. Dan yang lainnya, mengiyakan.
“Harus jujur ya?!”
“Iya dong!!”
“Nggak jujur sakit perut, mencret lho!!” begitu ancaman mereka.
            Perlu waktu lama untuk menjawab. Nara enggan memberikan jawaban. Awan hanya senyum-senyum di balik keributan teman-teman. Dia tahu, namun dia hanya diam. Bagaimana dia tak tahu, dari sikap Nara saja sudah menunjukkan Nara menyukainya. Lebih-lebih saat ditanya, Nara berat untuk mengatakan. Beruntung teman-teman yang lain membantunya. Mereka tahu, Nara sudah kebingungan dengan jawabannya.
“Owh, iya tahu... Yok lanjut!!” Padahal tak sepatah kata pun diucapkan Nara mengenai inisial cowok itu. Namun mereka kompak untuk menutupinya. Mereka kasihan melihat Nara yang sangat malu, wajahnya memerah.

            Awan yang tahu perasaan Nara, hanya bisa diam.
“Malu tahu nggak sih Nda!” kata Nara sambil menuju kamar.
Sudah larut begini, mereka bersiap-siap untuk tidur bersama di ruang TV. Awan sudah dari tadi pergi menyusul Rino piket malam di kecamatan.
“Dia pasti tahu siapa yang dimaksud!” kata Nara sambil manyun.
“Dia kan belum tahu pasti. Mungkin hanya menebak-nebak saja. Santai Ra...” Anda tersenyum.
Nara gelisah. Dia segera tertidur pulas, menghilangkan rasa malu sejak permainan tadi.
            Semenjak permainan tadi malam, Awan berubah. Dia menjadi lebih ramah pada Nara. Karena ini terakhir kalinya. Nara harus pulang naik motor dengan Awan, sementara yang lain naik mobil.
“Ini perjalanan terakhir.” Nara menatap kosong.
            Perjalanan pulang, jarak 90 kilometer yang mengulur waktu untuk berpisah. Nara dan Awan sudah lebih akrab. Awan menyadari perasaan Nara padanya. Betapa malunya jika perempuan yang mulai menunjukkan perasaannya lebih dulu. Awan menunjukkan kepeduliannya. Entahlah... Perjalanan cinta ini baru dimulai atau akan berakhir setelah perjalanan selama tiga jam nanti.
I Find you Cloud! Pada perjalanan waktu, di sini ─ di hati ini...”

No comments:

Post a Comment