Saturday, June 16, 2012

Hanya Sebatas Perantara


“Cintaku untukmu itu seperti pedasnya cabai. Sepedas apapun rasanya, aku tak bisa berhenti untuk memikirkanmu dan meninggalkanmu. Kamu selalu ada dalam hati dan pikiran ini, meski kau selalu menyakitiku.” Itu karena aku mencintainya.

Setelah sikap Rais yang terlihat menyebalkan tanpa kejelasan perasaan padaku, perlahan dia mulai peduli dan lebih perhatian padaku. Meski hanya berlangsung sesekali waktu, tak tahu pasti apa maksud dari sikapnya. Walau begitu, aku bisa memakluminya, memaafkan sikap Rais, dan kembali ke sisinya. “Semudah itu aku melupakan pedasnya cintamu. Walau telah sakit perut dan berjanji untuk tak lagi makan cabai, namun tak butuh waktu lama untuk merasakan pedasnya lagi.”

Sampai semuanya berubah ketika aku tahu dia justru menggunakanku sebagai loncatan penyelesaian masalahnya dengan mendekatiku. Rais hanya menganggapku hanya sebagai perantara dia untuk meminta maaf pada temanku. Dia memanfaatkanku untuk meminta maaf pada Nami atas kesalahannya selama bertahun-tahun. Rais yang tak pernah akur dengan Nami semenjak kekurangajaran dia membuntuti Nami diam-diam. Nami merasa tak nyaman dengan perilaku Rais yang selalu mengikutinya ke mana Nami pergi.

Aku tak pernah menyadarinya dari awal. Rais membuatku seperti robotnya tanpa pergolakan apapun dariku. Aku menurutinya menyambungkan hubungannya dengan Nami. Rais terus membujukku untuk menjadi perantara hubungannya. Mulai dari proses membujuk Nami untuk memaafkannya.

Aku terlalu mengharapkan ketulusan Rais, seperti ketulusanku membantunya. Namun aku terlalu polos dan lugu menyadari semuanya. Tanpa bertanya kesalahan apa yang dia lakukan hingga harus meminta maaf sesulit ini. Dan aku yang percaya pembelaan Rais yang hanya terjadi kesalahpahaman dengan Nami.
Sampai saat Nami menceritakan semua yang terjadi. Perbuatan Rais yang ternyata dulu mencintai Nami. 
Cinta Rais yang berlebihan membuat Nami tak nyaman hingga Nami menjadi sangat terganggu.
Lagi-lagi penjelasan dari Nami tak cukup membuatku sadar. Aku menanyakan sekali lagi kebenaran itu. Dan Rais mengakuinya. Pada bagian ini pun masih tak bisa menyadari kebodohanku.
***
Aku berhasil menyatukan Rais. Senang mendapat ucapan terima kasih darinya. Merasa senang bisa membantunya mendapatkan maaf dari Nami. Meskipun aku tak tahu perasaan Rais pada Nami masih sama seperti dulu atau tidak. Aku tak pernah menanyakannya. Aku sduah cukup puas dengan jawaban Nami, bahwa Nami tak menyukai Rais. Aku berharap Rais tak lagi mencintai Nami.
Sampai pada saat hubungan Rais dan Nami baik-baik saja. Aku tak pernah mendapati kabar dari Rais, mendapat pesan singkat darinya, dan mendapatinya menemuiku lagi. Mungkin Rais sedang sibuk, mencari jawaban sendiri tanpa tahu kebenarannya.
Aku selalu berpikir bahwa Rais menaruh perhatian besar padaku. “Apa aku salah sangka dengan semua pikiranku tentangmu. Tentang responmu padaku, apa itu semua hanya pantulan untukmu tertuju pada Nami. 
Entahlah...”

Semenjak Rais mendapatkan maaf dari Nami, dia menjadi menjauh dariku. Rais lebih memilih untuk mengirim pesan singkatnya pada Nami. Nami menceritakan ketidakpeduliannya menanggapi sms dari Rais padaku. Nami meyakinkanku untuk tak mendekati Rais karena sepertinya Rais tak baik.
Satu hari setelah sms itu, aku masih yakin dengan perasaan bahwa Rais hanya ingin menjalin hubungan baik lagi dengan Nami. Memastikan bahwa Nami sudah melupakan semuanya. Hingga dia lebih memilih membangun hubungannya dengan Nami lebih dulu.

Hari berikutnya, aku mendengar Rais mengirimkan sms lagi pada Nami. Seperti yang sudah-sudah, Nami tak membalasnya. Namun Rais terus saja sms, memaksa Nami membalas pesan.
 Lalu, mengapa Rais tak ingat padaku. Mengapa dia lebih memilih Nami. Keraguanku pada keyakinan yang aku bangun sendiri. Tak masalah jika Rais terus-menerus sms dan menghubungi Nami. Namun dalam sekali waktu, mengapa dia tak menyempatkan untuk menghubungiku. Menunjukkan bahwa Rais memang lebih peduli dengan Nami.

Aku tak tahu, apa kali ini akan salah duga lagi. Namun, tanpa kabar darinya membuat semua teryakinkan. Aku tak lebih sebagai perantaranya. Tak lebih seperti kurir, hanya menghantarkan pesan yang kini telah berhasil sampai tujuan.
Pengantar hubungannya dengan Nami agar tersambung kembali. “Hanya sebatas itukah peranku di matamu? Dan kini semuanya telah selesai. Setelah semuanya tersampaikan, kamu tak ada lagi urusan denganku. Kamu bisa melupakannya.”
***
Entah mengapa, aku benar-benar yakin dengan keadaan yang membuatku percaya, aku kurir untukmu. Kepercayaan ini membuatku semakin membencimu. Tanpa kusadari, ternyata aku tak pernah benar-benar mencintaimu. Benciku terlalu besar dibanding cinta yang kumiliki untukmu.
“Tak lagi mengharapkan apapun dari perasaanmu. Sesuatu yang awalnya berada di Selatan bumi, kini telah berpindah ke ujung Utara bumi. Dua bagian yang sangat berseberangan.”
“Mungkin dulu aku dan kamu berada di arah yang sama. Namun kini, kamu di Selatan dan aku di Utara bumi. Aku dan kamu, mungkin memang tak pernah bisa saling bertemu.”
“Sekalipun harus dipaksakan, hatimu tak mungkin di tempatku. Dan harusnya aku sadar, aku salah berlaku tulus padamu karena tak ada satupun ketulusan darimu,” Walaupun tak ada lagi cinta di hati ini, perasaan bergejolak terus ada dalam batinku.
Aku tak suka dibohongi seperti ini. Rais berhasil membuatku mengecewakan diri sendiri. Lebih dari rasa kecewaku padanya. Kecewa karena aku telah salah meyakini hati ini.
***
Seminggu berlalu dan Rais masih mempertanyakan mengapa aku berubah. Rais merasa ada yang berubah dariku. Aku memang tak menceritakan padanya. Buat apa diceritakan, toh semua berubah karena dia. Tanpa harus diceritakan, harusnya dia lebih tahu dari apa yang kutahu.

Sikapku benar, karena respon Rais hanya sebatas mempertanyakan. Berjuangkah Rais untuk perubahan sikapku?! Bertanya namun tak ada usaha mencari jawaban. Semuanya jelas, tak ada kesungguhan dari hubungan ini. Lebih tepatnya, tak ada kesungguhan dari Rais.

Kalau dulu kamu sepotong kayu yang utuh, sekarang kamu hanya sebagai runtuhan dari kerapuhan kayu yang dimakan rayap. Sebagai runtuhannya, bukan sebagai sisa kayu yang digerogoti. Sudah sangat tak berartinya Rais di mataku.

Kebohongannya membuatku seperti orang bodoh. Tak mengertikah dia bahwa selain karena tak belajar orang menjadi bodoh, mempercayai suatu kebohongan juga membuat orang terlihat bodoh. Bodoh karena tak tahu kebenarannya. Tak menyangka jika kebodohan ini membuat cinta berakhir benci. Jika memang hubungan ini tak berhasil, tak seharusnya juga merusak hubungan kami sebagai sesama manusia yang saling rukun. Semua ini membuat jarak dan justru membangun benteng pemisah, yang menjadi pelindung dari rasa sakit.

Walaupun sudah biasa saja, tak memikirkan lagi yang telah terjadi namun untuk membangun kepercayaan pada Rais rasanya sulit. Biarlah aku dengan jalanku. Dan dia jauh dengan jalannya. Itu lebih baik daripada harus bertemu namun masih terbayang-bayangi dengan kejadian masa lalu. Dan memang keadaan menjadi lebih baik dengan tak pernah bertemunya aku dengan Rais lagi.

***

Pertemuan - Indefiniteness


Sebentar lagi aku akan bertemu denganmu. Meski bukan untuk mendekatimu, menyambut tanganmu, dan memelukmu. Hanya bisa melihatmu. Tak juga dapat membesarkan pupil mataku. Keberadaanmu terlalu jauh, hingga mataku harus sesipit orang Cina. Haruskah terus melihatmu dengan jarak yang hanya bisa melihatmu samar.

Tak apalah bagiku. Paling tidak aku bisa melihatmu. Aku takut jika suatu saat aku tak bisa melihatmu lagi. Jauhlah tak mengapa. Samarlah tak jadi masalah. Aku bahagia karena telah melihat wujudmu yang selama ini hanya bisa kupandang lewat dunia maya.

Menggambarkan dan mengintepretasikan dirimu sesukaku mengkhayalkannya. Mengira-ngira seperti apa kamu. Akankah sama atas apa yang kuinginkan dari gambaran pikiranku dengan adanya kamu. Menyatukan antara keinginanku seperti apa menggambarkanmu dengan apa yang kuketahui tentangmu.

Memang tak banyak yang kuketahui. Itu mengapa aku sangat sulit membedakan antara impian dan kenyataan. Walaupun mungkin tak akan berbeda jauh, tetap saja aku tak bisa mengenalimu jauh. Kamu jauh di impianku. Karena itu kamu jauh tak mengenalku.

Pertemuan ini, mungkin doaku yang kuminta untuk bertemu denganmu. Saat itu aku tak lebih hanya ingin melihatmu. Seandainya aku meminta untuk bisa mengenalmu lebih jauh, lebih dari sekadar bertemu. Namun aku juga tak tahu nantinya. Apakah terkabulnya sebatas doa berjumpa denganmu atau Tuhan akan memberikan lebih dari yang kuminta.

Apapun yang terjadi nanti, aku bersyukur bisa melihatmu. Tak bisa mengharap lebih atas pertemuan singkat dengan beratus orang nanti. Mata akan terbagi pandangan, perhatian akan tersebar. Sekilas tentang perjumpaan esok. Mungkin akan seperti itu, aku juga tak tahu. Keinginan agar mata dan perhatian terpusat untukku mungkin akan terpecah menjadi perbandingan dengan kesempatan terkecil.

Sepertinya nyamuk sudah kenyang mengisap darahku yangku biarkan terlarut dalam malam. Kalut menunggu mata terpejam. Memikirkan apa yang kunamakan harapan esok hari. Menakuti hal yang belum benar-benar terjadi. Mengkhawatirkan esok yang tak tentu sesuai dengan rencana. Menjadikan masa depan sebagai suatu hal yang mengerikan. Ya Tuhan, mengapa aku bisa setakut ini? Mengapa aku tak yakin dengan ketetapanmu? Aku berdosa untuk itu. Namun tak bisa kupungkiri bahwa aku benar-benar teringkup dalam naungan ketakutan. Menyedihkan memang, namun aku tak bisa menyembunyikannya. Aku terlalu mengasihani diriku. Aku takut diriku akan terluka dengan ketidakpastian.

Wednesday, February 29, 2012

Anak Kucing "Terperangkap"


Selesai kuliah, karena udah jam 12.00 juga, gue makan bareng temen-temen di belakang kampus. Lagi iseng-iseng duduk nunggu pesenan makan. Tiba-tiba dari jauh, gue lihat seekor anak kucing lagi lari-lari kecil.
Gue penasaran. Naah, gue hampiri itu kucing. Tiba-tiba pas gue hampiri, si kucing malah sembunyi di balik sapu lidi. Nacep-nacep itu lidi di tubuh anak kucing. Karena ga tahan ada di dalem atau mungkin ketakutan gara-gara gue samperin dan gue foto-foto. Akhirnya si kucing lari terbirit-birit melewati jeruji lidi yang berdiri kokoh di samping warung makan.
Untungnya, gue udah berhasil ngefoto ekspresi dia “anak kucing” lagi terkungkung di sapu lidi itu.
Niihh dia hasilnya...

*imuuuttkejepit*

Saturday, February 18, 2012

Kehilangan Cinta


Patah hati atau kehilangan cinta itu seperti cicak yang merelakan ekornya terputus ketika melindungi diri dari musuh sebagai pertahanan diri.


Sama seperti ketika kita harus merelakan cinta kita. Meskipun kita tak rela kehilangannya. Semua itu harus kita lakukan. Demi kebaikan orang yang kita sayang dan untuk kebaikan diri kita sendiri.

Atraksi di Udara


Lebaran dua tahun lalu, gue habiskan hidup di desa. Tempat tinggal nenek sampai saat beliau menutup mata. Sawah ini kenangan liburan lebaran terakhir bersama nenek.
Atraksi di tengah hamparan sawah. Kangen rasanya berpetualang di alam hijau sejauh mata memandang. Bukan seperti hidup di perkotaan. Gedung-gedung tinggi membumbung memenuhi cakrawala.


Wednesday, February 8, 2012

Daun pun dapat Mengungkapkan Cinta



Lewat bentuk menyerupai hati, yang biasa disimbolikkan sebagai ‘Love/ Cinta’.
Minggu pagi...
Saat itu gue menemukan indahnya cinta dibalik dedaunan berbentuk hati yang tertiup angin di ranting-ranting pohon.
Mungkin selain manusia, tumbuhan juga bisa jatuh cinta.
Jatuh cinta pada alam yang dia tempati.
Jatuh cinta dengan caranya sendiri.
Untuk tetap bertahan hidup menjejaki bumi yang menopang dia.
Mencintai apa yang menjadi kehidupannya...