Tuesday, September 29, 2015

05:00 Langit Jadi Saksi



            Perjalanan cinta yang dimulai dengan proses yang singkat. Nara mulai menaruh hati tanpa tahu alasan lain. Dia baik, berbeda dari yang lain. Sangat subjektif, namun masalah hati membuat semuanya lebih dari sekadar istimewa. Mungkin ─ ini cinta. Seberapa besarnya dan bagaimana bentuknya cinta, bisa dilihat dari betapa tak semudah itu kamu berpaling, tak semudah itu kamu tak peduli.
            Masih teringat jelas kenangan bersama Awan. Walau tak lagi bersama setiap harinya karena Kuliah Kerja Nyata telah usai, Awan tak pernah luput dari ingatan Nara.
“Mungkin ini suatu dosa, namun masa-masa itu memberikan makna yang tak pernah dirasakan sebelumnya. Melekat di sini, ya di sini! Di hatiku.”
            Antara prinsip dan pilihan. Jika yang dipilih salah, maka prinsip akan menjadi percuma. Nol besar untuk prinsip yang dibuat sendiri, namun justru tak bisa menjadi penuntunnya. Bagi Nara ini pertaruhan. Walau akhirnya tak akan bisa disebut menang atau kalah. Karena semua merupakan perjalan hidup.
***

Monday, September 28, 2015

Ini Manggarai!!!

Hei... ini Manggarai punya Kantor Bupati.


Heran, setahun sudah di sini, namun baru bisa mengabadikan moment ini di saat terakhir kami #SM3T Universitas Negeri Semarang (UNNES) angkatan IV akan pulang.
Bersama dengan LPTK Universitas Negeri Malang, kami menjadi satu keluarga, bersama mengabdi.
Kami mengabdi, kami berjuang, dan kami pulang membawa setumpuk kenangan.
Di Manggarai ini, kota Ruteng menjadi kenangan.
Di sini, dimana orang asing jadi keluarga, minoritas jadi pengukuhan jati diri, keterbatasan jadi kebersyukuran.




Haii haii haii... kalian akan tahu, sihir apa yang dipunya Manggarai. Ke sini, datang dan rasakan... Keindahan alam yang tiada henti mencurahkan sumber daya yang berlimpah. Keragaman budaya yang tiada lelah memaku kalian, dan tiada henti berdecak kagum.

"Sihir" yang akan terus mengusik kalian untuk datang ke sana lagi.
Hmm... suatu saat nanti mungkin aku akan kembali, ke sana!
Ya, semoga alamnya masih tetap indah, keramahan penduduknya tak pernah berubah. Karena itu yang kurindukan, kita semua rindukan, para pejuang #SM3T penempatan Manggarai.

Rindu anak didik kami, mutiara hitamku~~~

~Paka, Manggarai, NTT ~

04:00 I Find You, Cloud!


Setelah 21 tahun usia terlewati, sendiri adalah masa terindah. Banyak teman yang sudah memiliki pendamping, entah itu pacar, tunangan, bahkan ada yang sudah menikah. Kesendirian yang indah namun tak Nara harapkan akan berlangsung lebih lama lagi. Dan sekarang, Nara jalani dengan terus berharap menemukan dia yang pertama dan terakhir.
            Nara dan Chika, sahabat yang sedang mengukir mimpi ini mengharapkan adanya keajaiban cinta. Ya, bukan mencari tapi yang jelas mereka menunggu. Tak terlalu banyak berharap namun usia menyadarkan. Kire lebih dulu meninggalkan masa lajangnya. Menikah usia muda, kuliah sambil mengurus rumah tangga. Tak disangka akan secepat itu. Si gendut cantik, jalan hidupnya indah walau dalam paksaan. Semakin Nara mengingatnya semakin tak yakin sahabatnya yang merasa rendah diri itu justru mendapatkan cintanya lebih dulu, beruntungnya dia.
            Meskipun telah menjadi Ny. Rengga, Kire sering melewatkan malam minggu bersama sahabatnya. Rengga memakluminya, menemani jomblo-jomblo pesimis katanya.
“Cowok mubadzir itu cowok ganteng yang nggak punya pacar.”
“Bisa aja kamu Ka,” Nara tertawa geli.
“Berarti cewek mubadzir, cewek cantik yang nggak punya pacar. Apalagi yang sampai sekarang nggak pernah yang namanya pacaran.”
“Lu ngledek gue Re,” melirik Kire.
“Ya nggak apa-apa Ra, dapat cantiknya kan,” Chika tertawa puas.
“Iya, tetap saja kesimpulannya cantik-cantik kok gak laku-laku!”
“Kamu yang bilang sendiri lho Ra. Nyadar juga!” Kire terbahak-bahak berdiri di hadapan Nara.
Mereka memang gemar menghina satu sama lain. Mereka tumbuh pada cinta dalam kehinaan. Manusia yang penuh dengan hina, bersama-sama selama tiga tahun, bergelut dengan kehidupan kampus.
            Nara sadar, selama ini hanya dekat dengan Rengga dan Eky. Tak pernah dekat dengan siapa pun selain mereka berdua apalagi mempunyai kekasih. Walaupun hanya sekali, paling tidak Chika sudah pernah yang namanya punya pacar. Dan Nara, cukup bangga dengan perasaannya pada Awan. Lelaki yang berhasil mencuri hati Nara. Dalam diam, Nara mencari kepastian perasaannya.
            Awan, wajahnya tak bisa hilang sejak pertama bertemu. Di taman tempat pembekalan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Seperti awan, dia menenangkan dan senyumnya lembut. Dia istimewa, kebaikannya tercermin dari wajahnya. Nara semakin tambah dekat dengan Awan setelah melalui perjalanan panjang 90 km menuju desa tempat KKN mereka. Melaju dengan motor Awan, dia tampak mengesankan menggunakan kacamata hitamnya.
“Berdoa dulu Ra,” kata-kata yang meluncur sebelum perjalanan itu dimulai.
            Nara berdiri di trotoar jalan raya. Melihat kendaraan melintas dengan kencangnya siang itu. Nara menanti Awan yang sedang membeli snack dan minuman di toko ujung jalan. Segera mengabaikan kebisingan yang melintas. Bersandar di motor Awan. Saat itu Nara mulai menyadari babak baru dalam hidupnya. Meninggalkan perkara cinta lalu.
“Ra?!” Awan menghardik dari belakang. Nara masih saja melamun.
“Nara?!” kata Awan, tersenyum.
            Senyum Awan membuat Nara menyadari yang lalu memang perlu diganti dengan yang baru. Dengan harapan Nara akan menemukan sosok yang lebih berarti pada belahan waktu ini. Awan menyela ditengah lamunan Nara yang senyum-senyum sendiri. Perjalanan dilanjutkan, sudah lebih jauh dari tempat memulai. Tak ada waktu untuk menengok belakang. Yang di belakang, biarkan berlalu tanpa perlu menghapusnya.
***

            Belum sehari berada di desa Kuning, Nara sudah dibuat kebingungan tak menentu. Canggung, tak pernah bisa menatap wajah Awan. Matanya. Nara paling tak bisa menatap mata orang yang dia suka. Perasaan Nara datang terlalu cepat, instan. Tak bisa dipungkiri, selalu ada senyum setiap Nara mengingatnya. Namun Nara selalu takut jika cintanya hanya sepihak.
            Sifat Nara yang pendiam namun jika mood-nya sedang sangat baik, tak bisa berhenti untuk terus berceloteh. Mempunyai dua kepribadian yang berbeda. Nara mulai menjadi pendiam dan pemalu sejak bertemu Awan. Dia berbeda saat pertama kali Nara berkenalan padanya. Lelaki berkumis jarang, nampak begitu dewasa, manis, namun sangat cuek ini begitu mengesankan. Perlahan awan yang menggumpal terurai lembut. Siang hari, Nara begitu menikmati teriknya matahari. Berjalan menyusuri sawah hijau.
“Dalam diam ini, aku hanya berharap bisa mengenalnya lebih dekat,” gumam Nara.
            Ayunan langkah semakin cepat. Ingin sekali berbincang dengan Awan, namun Nara tak pernah bisa menghilangkan kegugupannya. Sama-sama pendiam dan Awan terlalu cuek. Nara dan Awan tak pernah bisa bercakap-cakap lama, dan kemungkinan untuk dekat sepertinya sulit.
            Harus ada pihak ketiga dalam hubungan mereka ─ mak comblang. Teman-teman yang menyatukan kedekatan mereka. Setidaknya, Nara dan Awan lebih mempunyai banyak waktu untuk bersama karena mereka. Entah apa perasaan Awan, Nara tak berharap banyak.
“Satu, dua, tiga...” menghitung bagaimana Nara bisa keluar dari bisu. Tak sepatah kata bisa keluar. Selama dua jam Nara harus piket bersama Awan, dan tak mungkin terus-menerus berdiam diri. Akhirnya Awan memulai percakapan.
“Ra, gimana persentasinya? Ada yang kurang?”
“Iya nih, buat penyuluhan kesehatan di balai desa masih kurang jelas. Bahan persentasi yang kemarin mana ya?”
            Terlalu formal. Nara canggung, tak mengerti, bicara saja keringat menetes tak terseka. Nara memang tak pernah bisa mengendalikan perasaannya, sangat ekspresif. Orang lain akan cepat mengerti hanya dari sikapnya. Teman-teman yang lain ingin membantu, namun justru membuat Awan enggan dekat, malu. Takut jika yang lain menyindirnya.
“Dengan semua perasaan singkat yang terpendam, ah aku ingin sekali melupakannya!” Nara pergi ke kamarnya, dia tak ingin Awan melihatnya gugup dan salah tingkah lebih lama lagi.
***

Senja mengubur segala lelah dari aktivitas di balai desa. Mulai menyemai semangat baru untuk nanti malam. Pertunjukkan wayang, baru kali ini Nara menonton wayang secara langsung sekaligus jadi panitia penyelenggara. Nara menikmati saat-saat bersama keluarga barunya kecuali perasaannya.
“Ah, sudahlah. Aku menyerah Nda.” Nara bersandar di bahu Anda.
“Sabar ya Ra. Aku kenalin sama cowok lain mau?”
“Apaan sih Nda? Nggak ngaruh juga buat nglupain Awan.”
“Terus kamu mau dicuekin gini tiap hari??”
            Nara berusaha menutupi perasaannya. Namun tak pernah bisa disembunyikan dari teman-teman yang lain. Sikap Nara yang tak dewasa dan kadang berlebihan membuat mereka sering mengejeknya. Dan Nara mulai tak nyaman jika ternyata tak ada sambutan berarti dari Awan. Jika ada, pasti paksaan dari teman-teman. Anda, dia teman curhat Nara yang baru. Teman sekamar, berbagi kasur bersama, berbagi keringat bersama. Dia terbaik setelah Kire dan Chika.
“Begini banget ya nasib gue... Malu tau gak sih Nda!!”
“Udah lah dilupain aja. Nggak penting Ra! Kamu itu cantik, nggak nyadar juga?!”
“Lah apa hubungannya sama Awan?” Nara mengerti jika Anda mengkhawatirkannya, jangan sampai patah hati.
Perasaan yang tak terwadahi karena belum ada cawan yang menampungnya. Memang belum saatnya. Perbincangan di sela pertunjukkan. Walau lelah, mata selalu menatap panggung, menyaksikan wayang di tengah kerumunan warga.
            Tengah malam lewat, mereka memutuskan untuk pulang ke posko. Jalanan masih ramai. Hanya hati Nara yang sepi. Banyak hal yang dipikirkan Nara, terutama keadaan ayahnya yang sedang sakit. Seminggu sekali Nara menyempatkan untuk pulang ke rumah. Perjalanan selama tiga jam naik bus dan langsung menuju rumah sakit untuk menjaga ayahnya. Nara menjalani apa yang seharusnya dijalani, tak banyak mengeluh. Hanya terkadang, dia selalu menyendiri jika teman-teman yang lain sedang berkumpul.
***

            Hari-hari di posko hanya bersama Awan. Tiap perjalanan jadi selalu bersamanya, itu karena teman-teman. Anda dan teman-teman yang lain selalu saja tak kehabisan akal untuk membuat Nara semakin dekat dengan Awan.
            Rapat malam hari, hanya ada rasa malu menatap wajah Awan. Nara menjalani hari-hari dengan perasaan yang tak mampu dipendamnya, terlihat dari wajahnya yang selalu memerah. Setelah rapat harus menyelesaikan tugas untuk program sekolah Paud di sana. Hiasan dibuat untuk media belajar di kelas nantinya. Kupu-kupu, awan, bunga, bintang-bintang, semua hiasan terurai panjang menggantung. Seperti perasaan Nara, yang menggantung tanpa kejelasan.
            Nara tak bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa menuruti rasa malu yang dia rasakan. Nara lebih sering berada di kamar, tiba-tiba mengendap-endap keluar, sesekali mencuri pandang ketika Awan lewat. Nara sungguh menikmati perasaan itu. Yang tak dia sadari justru menyeretnya lebih dalam pada perasaan yang tak seharusnya ada.
            Malam itu, Awan pamit untuk pergi. Namun diam-diam dia memberi pesan singkat untuk Nara. Itu karena tadi dia melihat Nara senyum-senyum sendirian melihat Awan.
‘Belum tidur Ra?’
‘Belum, belum ngantuk.’ Jawab Nara singkat.
‘Sini kumpul sama teman-teman. Siap-siap, nanti kan kita mau ngasih kejutan buat Ofa.’

            Lewat jam 12 malam nanti, Ofa teman sekamar Nara akan berulang tahun. Semua sudah dipersiapkan matang-matang. Nara sangat senang berbalas pesan dengan Awan. Ada harapan untuk cinta Nara kali ini. Tak lama, Nara tertidur pulas. Sms terakhir Awan yang membangunkannya tidur pun tak sempat dibaca.
            Memasuki kamar, mereka sudah kumpul bersama di dalam kamar Nara, Anda, dan Ofa. Nyala lilin berpijar di kegelapan. Lagu wajib saat ulang tahun dikumandangkan. Sebelum meniup lilin, Ofa mengucapkan doa, membuat permintaan di hari bahagianya. Make a wish. Entah apa doanya, mereka hanya mengamininya. Lilin yang meleleh segera padam.
            Sepuluh mahasiswa KKN, tengah malam berbuat keributan di posko. Malam itu, timpukan kue tart melayang dan mendarat ke tubuh Ofa.
“Selamat ya Ofa!” satu persatu memberikan selamat.
“Ayo makan!” teriak Anda, menyerbu kue tart yang masih tersisa.
Gemuruh suara kaki, mereka berlarian takut terkena sasaran kue. Suara tawa yang menghentakkan kesunyian malam. Suara jangkrik meredup, kalah saing dengan suara gaduh mereka. Satu jam berlalu merayakan ulang tahun Ofa. Setelah bersih-bersih badan karena kotor, mereka melanjutkan tidur.
            Menjelang pagi, hanya tidur tiga jam. Setelah tadi malam terjadi kegaduhan di rumah bapak lurah. Nara bangun jam empat pagi, sudah menjadi kebiasaan. Dia tak pernah melewatkan malam yang akan pamit digantikan mentari. Timpukan kue tart berceceran di lantai. Nara membersihkan kotoran sisa tadi malam, menyapu dan mengepel lantai bersama Anda.
            Diam-diam, Nara melihat Awan tertidur pulas di karpet. Tak tega membangunkannya. Mengepel, sesekali mencuri pandang menatap Awan yang terbalut selimut tebal. Walau hanya melihatnya, hati Nara bergetar dibuatnya. Apalagi jika harus bertatapan dan bicara pada Awan. Ini cinta pertama Nara ─ cinta sebenar-benarnya. Baginya ini begitu menegangkan dan luar biasa.
            Kian hari, Nara semakin kagum dengan kepribadian Awan. Dia baik, ibadahnya selalu dijaga, pintar, pantas dia menjadi koordinator  KKN desa Kuning ini. Terlengkapi sudah cerita cinta dengan kekaguman yang dirasakan Nara.
***

             Hari ini peringatan tahun baru Islam. Akan ada pawai peringatan 1 Sura di lapangan desa Kuning. Anak-anak kecil berpartisipasi, mengarak spanduk diiringi musik drum band sepanjang jalan desa Kuning. Melihat Awan dari kejauhan.
“Mungkin dia sama saja dengan yang lain. Namun perasaan ini yang membuat dia sangat istimewa di mataku.”
“Ra, jangan melamun!”
“Enggak kok Nda,” Nara kaget, “Itu panitia nyuruh kamu jaga posko!”
             Pawai dimulai, Anda dan teman-teman lain harus membantu mengamankan jalan. Hanya Nara yang tinggal di posko. Menunggu acara khitanan massal. Rangkaian acara peringatan tahun baru Islam di sini. Meriah dan menyenangkan.
            Mayoret memimpin penampilan tiap grup perwakilan sekolah. Bunyi genderang drum menambah semangat pagi hari yang panas, mentari dengan teriknya menyinari. Belyra yang memberi keharmonisan melodi menyemai semangat dari anak-anak yang melambai-lambaikan bendera warna-warni, begitu semarak.
            Lelah hilang, terkesima menyaksikan anak-anak yang antusias memeriahkan acara. Sejenak menyingkirkan perasaannya pada Awan. Tak mau terlihat gerogi di samping Awan. Duduk bersebelahan, Anda sengaja mengabadikan kedekatan mereka. Nara tampak malu-malu. Tak bisa disembunyikan betapa bahagianya dia, sesekali memandangi foto hasil jepretan Anda. Senyum Nara semakin mengembang.
            Siang hari, periksa dan konsultasi kesehatan gratis. Para warga berdatangan ke tengah lapangan, terutama para lansia. Mereka saling membantu mengarahkan bapak-bapak dan ibu-ibu yang tengah mengantri untuk pengobatan gratis.
“Awan tak terlihat di sini...” batin Nara
“Aku tahu dari tadi clingukan nyari Awan ya?!” Anda meledek.
“Enggak kok Nda.”
“Iya juga nggak apa-apa kok. Hehe. Dia di tempat khitanan massal Ra. Kamu mau ke sana?”
“Enggak ah Ra, di sini aja...” Nara tersenyum.
            Hari semakin sore, semakin rame. Warga berdatangan, terlihat betapa pedulinya mereka akan kesehatan. Jauh-jauh datang untuk periksa dan mengikuti penyuluhan yang diberikan setelah pemeriksaan selesai dilakukan. Pengobatan dan konsultasi gratis ini sangat membantu warga di desa Kuning, terutama untuk para lansia.
            Panas mulai surut. Nara dan teman-temannya segera kembali ke posko. Berjejeran di depan TV. Mereka nampak kelelahan namun masih jelas raut riang yang terpancar. Berebutan makanan ringan. Nara mundur perlahan, membayangkan seakan semua mimpi.
“Punya keluarga seperti ini. Seru!”
Mengesankan bisa tinggal serumah dengan konflik yang justru membuat mereka semakin kompak. Air mata menetes, Nara mulai belajar menghargai waktu. Yang ada di depan, harusnya dijalankan sepenuh hati. Karena waktu tak akan terulang lagi.
***

            Sebentar lagi akan berpisah, ya dua minggu lagi. Tak terbayangkan jika harus merubah kebiasaan. Biasa serumah, tinggal bersama, berbagi cerita. Dalam sekejap, teman-teman ini menjadi begitu berarti. Ikatan yang instan namun mendalam.
“Dan ini keluargaku, keluarga ‘Kolor Merah’....” tak hentinya senyum merekah jika Nara mengingat mereka. Kolor merah. Mahasiswa yang masih butuh suntikan dana ini hanya mampu membeli kolor merah sebagai seragam tanda kekompakan. Kolor seharga sepuluh ribu seadanya dibeli di pasar, menjadi seragam kebanggaan keluarga ini.
“Nggak nyangka udah separuh perjalanan ya! Sebentar lagi semua akan sendiri-sendiri,” kata Ofa dalam.
“Iya ya...” Nara termangu memandang keluar jendela kamar.
Sedih pasti, namun Nara juga bahagia karena bisa jauh dari Awan.
            Saat ini, untuk Nara, lebih realistis untuk pergi saja. Keadaan ayah lebih penting. Nara mendapat kabar dari ibunya, ayahnya sakit. Nara pamit sejenak, melambaikan tangan perpisahan. Meski sementara, Nara bisa membayangkan saat perpisahan nanti pasti akan menyedihkan.
            Nara harus pulang menunggu ayahnya yang sedang terbaring di rumah sakit. Untuk tiga hari ke depan Nara tak bisa melihat Awan yang selalu membuatnya tersipu malu. Meski jauh, Nara selalu mengantongi senyum Awan di hatinya.
“Walaupun jauh, senyum malu ini selalu saja menghiasi rautku.”
***

            “Ayah harus sembuh. Besok pagi aku pulang ke tempat KKN.” Ayah Nara hanya bisa merasakan sakit yang diderita lambungnya. Tanpa banyak bertanya, Nara duduk di sofa depan, air mata menetes. Tanpa harus menyekanya, air mata mengering dalam tidurnya.
            Daun merendah tak mampu menyangga tetesan gerimis pagi. Ujung daun seolah yang menjadikan sumber tetesan air dari langit mendung yang mencurahkan hujan kecil tak merata. Tetesan yang tak tersampaikan langsung ke daratan, sejenak tertahan di dahan. Mungkin juga akan mengering sebelum sampai ke permukaan tanah. Perasaan yang tak tersampaikan, menguap. Yang sudah-sudah memang berakhir demikian.
“Kisah ini, semoga akan sampai kepada pemiliknya,” gumam Nara.
            Mengenal Awan, sosok pendiam, tak banyak tingkah. Sekiranya pandangan pertama cukup mengesankan kebaikan Awan. Baru kali ini Nara merasakan ada yang berbeda. Getaran perasaan yang sejak awal bertemu, tanpa permisi langsung membuat hati Nara luluh lantak. Entah apa yang membuat Nara yakin pada perasaannya.
            Tak mengerti perjalanan hati, yang terjadi ke depan. Sejenak prinsip terabaikan. Sering kali mendapatkan kesempatan untuk berdua, namun tak pernah bisa menyatukan. Antara kesempatan dan prinsip yang telah berikrar di masa lalu yang membuat Nara ragu. Nara memendam, dan selalu menyesal tiap waktunya.
***

            Minggu pagi, keluarga ‘Kolor Merah’ akan memulai aktivitasnya di pantai. Melepas penat setelah berbagai kesibukan menjadi agenda rutin. Satu jam bersama perjalanan ke pantai. Nara masih tak bisa melepas canggungnya. Satu jam bersama dalam diam.
            Sesampainya di pantai. Nara tak mau membiarkan diri hanya memandangi indahnya. Menikmati keindahan pantai diiringi sunrise yang melelehkan gundah. Mentari bersinar terang membangkitkan harapan. Menginjakkan kaki di pasir pantai. Rela terbawa ombak yang memanggil. Menapaki pinggir pantai yang membekas tapak kaki teman-teman yang lain bersama kolor merahnya. Mereka nampak kompak dengan warna merah.
            Menenggelamkan diri di lautan garam yang mencairkan kebekuan sayup angin. Tangan usil mereka melempar pasir yang mereka raup bersama gulungan ombak. Teriakan histeris mencuat bersama deru ombak. Senyum Nara lepas, tangisannya terbawa asinnya laut. Kesedihannya berkurang karena sejak tadi  memikirkan ayahnya.
“Ra ayo! Kita main bola,” teriak Anda. Dua tim saling berebut bola. Bola melayang melawan angin, disambut tangkapan dari teman satu tim. Lemparan demi lemparan hingga ditangkap oleh pemain terakhir di ujung sebagai base kemenangan.
“Gooolll!!!” teriak mereka. Bersaut-sautan, saling bergantian memasukkan bola.
            Matahari semakin naik, menyilaukan mata. Terhenti dan lebih tenang menikmati ombak. Nara bersandar pada pijakan tangan di pasir pantai.
“Kamu awan... Apa aku hanya bsa memandangmu dari bawah sini?! Kamu akan mengiringi perjalanan ini di atas sana, di birunya langit. Aku cukup melihatmu dengan senyuman.” Mata Nara menyipit, melihat langit berpendar cahaya mentari.
“Ra, ayo mandi, ganti baju!” teriak Anda yang sudah beranjak dari bibir pantai.
“Iya, tunggu Nda,” sahut Nara.
            Menikmati setiap tawa yang berubah jadi tangis. Betapa bahagianya Nara sampai matanya berkaca-kaca. Tetesan itu tak berarti apa-apa. Menyatu dengan lautan, hanya nampak keindahan menenggelamkannya. Lebih banyak kebahagiaan yang bisa dirasakan. Lautan ini umpama bahagia yang tak akan ada habisnya.
***

            Makan pagi kali ini menunya cumi-cumi. Nara paling suka dengan si tinta hitam ini. Nara segera mengambil piring, nasi menggunung, dan kuah hitam yang sangat banyak. Dengan lahap ia makan. Nara harus sehat, teringat pesan bundanya. Jauh dari rumah, Nara tak ingin jika kembali nanti tubuhnya jadi kurus. Tak lama kemudian Awan datang, menuju tempat makan. Satu hal yang baru Nara tahu tentang Awan. Dia tak menyukai wortel.
“Pantas saja, dia selalu memilah-milah sayur jika yang dimasak ada wortelnya,” gumam Nara. Meneguk segelas air putih, Awan tersenyum melihat Nara yang dari tadi memperhatikannya.
            Hari ini mereka harus berpanas-panasan. Melakukan penanaman pohon di sekitar desa. Berjalan menyusuri jalan membawa bibit pohon yang akan ditanam. Betapa canggungnya Nara berjalan bersama Awan. Menutup lubang tanah yang telah diisi bibit, kemudian Nara yang menyiram air.
“Semoga pohon ini bisa tumbuh besar, meski nanti kita tinggal pergi,” Awan tersenyum. Senyumnya manis, membuat Nara tak hentinya berdecak kagum.
            Perpisahan KKN, jalan sehat bersama warga desa. Mereka berjalan penuh riang. Meski mereka tahu, di depan nanti hanya ada perpisahan.
 “Kenangan yang mungkin akan terhapus waktu. Biarlah, setidaknya kita pernah merasakannya. Merasakan kebersamaan ini, perasaan ‘lara-lapa’ yang dilalui walau dalam waktu singkat.”
            Kita pernah bersama. Sedalam apa pun kita mengukir kebersamaan, mungkin kita akan sama-sama lupa. Tapi, setidaknya kita pernah mengingat ini ─ bersama.
            Banyak pelajaran yang Nara dapat. Cara Nara menghargai waktu, menghargai orang lain, belajar banyak tentang arti kehidupan. Setelah ini, tak ada yang tahu ke depan akan seperti apa.
“Kita akan jalan masing-masing. Dan tak tahu jalan cerita cinta ini akan seperti apa. Cerita ini mungkin hanya akan ada sampai perpisahan nanti.”
Nara mulai berkemas-kemas, satu persatu baju pindah dari lemari ke tas.
***

            Malam hari, malam terakhir mereka bersama. Menikmati saat-saat terakhir di desa Kuning. Permainan terakhir sebelum semuanya berakhir. Dan terakhir kalinya memakai kolor warna merah bersama-sama. Mereka akan segera ditarik dari tempat KKN mereka. Bermain kartu sampai lelap. Nara selalu saja kalah. Dia harus mengenakan helm cakil warna hitam.
“Benar-benar sumpek pakai helm ini Nda!” Anda tertawa puas melihat Nara berkacamata hitam besar, dan memakai helm cakil apek. Hukuman bagi yang kalah.
            Walaupun sudah larut malam, permainan dilanjutkan lagi. Nara tetap saja menjadi sasaran kemalangan. Truth or Dare, gara-gara permainan ini Nara harus jujur dengan perasaannya. Botol diputar dan berhenti tepat ke arah Nara. Dua kali pada awal permainan, botol itu selalu mengarah ke Nara. Rencana yang tak dia mengerti, membuat semuanya terungkap.
            Nara memilih untuk jujur, truth. Harus jujur! Sangat berat untuk mengatakannya. Saatnya jujur mengenai perasaan Nara. Teman-teman Nara sengaja memberikan pertanyaan yang mereka sendiri sudah tahu jawabannya.
“Nara... apa sekarang kamu sedang jatuh cinta?! Kalau iya, sama siapa?!”
“Harus jujur lho?!” Nara hanya bisa meringis.
Malu-malu dia menjawab, “Iyaa...”
“Siapa-siapa?! Ehm, insial aja deh!” Mereka tampak antusias, padahal mereka sendiri sudah tahu jawabannya.
“Nara, Nara... ini kesempatan buat kamu, waktunya kamu jujur. Daripada nanti pisah, nyesel lho!” Ofa berbisik. Dan yang lainnya, mengiyakan.
“Harus jujur ya?!”
“Iya dong!!”
“Nggak jujur sakit perut, mencret lho!!” begitu ancaman mereka.
            Perlu waktu lama untuk menjawab. Nara enggan memberikan jawaban. Awan hanya senyum-senyum di balik keributan teman-teman. Dia tahu, namun dia hanya diam. Bagaimana dia tak tahu, dari sikap Nara saja sudah menunjukkan Nara menyukainya. Lebih-lebih saat ditanya, Nara berat untuk mengatakan. Beruntung teman-teman yang lain membantunya. Mereka tahu, Nara sudah kebingungan dengan jawabannya.
“Owh, iya tahu... Yok lanjut!!” Padahal tak sepatah kata pun diucapkan Nara mengenai inisial cowok itu. Namun mereka kompak untuk menutupinya. Mereka kasihan melihat Nara yang sangat malu, wajahnya memerah.

            Awan yang tahu perasaan Nara, hanya bisa diam.
“Malu tahu nggak sih Nda!” kata Nara sambil menuju kamar.
Sudah larut begini, mereka bersiap-siap untuk tidur bersama di ruang TV. Awan sudah dari tadi pergi menyusul Rino piket malam di kecamatan.
“Dia pasti tahu siapa yang dimaksud!” kata Nara sambil manyun.
“Dia kan belum tahu pasti. Mungkin hanya menebak-nebak saja. Santai Ra...” Anda tersenyum.
Nara gelisah. Dia segera tertidur pulas, menghilangkan rasa malu sejak permainan tadi.
            Semenjak permainan tadi malam, Awan berubah. Dia menjadi lebih ramah pada Nara. Karena ini terakhir kalinya. Nara harus pulang naik motor dengan Awan, sementara yang lain naik mobil.
“Ini perjalanan terakhir.” Nara menatap kosong.
            Perjalanan pulang, jarak 90 kilometer yang mengulur waktu untuk berpisah. Nara dan Awan sudah lebih akrab. Awan menyadari perasaan Nara padanya. Betapa malunya jika perempuan yang mulai menunjukkan perasaannya lebih dulu. Awan menunjukkan kepeduliannya. Entahlah... Perjalanan cinta ini baru dimulai atau akan berakhir setelah perjalanan selama tiga jam nanti.
I Find you Cloud! Pada perjalanan waktu, di sini ─ di hati ini...”

Friday, September 25, 2015

Aku Ce'e Ho'o Latang Meu, Murid Daku


Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh, tidak kan hilang dari kalbu
Tanahku yang kucintai engkau kuhargai...

            Bait demi bait lagu yang dilantunkan pada hari Sumpah Pemuda itu. Siang menjelang sore, les sore kami menyebutnya. Lantunan lagu Tanah Airku, menjadi semangat sore itu.
“Mengapa terlambat?”
“Ibu, sungai di belakang sekolah meluap ibu. Sa tidak bisa lewat,”
            Bagaimana kawan, pendidikan yang tak sembarang orang bisa menikmatinya. Saya bilang ini nikmat, ditempa oleh alam yang tak jarang lebih kejam dari melimpahnya fasilitas dan penunjang yang cukup modern.
            Jakarta, hanya sedikit yang mengetahui ibukota Indonesia ini. Saling tunjuk di mana Indonesia berada, pada globe yang diputar-putar. Di mana Flores tempat mereka tinggal, mereka masih kebingungan mencari.
“Di mana ada kami, di situ kita tinggal ibu. Lalu mengapa susah-susah mencarinya,” kata mereka sambil merenges.

03:00 Waktu itu ...


Yang teristimewa kadang berseberangan.
Kau akan seperti mentari yang menghangatkan di ujung kutub.
Kau akan seperti hujan yang menyejukkan di hamparan padang gersang.

            Rengga hadir untuk itu, alasan persahabatan ini ada. Dia ada ketika orang lain tak ada. Dia hadir ketika orang lain tak peduli. Tempat berbagi hanya Rengga, sahabat laki-laki Nara yang dengan tulus ada di sampingnya. Setidaknya sampai Rengga harus memutuskan untuk pergi meninggalkan Nara.
Nara mulai menerima dan membuka hatinya untuk Rengga. Nara mengikuti saran Kire untuk membuka perasaan lain, selain persahabatan yang dia punya untuk Rengga. Namun Rengga justru memilih untuk menyudahi semuanya. Sebelum keputusan Nara sempat dijalani, Rengga tak menyertakan Nara dalam pilihannya.
“Dia memilih untuk meninggalkanku, Re! Terlambat, semuanya terlambat. Semua saran darimu tak berarti apa pun,” Nara tertunduk lesu.

02:00 Singgah, Sebentar, Sementara


Ini mengenai rasa yang singgah. Dan yang perlu digaris bawahi, singgah itu hanya sebentar, sementara, tak untuk menetap. Nomaden, tempat tinggal hati bagi yang masih mencari. Hanya singgah, berpindah-pindah sampai menemukan tempat untuk menetap.
Kisah ini belum sempat singgah. Dia sudah jauh, tak tersentuh.
Pamit sebelum terusir, rasa ini tahu diri namun setelah ini ke mana lagi akan dibawa pergi? Pergi jauh, mungkin akan mengobati. Lari dari bayangannya maka kau tak akan mendapatkannya ─ di sini ─ di hatimu.
Tak ada yang bisa menggantikan persahabatan Nara dengan Rengga, namun Eky hadir menggantikan posisi kenyamanannya sebagai sahabat. Eky teman yang baik. Namun untuk persahabatan, Nara lebih menjaga jarak, tak mau menyakiti seperti dulu Nara menyakiti Rengga.
Nara selalu dibuat kebingungan mencari kejelekan Eky.
 “Dasar juragan liur!” kata Eky sambil menjulurkan lidahnya. Nara bingung ingin membalasnya. Terlalu mengada-ada jika tak ada kejelekan yang bisa mempermalukan Eky.
“Apaan?! Huh, dasar ...” Andai saja bisa mempermalukannya. Eky terlalu bersih dari kenakalan sebagai seorang lelaki.
“Apa?? Lanjutin dong!” tindas Eky sambil menunjuk-nunjuk sudut bibirnya. Eky mendapati Nara yang ngiler, ketiduran waktu mengerjakan tugas. Itu mengapa Eky selalu menindas Nara dengan air liurnya yang meluber.
Nara merasa sangat cocok walaupun sering ditindas sahabat barunya itu. Mengenai hobinya yang sama, menulis. Hanya saja, Eky menulis ceritanya melalui gambar. Ya, Eky paling suka bercerita melalui gambar. Dan Nara lebih suka menulis cerita pada diary-nya.
Suatu saat Nara pernah menceritakan impiannya untuk belajar ke negeri menara Eiffel. Nara sangat ingin ke sana dan menjelajah Eropa. Eky yang membuat impian itu terus menyala tiap harinya. Melihat lukisan menara Eiffel yang indah dan megah di kamarnya. Membuat Nara terus memelihara keinginannya. Walau hanya bisa membayangkannya, impian itu dibiarkan hidup bersama lukisan buatan Eky.
***

Nara tak sendiri, dalam persinggahan cinta dua sahabat ini dia bersama Kiky. Entah kapan, diinginkan atau tidak, perjalanan cinta ini menjadi rumit. Jalan yang harusnya bisa dilewati dua orang, kini harus dilalui bertiga. Karena mulai saat itu mulai timbul konflik kecemburuan dari Kiky. Seakan tak mau tahu alasannya ─ Nara dan Eky hanya bersahabat. Mau tak mau, salah satu dari Nara, Kiky, atau bahkan Eky harus pergi. Membentuk jalan sendiri, merelakan untuk pergi.
Kiky, dia telah satu langkah bahkan lebih di depan Nara. Dia menunjukkan bahwa dia tak hanya mengungguli Nara, dia juga menunjukkan kepercayaan diri yang tak Nara punya. Orang seperti Kiky seperti angka-angka jam yang telah berada pada keyakinannya dan hanya menunggu jarum jam menghampiri. Sedangkan Nara, masih terus berputar mencari-cari angka yang selanjutnya ada di hadapannya. Kiky menganggap Nara saingannya. Nara hanya bisa menjalani tanpa bisa menjelaskan. Bagi orang yang sedang jatuh cinta seperti Kiky, tak akan berarti penjelasan apa pun ─ buta karena cinta.
***

            Nara dan Kiky, mereka memulai pada tempat yang sama dan waktu yang sama.     Cinta segitiga yang sebegitunya membuat Kiky menjaga jarak dengan Nara. Walaupun Kiky tahu Nara dan Eky hanya bersahabat.
            Nara menganggap Eky hanya sebagai sahabat. Berbeda dengan Eky yang menyukai Nara. Sahabat yang dijadikannya kedok untuk pendekatan. Semua aktivitas Nara di kampus, bisa jadi bahan untuk pendekatan Eky. Mulai dari meminjam tugas kuliah, meminjam catatan, sampai meminta Nara mengajarinya materi kuliah yang kurang dimengerti. Kire paling peka masalah pendekatan yang dilakukan Eky. Chika apalagi, walaupun terlambat menyadari. Chika sering berbagi informasi pada Eky tentang Nara. Namun Chika baru menyampaikannya saat semua menjadi rumit karena Kiky.
            Nara masih belum bisa menunjukkan kepastiannya. Teringat perkataan Kire, “Sebenarnya sinyal-sinyal cinta dari Eky telah ada sejak dulu, namun aku masih belum yakin,” Nara tak menyadari ada yang menunggunya. Cara Eky untuk mendekati Nara, menjadi sahabatnya.
“Ah, tak penting. Yang jelas aku hanya bersahabat dengan Eky, kita lihat nanti. Mungkin akan sama seperti Rengga, cinta itu tak bisa singgah walau sebentar,” gumam Nara yang sedang menyangga kepalanya di meja kelas.
            Nara masih takut untuk memulai. Dan dia terlambat menyadari bahwa cinta itu tak bisa menunggu. Padahal, yang bisa dilakukan seorang perempuan untuk cintanya adalah menunggu. Usahanya hanya menunggu, menunggu kepastian dari orang yang ditunggu.
            Eky menanti sambutan dari Nara, lebih dari sekadar teman. Perlahan cinta yang serba tak pasti ini akan hilang karena waktu. Eky memutuskan untuk mencari kepastian lain. Dan kepastian itu datang dari Kiky. Secepat itu cinta pergi karena ada cinta yang lain. Kiky, akhirnya dia yang cepat sampai di perjalanan cinta ini.
            “Kamu pergi saja,” begitu kata Nara, “Tak usah lagi hiraukan aku.” Kepedulian Eky justru akan menambah rasa sakit Nara. Karena Kiky akan bertambah rewel jika Eky tetap dekat dengannya.
Sungguh ini biasa saja bagiku, tak begitu menyentuh. Masih terkendalikan, walaupun menyesakkan.
Kita hanya teman,
Bicara seperlunya, bertemu seadanya, bertatap tanpa makna.
Tersenyum dan berayun langkah, kemudian berlalu.
Berbeda rasa,
Kita tak pernah saling memberikan makna.
Kadang hanya mengingatkan, tak untuk saling mengisi.
Sejenak dan terhenti pada wajah samar ditelan waktu.
Sebatas itu...
***

            Nara tak ambil pusing. Semua dijalani seolah tak memikirkan. Namun kehadiran Kiky, benar-benar membuat Nara serba salah. Berkutat dengan kecemburuan wanita. Tak disadari Nara, pikirannya tertarik pada masalah cinta Eky. Nara mulai peduli dengan semua yang dilakukan Eky. Semua karena Kiky, Nara lebih memilah-milah untuk dekat dengan Eky.
            Kepedulian yang membuat semuanya dihubung-hubungkan. Kiky tak akan cemburu berlebihan jika tak ada sebab. Belum jadi kekasih saja, kecemburuannya sangat menggangu.
“Jadi, cerita apa yang Eky gambar saat itu?”
Eky hanya menggambar pelangi yang datang di sela rintik hujan. Menerobos ke ingatan saat itu. Sewaktu Nara dan Eky ke sebuah danau di taman kampus. Melihat pelangi dari air danau. Nara masih juga tak mengerti. Perkataan Eky waktu itu, masih menimbulkan tanya di benaknya. Terlalu besar memberikan makna pada kata. Karena saat itu alam sedang menunjukkan keindahannya.
“Kamu tak mengerti, rinduku juga tertahan pada lengkungan di ujung sana,” ucap Eky. Nara mencoba mengingat semuanya, “Cinta yang ada walau samar tak ada kejelasan. Sekilas, namun memberi arti. Lalu kita terpisah direngkuh waktu yang tak kunjung menyatukan,” Sisa-sisa ingatan yang mencoba diusik Nara dari masa lalu.
“Apa ini maksudnya?! Aku tak kunjung menyadari cinta yang hadir. Aku terlalu sibuk menikmati cinta yang kupunya entah untuk siapa,” pikir Nara.
            Tak ada kepastian dalam hubungan ini. Sekarang atau juga nanti, hanya sebatas ini.
Rezky Pradana
               Dan aku tak ingin bertahan, dan meminta disanggupkan untuk bertahan. Aku ingin pergi.
               Letih jika harus menunggu kehadiranmu di waktu lain, hanya resah jika terus menunggumu.
               Walau begitu, tak semudah itu meniadakan cintamu.
           
            Pesan dari Eky yang membuat Nara semakin tak menentu.
“Lebih baik mencoba menerima atau tinggalkan! Ah, sepertinya aku terlalu banyak menyakiti perasaan sahabat sendiri!” Nara mencoba meredam konflik hati yang terjadi.
            Eky pergi. Seperti kepastian yang selalu diidam-idamkan para perempuan pada cintanya, disambut dengan lelaki yang mencoba dan memastikan kebahagiaannya pada perempuan yang mencintainya ─ pada Kiky. Perlahan cinta mereka tumbuh. Seiring dengan tumbuhnya perasaan di hati Nara, walau terlambat. Perasaan yang ada saat Eky telah pergi untuk orang lain.
            Melihat mereka, Nara sangat bahagia. Teman sendiri bisa menjadi sepasang kekasih. Namun sakit yang dirasakan Nara jauh lebih pasti.
“Apa ini cinta? Ah, pasti hanya bentuk penyesalan. Ada yang mencintaimu, dan kamu kehilangan cintanya. Sebatas itukah?!” Nara bertanya pada hatinya.
Sejauh ini hubungan mereka baik-baik saja. Berbalik dengan perasaan Nara.
“Mengapa cinta datang terlambat padaku?!”
“Hadir di saat semuanya pergi... Ya itu yang namanya tak jodoh Ra,” Chika mencoba memahami kisah mereka. Walaupun sama-sama tak pernah mengerti cinta. Dua sahabat ini hanya berusaha mengerti cinta yang samar-samar, antara iya dan tidak pernah dirasakan keduanya.
***

            Libur semester kali ini, teman-teman sekelas merencanakan pergi ke Jogja. Semua hadir dengan pasangan masing-masing. Bertemu dan dipisahkan, berjumpa lalu dijauhkan. Hanya masalah fisik yang tak bisa bertatap, namun hati tak pernah tahu. Mungkin dia masih ada di benakmu, walau telah pergi.
“Ya, bagi yang mengerti dan paham cinta, bertemu dan kehilangan sudah biasa terjadi,” Dan liburan kali ini menjadi tak biasa untuk Nara.
            Malam keakraban diadakan di kediaman sepupu Nara. Pukul 09.00, makrab dimulai. Dua setengah tahun sudah bersama, hanya ada tiga teman yang tak terpisahkan, tak terganti. Mereka sekelas menyebutnya gang ‘Joris’, jomblo miris.
“Tak ada sebutan yang lebih elegan apa?! Mereka ini!” Chika kesal melihat teman-teman yang lain tertawa terbahak-bahak.
“Apa kamu Re, kamu kan gak jomblo lagi!” timpal Chika.
“Buktikan saja ─ kalau kita jomblo berkualitas,” kata Nara meringis.
“Tetap gak enak kali Ra, JOMBLO!!” kata Chika mengeja huruf demi huruf yang teramat berat untuk disandangnya.
            Di tengah gelak tawa, Eky datang menghampiri, “Aku tak enak, kamu harus pisah dari Kiky.”
“Ah, nggak apa-apa. Bukan mau kita kan.” Eky berlalu.
“Pembagian kelompoknya gimana sih?! Mau tak mau...” kata Nara kesal.
            Agenda makrab kali ini, setiap kelompok yang sudah dibagi harus tampil untuk mengisi acara. Chika, Nara, dan Eky satu kelompok. Mereka memutuskan untuk membuat drama percintaan khas Indonesia.
“Ya terpaksa. Gak ada yang bisa nyanyi, main alat musik, mau apa lagi?!” kata Nara lemas.
Setelah seharian berlatih membaca naskah secara terpisah, pertunjukkan dimulai.
“Instan, latihan jarak jauh demi menjaga perasaan Kiky. Jadinya seperti apa nanti?!” gumam Nara.
“Sudah, ayo maju!” Chika mengangguk.
It’s show time beb,” Kire menyemangati Nara dan Chika yang akan tampil.
***

Nara    : “Aku bukan Roro Jonggrang, yang menolak cinta dengan membebanimu beribu syarat.”
Eky     : “Tapi aku Bandung Bondowoso, yang mau berkorban apa pun demi cinta. Apa pun yang kamu mau akan kukabulkan!”
Nara    : “Maaf, tapi kamu begitu angkuh. Kamu pikir, cinta bisa dibeli?! Aku tak punya perasaan apa pun padamu.”
Eky     : “Baiklah, aku tak akan mengemis cinta padamu. Kamu akan menyesalinya, karena telah menolakku! ─ Singkat cerita.
            Drama diakhiri dengan kepergian Eky. Tinggal Nara berdiri pada padang terbuka. Menjadi bagian langit, berdiri di kegelapan malam. Tak ada yang menjadi patung dalam drama itu. Hanya saja, Nara mematung tanpa kejelasan. Matanya beralih dari langit, menatap Kiky.
            Seketika, teman-teman yang lain memberikan tepuk tangan riuh. Nara hanya menatap ke satu arah. Kiky terlihat tak senang, memalingkan wajah ketika Nara melihatnya.
            Dingin, namun yang terasa hanya panas yang membuat gatal seluruh tubuh. Nara merasa tak nyaman dengan Kiky.
“Sungguh tak ada maksud untuk menyakitinya.” Nara tahu, Kiky sangat mencintai Eky. Tak pernah sedikit pun terbesit untuk memisahkan Kiky dari Eky.
            Nara memberanikan diri menemui Kiky.
“Aku ini siapa! Aku tak berarti apa-apa dibandingkan kamu Ky. Kamu cantik, pintar, baik, lembut. Kamu mencintai Eky dan sebaliknya, Eky mencintaimu. Pertahankan hubungan kalian,” Nara tersenyum. Ia tak bisa berkata apa-apa lagi.
            Ada hal yang tak pernah Nara ceritakan pada siapa pun. Tak ada yang tahu bahwa dia pernah mengalami hal buruk yang menyangkut aibnya. Pelecehan seksual yang dialaminya saat masih kecil dulu. Walaupun tak berdampak banyak pada fisiknya, namun pada jiwanya, masih membekas sampai saat ia dewasa. Berusaha sekuatnya menghadapi trauma yang tak seorang pun tahu.
            Ingatan yang tak terhapus waktu. Jangan salahkan Nara tentang masa kecilnya yang suram ini. Orang lain hanya akan melihat tangisannya, namun tak pernah tahu apa yang ditangisinya. Rasa rendah diri selalu muncul saat mengingat hal menyedihkan itu.
            Walau samar, namun seiring bertambahnya usia. Peristiwa itu membuat dia menjauhi lelaki. Tak ada yang tahu, bahwa ketika Nara menyukai seseorang, perlahan perasaan itu menghilang. Entah karena takut, atau apa pun, jadi tak pernah ada ujungnya.
“Doorr!!” Chika membuyarkan lamunan Nara.
“Apaan Chika, ngagetin aja lu!” Nara tersenyum.
Kire datang. “Eh Re, gimana tadi pertunjukkannya, bagus kan?!” kata Chika bersemangat.
“Apaan?! Yang drama itu Nara dan Eky. Ngapain tadi kamu disebelah Nara?!” ledek Kire.
“Iya Ka, dialogmu mana? Cuma diam aja tadi,” kata Nara sepakat.
“Jangan salahkan aku. Kamu tadi dialog berdua terus sama Eky, sampai lupa sahabatnya cuma jadi jangkrik,” kata Chika menggebu.
“Hahaha, iya maaf. Tadi kan udah dikode. Eh, malah diam aja. Ya sudah lanjut!” kata Nara geli membayangkan Chika yang krik-krik.
***
            Eky menjumpai Nara di rumah. Jika perempuan berkata tidak apa-apa, berarti apa-apa. Inti dari rumitnya wanita yang paling sederhana. Harus dimengerti Eky sebelum cintanya siaga satu. Alasan apa pun, untuk seorang kekasih seperti Kiky tak akan bisa terima jika kekasihnya lebih sering bersama prempuan lain.
“Cepatlah pulang. Aku tak ingin memperkeruh suasana.”
“Kiky ngerti kok, nggak mungkin dia marah tanpa alasan.”
“Kamu harus mengerti rumitnya cinta. Dan perempuan yang ada di dalam cinta, yang ahli memperumit masalah.” Eky hanya tertawa mendengar perkataan Nara.
            Cinta dan wanita, dua ‘...ta’ ini adalah paduan yang saling melengkapi dalam meliuk-liukan rasa. Eky masih saja tak paham.
“Sudahlah, pulang! Cintamu menunggu. Dia merindukan kehadiranmu. Yang ditunggunya adalah awal-awal saat kamu bersamanya,”
Hubungan Eky dan Kiky sedang jenuh-jenuhnya. Perasaan yang berubah setelah sekian lama bersama. Ada baiknya, Eky menumbuhkan rasa pertama saat jatuh cinta dulu.
            Eky pamit, sepertinya dia mulai mengerti. Nara melanjutkan mengemasi barang-barang yang akan dimasukkan gudang setelah terhenti karena kedatangan Eky. Angin dingin merasuk, entah dari kipas angin atau tiupan angin dari jendela kamar. Nara mengacuhkan tubuhnya yang kedinginan, sibuk mengemasi barang-barang yang seharusnya tak masuk ke gudang.
            Barang pemberian Eky, harusnya sudah dikembalikan Nara. Namun bunda Nara bilang, ‘Kalau dikembalikan, justru akan membuat Eky sakit hati’. Jadi Nara memutuskan untuk mengemasinya dan disimpan di gudang saja.
“Akhirnya selesai juga! Bersama segala gundah, semoga terkubur dan menumpuk di gudang saja.” Biar lambat laun mengendap bersama tumpukan debu, laba-laba bersarang, terkubur dengan jaring-jaring tipis yang rapuh.
Menikmati suasana tenang yang lebih baik. Angin terasa lebih ramah menyapa. Saatnya mengikhlaskan semua yang terjadi antara Nara dan Eky. Cinta yang mengambang entah ke mana ini, tak sepantasnya dilanjutkan. Ada Kiky yang lebih membutuhkan Eky. Jadi cinta itu hanya masalah siapa yang butuh dan membutuhkan.
“Mungkin demikian,” Nara mencoba memahami, “Kalau cinta itu kebutuhan, padahal semua orang butuh cinta, termasuk aku. Mungkin, cinta itu ada karena kesungguhan. Kiky ─ aku tak meragukan kesungguhannya mencintai Eky. Jadi, dia lebih pantas daripada aku yang masih meragu.”
***

            Awan hitam pekat. Langit tepat beranda rumah, mendung, tak secerah langit Utara. Namun hanya gerimis kecil yang nampak. Nara meratapi syahdunya gerimis dan kegundahan hati. Hujan itu dapat mengobati suasana hati atau justru menambah luka di hati. Tergantung suasana hati, merasakan turunnya rintik demi rintik dari dahan dan ranting pohon di samping rumah. Menatap dengan penuh kelembutan yang dibalas dengan tetesan dingin menyentil kulit wajah. Lembut namun dingin. Walau hanya setetes, dinginnya merebak dan merasuk ke hati.
            Melanjutkan langkah yang terhenti karena masalah cinta. Jika Eky tetap dengan komitmen cintanya pada Kiky, Nara mencoba memahami kepergian Eky yang sempat dia ratapi. Entah mengapa rasa kehilangan membuat suram hati. Apa mungkin cinta?! Nara masih mempertanyakan cintanya. Sementara Eky memenuhi janjinya untuk bertahan dengan Kiky, dengan semua permasalahan yang ada.
***

            Hujan tak pernah permisi kapan datangnya. Sewaktu-waktu cuaca dapat berubah, panas menyengat bisa berubah menjadi hujan yang mengisi rongga antara langit dan bumi. Melewati lorong gelap. Berteduh di terowongan dari hujan di luar. Berdiri di pinggir terowongan, melihat dua sisi separuh lingkaran. Hujan turun meniupkan angin bersama cipratan tanah. Bau tanah basah, yang seharian tersorot sinar mentari panas. Terlihat tanah dan jalanan aspal mengeluarkan asap bercampur debu, sebelum semuanya rata dengan air hujan.
            Harus tertahan di terowongan yang di atasnya melintas roda empat menderu mesin berlomba dengan suara hujan. Nara menghabiskan waktunya untuk berteduh, memutuskan untuk kembali. Tak jadi membeli kue brownis kesukaannya. Sampai di rumah, gerimis rintik-rintik, Nara melihat Eky berlalu dengan motornya. Eky mencari Nara.
Nara mencoba melaju lambat, menunggu Eky pergi jauh dari rumahnya. Hanya melihat sosok Kiky pada diri Eky, semakin membuat Nara merasa bersalah.
 “Jika kita mempunyai perasaan yang sama pun, kita tak bisa kembali dekat seperti dulu. Kamu telah bersama dia. Walau aku tahu saat itu kamu tak ingin benar-benar berpisah denganku ─ mungkin...” Tak tahu pasti bagaimana perasaan Nara pada Eky. Nara juga tak ingin memastikannya ─ pada orang yang telah bersama orang lain.
***

            Serbuan air yang datang dari langit tak mampu terbendung. Lautan mendung tak mampu membendungnya hingga air tumpah ruah ke bumi. Kampus terlihat samar karena lebatnya hujan turun. Mencoba melangkah keluar, sudah pasti akan basah. Nara melihat Eky menerjang hujan bersama Kiky. Memayungi kekasihnya itu dengan jaket, melindunginya dari derasnya hujan. Nara hanya bisa berdiam diri di koridor gedung. Lampu mati, hanya terlihat bayang-bayang suram menghuni kelas.
            Semuanya tampak gelap. Saat-saat seperti ini, akan terlintas kesalahan-kesalahan dan hal bodoh yang pernah dilakukan. Penyesalan pada masa lalu. Waktu yang tepat untuk menyalahkan diri sendiri. Itu yang Nara pikirkan. Memikirkan bagaimana waktu terlintas sia-sia. Waktu terbuang percuma karena ketakutan tak beralasan pada masa depan.
            Betapa dia telah membuat kenangan dalam kehidupan Nara, yang selalu mengusik perlahan. Yang tak bisa dibedakan antara kenangan manis atau kenangan pahit.
“Sebentar saja aku mengenalmu, secepat itu engkau pergi.” Perasaan yang sekarang baru terasa setelah kepergian Eky.
            Salah Nara mengacuhkan cinta. Yang tak disadari Nara, cinta itu akan luntur karena waktu. Tak Nara kira, Eky akan mengacuhkannya secepat ini.
“Aku telah kehilangan sosok yang kukira akan bertahan walau beribu acuh dariku. Kamu membuatku menyesal karena tak mempedulikanmu saat itu,” tegas Nara di depan cermin, “Itu salahku atau salahmu? Salahku karena mengacuhkanmu. Atau salahmu, karena ternyata kamu tak benar-benar mencintaiku.”
            Dan sebelum Nara tenggelam, dia segera berlari ke tepi. “Aku tersudut pada perasaan ini. Karena tak ada kejelasan dariku sendiri. Aku anggap kita memang tak jodoh.”
***

            Malam hari, hati dan pikiran memang banyak terkuras. Teringat peristiwa saat hujan yang sangat syahdu membanjiri kampus hari kamis lalu. Tiga hari terlewat, namun masih saja terpaksa untuk mengingatnya. Seandainya satu hari itu bisa dihapus dari memori otak jangka panjang. Peristiwa itu sudah terlanjur terekam nyata dan tersimpan jelas tanpa harus direka ulang. Terpatri dalam jangka panjang, yang sewaktu-waktu bisa muncul dengan sendirinya tanpa harus mengingatnya.
Senang melihat teman melabuhkan dan menjatuhkan pilihannya. Memang masa depan tak pernah terduga. Dan yang perlu dimengerti cukup perasaan Nara, untuk merelakan. Kesungguhan itu belum juga didapatkan. Sesekali merenung, menatap wajah sendiri. Jarang sekali Nara seperti ini.
“Aku cantik, nggak bodoh juga, standar. Nyebelin sih, tapi nggak terlalu. Ah, sepertinya tak ada yang salah dari diriku. Tapi...” perkataannya terhenti, “Tapi... mengapa seperti ini?! Apa aku tak bisa mendapatkan kesungguhan itu?!”
“Belum...” Kire tiba-tiba muncul di cermin. Berdiri di belakang Nara, “Belum saatnya aja Ra! Tenang bukan hanya kamu yang merasa seperti itu. Lihat! Cewek cantik tapi gendut, mleber kayak gini. Syukuri saja. Kelak pasti ada yang mau.”
“Mau apa Re?” Nara menoleh, matanya berkaca-kaca. celotehan Kire meredakan gundah. Kire hanya membalasnya dengan senyuman.
“Kamu itu lho, punya segudang kelebihan. Cuma...”
“Cuma apa Re??”
“Cuma tertutup sama beton,” Kire tertawa puas
“Yaah, ketutup dong, susah dilihatnya, sama saja nggak ada yang bisa ditunjukkan!” Nara memeluk tubuh gembil Kire.
***

            Butuh hiburan, pencerahan. Butuh suplemen untuk hati agar bisa bangkit kembali. Menjalani aktivitas yang akan segera Nara awali. Sebelum siang hari dan semua terlambat untuk dibenahi. Kalau hati sudah tak nyaman, rasanya sulit untuk mengawali hari.
            Nara bergegas menuju kolam ikan yang teduh karena pohon jeruk bali yang tumbuh di samping kolam. Melamun di pinggir kolam dan memandang kosong ke kolam. Sesekali kepala Nara menengadah. Reruntuhan daun jeruk menerpa wajah, turun perlahan. Jatuh terhempas angin, berguguran lalu terapung di air kolam. Ikan-ikan terhentak, kaget. Nara yang sedang melamun turut kaget, membuyarkan tatapan mata kosong. Sadar, melihat daun serupa hati.
            Masih bisa tersenyum dan tak merasakan kehilangan. Itu mengapa tak seharusnya terbawa perasaan.  Dan cinta Nara memang bukan dengan Eky. Cinta itu tak pernah tersampaikan. Seperti bui, menghilang tanpa ada jejak. Ternyata hanya rasa takut kehilangan seseorang yang biasa dekat, kini harus jauh. Bukan cinta.
            Kita memang tak bisa memilih dengan siapa kita mau. Kadang dia yang mencintai, kita tak mengharapkannya. Kadang kita yang mencintai, dia tak menyambutnya. Sederhana tanda tak berjodoh.
Bisa saja kita salah mengartikan. Kita tak akan pernah tahu di mana ujungnya, semua akan terhenti saat masing-masing menyadari ─ tak berjodoh. Itu hanya masalah waktu.
“Sedikasihnya aja,” kata Nara, pasrah.

Nara belajar banyak arti cinta dari Kire. “Jika sudah saatnya pasti akan dimudahkan,” senyum terakhir Nara pada libur akhir pekan. Esok, biar tak ada lagi kegalauan. Biarlah mengendap, tak perlu diusik lagi. Hanya menunggu waktu berlalu, siapkan untuk kebingungan lain yang menanti di depan.