Setelah 21 tahun
usia terlewati, sendiri adalah masa terindah. Banyak teman yang sudah memiliki
pendamping, entah itu pacar, tunangan, bahkan ada yang sudah menikah.
Kesendirian yang indah namun tak Nara harapkan akan berlangsung lebih lama
lagi. Dan sekarang, Nara jalani dengan terus berharap menemukan dia yang
pertama dan terakhir.
Nara
dan Chika, sahabat yang sedang mengukir mimpi ini mengharapkan adanya keajaiban
cinta. Ya, bukan mencari tapi yang jelas mereka menunggu. Tak terlalu banyak
berharap namun usia menyadarkan. Kire lebih dulu meninggalkan masa lajangnya.
Menikah usia muda, kuliah sambil mengurus rumah tangga. Tak disangka akan
secepat itu. Si gendut cantik, jalan hidupnya indah walau dalam paksaan.
Semakin Nara mengingatnya semakin tak yakin sahabatnya yang merasa rendah diri
itu justru mendapatkan cintanya lebih dulu, beruntungnya dia.
Meskipun
telah menjadi Ny. Rengga, Kire sering melewatkan malam minggu bersama
sahabatnya. Rengga memakluminya, menemani jomblo-jomblo pesimis katanya.
“Cowok mubadzir itu cowok ganteng
yang nggak punya pacar.”
“Bisa aja kamu Ka,” Nara tertawa
geli.
“Berarti cewek mubadzir, cewek
cantik yang nggak punya pacar. Apalagi yang sampai sekarang nggak pernah yang
namanya pacaran.”
“Lu ngledek gue Re,” melirik
Kire.
“Ya nggak apa-apa Ra, dapat
cantiknya kan,” Chika tertawa puas.
“Iya, tetap saja kesimpulannya
cantik-cantik kok gak laku-laku!”
“Kamu yang bilang sendiri lho Ra.
Nyadar juga!” Kire terbahak-bahak berdiri di hadapan Nara.
Mereka memang gemar menghina satu
sama lain. Mereka tumbuh pada cinta dalam kehinaan. Manusia yang penuh dengan
hina, bersama-sama selama tiga tahun, bergelut dengan kehidupan kampus.
Nara
sadar, selama ini hanya dekat dengan Rengga dan Eky. Tak pernah dekat dengan
siapa pun selain mereka berdua apalagi mempunyai kekasih. Walaupun hanya
sekali, paling tidak Chika sudah pernah yang namanya punya pacar. Dan Nara,
cukup bangga dengan perasaannya pada Awan. Lelaki yang berhasil mencuri hati
Nara. Dalam diam, Nara mencari kepastian perasaannya.
Awan,
wajahnya tak bisa hilang sejak pertama bertemu. Di taman tempat pembekalan
Kuliah Kerja Nyata (KKN). Seperti awan, dia menenangkan dan senyumnya lembut.
Dia istimewa, kebaikannya tercermin dari wajahnya. Nara semakin tambah dekat
dengan Awan setelah melalui perjalanan panjang 90 km menuju desa tempat KKN
mereka. Melaju dengan motor Awan, dia tampak mengesankan menggunakan kacamata
hitamnya.
“Berdoa dulu Ra,” kata-kata yang
meluncur sebelum perjalanan itu dimulai.
Nara
berdiri di trotoar jalan raya. Melihat kendaraan melintas dengan kencangnya
siang itu. Nara menanti Awan yang sedang membeli snack dan minuman di toko ujung jalan. Segera mengabaikan
kebisingan yang melintas. Bersandar di motor Awan. Saat itu Nara mulai
menyadari babak baru dalam hidupnya. Meninggalkan perkara cinta lalu.
“Ra?!” Awan menghardik dari
belakang. Nara masih saja melamun.
“Nara?!” kata Awan, tersenyum.
Senyum
Awan membuat Nara menyadari yang lalu memang perlu diganti dengan yang baru.
Dengan harapan Nara akan menemukan sosok yang lebih berarti pada belahan waktu
ini. Awan menyela ditengah lamunan Nara yang senyum-senyum sendiri. Perjalanan
dilanjutkan, sudah lebih jauh dari tempat memulai. Tak ada waktu untuk menengok
belakang. Yang di belakang, biarkan berlalu tanpa perlu menghapusnya.
***
Belum
sehari berada di desa Kuning, Nara sudah dibuat kebingungan tak menentu.
Canggung, tak pernah bisa menatap wajah Awan. Matanya. Nara paling tak bisa
menatap mata orang yang dia suka. Perasaan Nara datang terlalu cepat, instan.
Tak bisa dipungkiri, selalu ada senyum setiap Nara mengingatnya. Namun Nara
selalu takut jika cintanya hanya sepihak.
Sifat
Nara yang pendiam namun jika mood-nya
sedang sangat baik, tak bisa berhenti untuk terus berceloteh. Mempunyai dua
kepribadian yang berbeda. Nara mulai menjadi pendiam dan pemalu sejak bertemu
Awan. Dia berbeda saat pertama kali Nara berkenalan padanya. Lelaki berkumis
jarang, nampak begitu dewasa, manis, namun sangat cuek ini begitu mengesankan.
Perlahan awan yang menggumpal terurai lembut. Siang hari, Nara begitu menikmati
teriknya matahari. Berjalan menyusuri sawah hijau.
“Dalam diam ini, aku hanya
berharap bisa mengenalnya lebih dekat,” gumam Nara.
Ayunan
langkah semakin cepat. Ingin sekali berbincang dengan Awan, namun Nara tak
pernah bisa menghilangkan kegugupannya. Sama-sama pendiam dan Awan terlalu
cuek. Nara dan Awan tak pernah bisa bercakap-cakap lama, dan kemungkinan untuk
dekat sepertinya sulit.
Harus
ada pihak ketiga dalam hubungan mereka ─ mak comblang. Teman-teman yang
menyatukan kedekatan mereka. Setidaknya, Nara dan Awan lebih mempunyai banyak
waktu untuk bersama karena mereka. Entah apa perasaan Awan, Nara tak berharap
banyak.
“Satu, dua,
tiga...” menghitung bagaimana Nara bisa keluar dari bisu. Tak sepatah kata bisa
keluar. Selama dua jam Nara harus piket bersama Awan, dan tak mungkin
terus-menerus berdiam diri. Akhirnya Awan memulai percakapan.
“Ra, gimana persentasinya? Ada
yang kurang?”
“Iya nih, buat penyuluhan
kesehatan di balai desa masih kurang jelas. Bahan persentasi yang kemarin mana
ya?”
Terlalu
formal. Nara canggung, tak mengerti, bicara saja keringat menetes tak terseka.
Nara memang tak pernah bisa mengendalikan perasaannya, sangat ekspresif. Orang
lain akan cepat mengerti hanya dari sikapnya. Teman-teman yang lain ingin membantu,
namun justru membuat Awan enggan dekat, malu. Takut jika yang lain
menyindirnya.
“Dengan semua perasaan singkat
yang terpendam, ah aku ingin sekali melupakannya!” Nara pergi ke kamarnya, dia
tak ingin Awan melihatnya gugup dan salah tingkah lebih lama lagi.
***
Senja mengubur
segala lelah dari aktivitas di balai desa. Mulai menyemai semangat baru untuk
nanti malam. Pertunjukkan wayang, baru kali ini Nara menonton wayang secara
langsung sekaligus jadi panitia penyelenggara. Nara menikmati saat-saat bersama
keluarga barunya kecuali perasaannya.
“Ah, sudahlah. Aku menyerah Nda.”
Nara bersandar di bahu Anda.
“Sabar ya Ra. Aku kenalin sama
cowok lain mau?”
“Apaan sih Nda? Nggak ngaruh juga
buat nglupain Awan.”
“Terus kamu mau dicuekin gini
tiap hari??”
Nara
berusaha menutupi perasaannya. Namun tak pernah bisa disembunyikan dari
teman-teman yang lain. Sikap Nara yang tak dewasa dan kadang berlebihan membuat
mereka sering mengejeknya. Dan Nara mulai tak nyaman jika ternyata tak ada
sambutan berarti dari Awan. Jika ada, pasti paksaan dari teman-teman. Anda, dia
teman curhat Nara yang baru. Teman sekamar, berbagi kasur bersama, berbagi
keringat bersama. Dia terbaik setelah Kire dan Chika.
“Begini banget ya nasib gue...
Malu tau gak sih Nda!!”
“Udah lah dilupain aja. Nggak
penting Ra! Kamu itu cantik, nggak nyadar juga?!”
“Lah apa hubungannya sama Awan?”
Nara mengerti jika Anda mengkhawatirkannya, jangan sampai patah hati.
Perasaan yang tak terwadahi
karena belum ada cawan yang menampungnya. Memang belum saatnya. Perbincangan di
sela pertunjukkan. Walau lelah, mata selalu menatap panggung, menyaksikan
wayang di tengah kerumunan warga.
Tengah
malam lewat, mereka memutuskan untuk pulang ke posko. Jalanan masih ramai.
Hanya hati Nara yang sepi. Banyak hal yang dipikirkan Nara, terutama keadaan
ayahnya yang sedang sakit. Seminggu sekali Nara menyempatkan untuk pulang ke
rumah. Perjalanan selama tiga jam naik bus dan langsung menuju rumah sakit
untuk menjaga ayahnya. Nara menjalani apa yang seharusnya dijalani, tak banyak
mengeluh. Hanya terkadang, dia selalu menyendiri jika teman-teman yang lain
sedang berkumpul.
***
Hari-hari
di posko hanya bersama Awan. Tiap perjalanan jadi selalu bersamanya, itu karena
teman-teman. Anda dan teman-teman yang lain selalu saja tak kehabisan akal
untuk membuat Nara semakin dekat dengan Awan.
Rapat
malam hari, hanya ada rasa malu menatap wajah Awan. Nara menjalani hari-hari
dengan perasaan yang tak mampu dipendamnya, terlihat dari wajahnya yang selalu
memerah. Setelah rapat harus menyelesaikan tugas untuk program sekolah Paud di
sana. Hiasan dibuat untuk media belajar di kelas nantinya. Kupu-kupu, awan,
bunga, bintang-bintang, semua hiasan terurai panjang menggantung. Seperti
perasaan Nara, yang menggantung tanpa kejelasan.
Nara
tak bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa menuruti rasa malu yang dia rasakan.
Nara lebih sering berada di kamar, tiba-tiba mengendap-endap keluar, sesekali
mencuri pandang ketika Awan lewat. Nara sungguh menikmati perasaan itu. Yang
tak dia sadari justru menyeretnya lebih dalam pada perasaan yang tak seharusnya
ada.
Malam
itu, Awan pamit untuk pergi. Namun diam-diam dia memberi pesan singkat untuk
Nara. Itu karena tadi dia melihat Nara senyum-senyum sendirian melihat Awan.
‘Belum tidur Ra?’
‘Belum, belum ngantuk.’ Jawab Nara
singkat.
‘Sini kumpul sama teman-teman.
Siap-siap, nanti kan kita mau ngasih kejutan buat Ofa.’
Lewat
jam 12 malam nanti, Ofa teman sekamar Nara akan berulang tahun. Semua sudah
dipersiapkan matang-matang. Nara sangat senang berbalas pesan dengan Awan. Ada
harapan untuk cinta Nara kali ini. Tak lama, Nara tertidur pulas. Sms terakhir
Awan yang membangunkannya tidur pun tak sempat dibaca.
Memasuki
kamar, mereka sudah kumpul bersama di dalam kamar Nara, Anda, dan Ofa. Nyala
lilin berpijar di kegelapan. Lagu wajib saat ulang tahun dikumandangkan.
Sebelum meniup lilin, Ofa mengucapkan doa, membuat permintaan di hari
bahagianya. Make a wish. Entah apa
doanya, mereka hanya mengamininya. Lilin yang meleleh segera padam.
Sepuluh
mahasiswa KKN, tengah malam berbuat keributan di posko. Malam itu, timpukan kue
tart melayang dan mendarat ke tubuh Ofa.
“Selamat ya Ofa!” satu persatu
memberikan selamat.
“Ayo makan!” teriak Anda,
menyerbu kue tart yang masih tersisa.
Gemuruh suara kaki, mereka
berlarian takut terkena sasaran kue. Suara tawa yang menghentakkan kesunyian
malam. Suara jangkrik meredup, kalah saing dengan suara gaduh mereka. Satu jam
berlalu merayakan ulang tahun Ofa. Setelah bersih-bersih badan karena kotor,
mereka melanjutkan tidur.
Menjelang
pagi, hanya tidur tiga jam. Setelah tadi malam terjadi kegaduhan di rumah bapak
lurah. Nara bangun jam empat pagi, sudah menjadi kebiasaan. Dia tak pernah
melewatkan malam yang akan pamit digantikan mentari. Timpukan kue tart
berceceran di lantai. Nara membersihkan kotoran sisa tadi malam, menyapu dan
mengepel lantai bersama Anda.
Diam-diam,
Nara melihat Awan tertidur pulas di karpet. Tak tega membangunkannya. Mengepel,
sesekali mencuri pandang menatap Awan yang terbalut selimut tebal. Walau hanya
melihatnya, hati Nara bergetar dibuatnya. Apalagi jika harus bertatapan dan
bicara pada Awan. Ini cinta pertama Nara ─ cinta sebenar-benarnya. Baginya ini
begitu menegangkan dan luar biasa.
Kian
hari, Nara semakin kagum dengan kepribadian Awan. Dia baik, ibadahnya selalu
dijaga, pintar, pantas dia menjadi koordinator
KKN desa Kuning ini. Terlengkapi sudah cerita cinta dengan kekaguman
yang dirasakan Nara.
***
Hari ini peringatan tahun baru Islam. Akan ada
pawai peringatan 1 Sura di lapangan desa Kuning. Anak-anak kecil
berpartisipasi, mengarak spanduk diiringi musik drum band sepanjang jalan desa
Kuning. Melihat Awan dari kejauhan.
“Mungkin dia sama saja dengan
yang lain. Namun perasaan ini yang membuat dia sangat istimewa di mataku.”
“Ra, jangan melamun!”
“Enggak kok Nda,” Nara kaget,
“Itu panitia nyuruh kamu jaga posko!”
Pawai dimulai, Anda dan teman-teman lain harus
membantu mengamankan jalan. Hanya Nara yang tinggal di posko. Menunggu acara
khitanan massal. Rangkaian acara peringatan tahun baru Islam di sini. Meriah
dan menyenangkan.
Mayoret
memimpin penampilan tiap grup perwakilan sekolah. Bunyi genderang drum menambah
semangat pagi hari yang panas, mentari dengan teriknya menyinari. Belyra yang
memberi keharmonisan melodi menyemai semangat dari anak-anak yang
melambai-lambaikan bendera warna-warni, begitu semarak.
Lelah
hilang, terkesima menyaksikan anak-anak yang antusias memeriahkan acara.
Sejenak menyingkirkan perasaannya pada Awan. Tak mau terlihat gerogi di samping
Awan. Duduk bersebelahan, Anda sengaja mengabadikan kedekatan mereka. Nara
tampak malu-malu. Tak bisa disembunyikan betapa bahagianya dia, sesekali
memandangi foto hasil jepretan Anda. Senyum Nara semakin mengembang.
Siang
hari, periksa dan konsultasi kesehatan gratis. Para warga berdatangan ke tengah
lapangan, terutama para lansia. Mereka saling membantu mengarahkan bapak-bapak
dan ibu-ibu yang tengah mengantri untuk pengobatan gratis.
“Awan tak terlihat di sini...”
batin Nara
“Aku tahu dari tadi clingukan
nyari Awan ya?!” Anda meledek.
“Enggak kok Nda.”
“Iya juga nggak apa-apa kok.
Hehe. Dia di tempat khitanan massal Ra. Kamu mau ke sana?”
“Enggak ah Ra, di sini aja...”
Nara tersenyum.
Hari
semakin sore, semakin rame. Warga berdatangan, terlihat betapa pedulinya mereka
akan kesehatan. Jauh-jauh datang untuk periksa dan mengikuti penyuluhan yang
diberikan setelah pemeriksaan selesai dilakukan. Pengobatan dan konsultasi
gratis ini sangat membantu warga di desa Kuning, terutama untuk para lansia.
Panas
mulai surut. Nara dan teman-temannya segera kembali ke posko. Berjejeran di
depan TV. Mereka nampak kelelahan namun masih jelas raut riang yang terpancar.
Berebutan makanan ringan. Nara mundur perlahan, membayangkan seakan semua
mimpi.
“Punya keluarga seperti ini.
Seru!”
Mengesankan bisa tinggal serumah
dengan konflik yang justru membuat mereka semakin kompak. Air mata menetes,
Nara mulai belajar menghargai waktu. Yang ada di depan, harusnya dijalankan
sepenuh hati. Karena waktu tak akan terulang lagi.
***
Sebentar
lagi akan berpisah, ya dua minggu lagi. Tak terbayangkan jika harus merubah
kebiasaan. Biasa serumah, tinggal bersama, berbagi cerita. Dalam sekejap,
teman-teman ini menjadi begitu berarti. Ikatan yang instan namun mendalam.
“Dan ini keluargaku, keluarga
‘Kolor Merah’....” tak hentinya senyum merekah jika Nara mengingat mereka.
Kolor merah. Mahasiswa yang masih butuh suntikan dana ini hanya mampu membeli
kolor merah sebagai seragam tanda kekompakan. Kolor seharga sepuluh ribu
seadanya dibeli di pasar, menjadi seragam kebanggaan keluarga ini.
“Nggak nyangka udah separuh
perjalanan ya! Sebentar lagi semua akan sendiri-sendiri,” kata Ofa dalam.
“Iya ya...” Nara termangu
memandang keluar jendela kamar.
Sedih pasti, namun Nara juga
bahagia karena bisa jauh dari Awan.
Saat
ini, untuk Nara, lebih realistis untuk pergi saja. Keadaan ayah lebih penting.
Nara mendapat kabar dari ibunya, ayahnya sakit. Nara pamit sejenak, melambaikan
tangan perpisahan. Meski sementara, Nara bisa membayangkan saat perpisahan
nanti pasti akan menyedihkan.
Nara
harus pulang menunggu ayahnya yang sedang terbaring di rumah sakit. Untuk tiga
hari ke depan Nara tak bisa melihat Awan yang selalu membuatnya tersipu malu.
Meski jauh, Nara selalu mengantongi senyum Awan di hatinya.
“Walaupun jauh, senyum malu ini
selalu saja menghiasi rautku.”
***
“Ayah
harus sembuh. Besok pagi aku pulang ke tempat KKN.” Ayah Nara hanya bisa
merasakan sakit yang diderita lambungnya. Tanpa banyak bertanya, Nara duduk di
sofa depan, air mata menetes. Tanpa harus menyekanya, air mata mengering dalam
tidurnya.
Daun
merendah tak mampu menyangga tetesan gerimis pagi. Ujung daun seolah yang
menjadikan sumber tetesan air dari langit mendung yang mencurahkan hujan kecil
tak merata. Tetesan yang tak tersampaikan langsung ke daratan, sejenak tertahan
di dahan. Mungkin juga akan mengering sebelum sampai ke permukaan tanah.
Perasaan yang tak tersampaikan, menguap. Yang sudah-sudah memang berakhir
demikian.
“Kisah ini, semoga akan sampai
kepada pemiliknya,” gumam Nara.
Mengenal
Awan, sosok pendiam, tak banyak tingkah. Sekiranya pandangan pertama cukup
mengesankan kebaikan Awan. Baru kali ini Nara merasakan ada yang berbeda.
Getaran perasaan yang sejak awal bertemu, tanpa permisi langsung membuat hati
Nara luluh lantak. Entah apa yang membuat Nara yakin pada perasaannya.
Tak
mengerti perjalanan hati, yang terjadi ke depan. Sejenak prinsip terabaikan.
Sering kali mendapatkan kesempatan untuk berdua, namun tak pernah bisa
menyatukan. Antara kesempatan dan prinsip yang telah berikrar di masa lalu yang
membuat Nara ragu. Nara memendam, dan selalu menyesal tiap waktunya.
***
Minggu
pagi, keluarga ‘Kolor Merah’ akan memulai aktivitasnya di pantai. Melepas penat
setelah berbagai kesibukan menjadi agenda rutin. Satu jam bersama perjalanan ke
pantai. Nara masih tak bisa melepas canggungnya. Satu jam bersama dalam diam.
Sesampainya
di pantai. Nara tak mau membiarkan diri hanya memandangi indahnya. Menikmati
keindahan pantai diiringi sunrise
yang melelehkan gundah. Mentari bersinar terang membangkitkan harapan.
Menginjakkan kaki di pasir pantai. Rela terbawa ombak yang memanggil. Menapaki
pinggir pantai yang membekas tapak kaki teman-teman yang lain bersama kolor
merahnya. Mereka nampak kompak dengan warna merah.
Menenggelamkan
diri di lautan garam yang mencairkan kebekuan sayup angin. Tangan usil mereka
melempar pasir yang mereka raup bersama gulungan ombak. Teriakan histeris
mencuat bersama deru ombak. Senyum Nara lepas, tangisannya terbawa asinnya
laut. Kesedihannya berkurang karena sejak tadi memikirkan ayahnya.
“Ra ayo! Kita main bola,” teriak
Anda. Dua tim saling berebut bola. Bola melayang melawan angin, disambut
tangkapan dari teman satu tim. Lemparan demi lemparan hingga ditangkap oleh
pemain terakhir di ujung sebagai base
kemenangan.
“Gooolll!!!” teriak mereka. Bersaut-sautan,
saling bergantian memasukkan bola.
Matahari
semakin naik, menyilaukan mata. Terhenti dan lebih tenang menikmati ombak. Nara
bersandar pada pijakan tangan di pasir pantai.
“Kamu awan... Apa aku hanya bsa
memandangmu dari bawah sini?! Kamu akan mengiringi perjalanan ini di atas sana,
di birunya langit. Aku cukup melihatmu dengan senyuman.” Mata Nara menyipit,
melihat langit berpendar cahaya mentari.
“Ra, ayo mandi, ganti baju!”
teriak Anda yang sudah beranjak dari bibir pantai.
“Iya, tunggu Nda,” sahut Nara.
Menikmati
setiap tawa yang berubah jadi tangis. Betapa bahagianya Nara sampai matanya
berkaca-kaca. Tetesan itu tak berarti apa-apa. Menyatu dengan lautan, hanya
nampak keindahan menenggelamkannya. Lebih banyak kebahagiaan yang bisa dirasakan.
Lautan ini umpama bahagia yang tak akan ada habisnya.
***
Makan pagi kali ini menunya
cumi-cumi. Nara paling suka dengan si tinta hitam ini. Nara segera mengambil
piring, nasi menggunung, dan kuah hitam yang sangat banyak. Dengan lahap ia
makan. Nara harus sehat, teringat pesan bundanya. Jauh dari rumah, Nara tak
ingin jika kembali nanti tubuhnya jadi kurus. Tak lama kemudian Awan datang,
menuju tempat makan. Satu hal yang baru Nara tahu tentang Awan. Dia tak
menyukai wortel.
“Pantas
saja, dia selalu memilah-milah sayur jika yang dimasak ada wortelnya,” gumam
Nara. Meneguk segelas air putih, Awan tersenyum melihat Nara yang dari tadi
memperhatikannya.
Hari ini mereka harus
berpanas-panasan. Melakukan penanaman pohon di sekitar desa. Berjalan menyusuri
jalan membawa bibit pohon yang akan ditanam. Betapa canggungnya Nara berjalan
bersama Awan. Menutup lubang tanah yang telah diisi bibit, kemudian Nara yang
menyiram air.
“Semoga
pohon ini bisa tumbuh besar, meski nanti kita tinggal pergi,” Awan tersenyum. Senyumnya
manis, membuat Nara tak hentinya berdecak kagum.
Perpisahan KKN, jalan sehat bersama
warga desa. Mereka berjalan penuh riang. Meski mereka tahu, di depan nanti
hanya ada perpisahan.
“Kenangan yang mungkin akan terhapus waktu.
Biarlah, setidaknya kita pernah merasakannya. Merasakan kebersamaan ini,
perasaan ‘lara-lapa’ yang dilalui walau dalam waktu singkat.”
Kita
pernah bersama. Sedalam apa pun kita mengukir kebersamaan, mungkin kita akan
sama-sama lupa. Tapi, setidaknya kita pernah mengingat ini ─ bersama.
Banyak pelajaran yang Nara dapat.
Cara Nara menghargai waktu, menghargai orang lain, belajar banyak tentang arti
kehidupan. Setelah ini, tak ada yang tahu ke depan akan seperti apa.
“Kita
akan jalan masing-masing. Dan tak tahu jalan cerita cinta ini akan seperti apa.
Cerita ini mungkin hanya akan ada sampai perpisahan nanti.”
Nara
mulai berkemas-kemas, satu persatu baju pindah dari lemari ke tas.
***
Malam hari, malam terakhir mereka
bersama. Menikmati saat-saat terakhir di desa Kuning. Permainan terakhir
sebelum semuanya berakhir. Dan terakhir kalinya memakai kolor warna merah
bersama-sama. Mereka akan segera ditarik dari tempat KKN mereka. Bermain kartu
sampai lelap. Nara selalu saja kalah. Dia harus mengenakan helm cakil warna
hitam.
“Benar-benar
sumpek pakai helm ini Nda!” Anda
tertawa puas melihat Nara berkacamata hitam besar, dan memakai helm cakil apek.
Hukuman bagi yang kalah.
Walaupun sudah larut malam,
permainan dilanjutkan lagi. Nara tetap saja menjadi sasaran kemalangan. Truth or Dare, gara-gara permainan ini
Nara harus jujur dengan perasaannya. Botol diputar dan berhenti tepat ke arah
Nara. Dua kali pada awal permainan, botol itu selalu mengarah ke Nara. Rencana
yang tak dia mengerti, membuat semuanya terungkap.
Nara memilih untuk jujur, truth. Harus jujur! Sangat berat untuk
mengatakannya. Saatnya jujur mengenai perasaan Nara. Teman-teman Nara sengaja
memberikan pertanyaan yang mereka sendiri sudah tahu jawabannya.
“Nara...
apa sekarang kamu sedang jatuh cinta?! Kalau iya, sama siapa?!”
“Harus
jujur lho?!” Nara hanya bisa meringis.
Malu-malu
dia menjawab, “Iyaa...”
“Siapa-siapa?!
Ehm, insial aja deh!” Mereka tampak antusias, padahal mereka sendiri sudah tahu
jawabannya.
“Nara,
Nara... ini kesempatan buat kamu, waktunya kamu jujur. Daripada nanti pisah,
nyesel lho!” Ofa berbisik. Dan yang lainnya, mengiyakan.
“Harus
jujur ya?!”
“Iya
dong!!”
“Nggak
jujur sakit perut, mencret lho!!” begitu ancaman mereka.
Perlu waktu lama untuk menjawab.
Nara enggan memberikan jawaban. Awan hanya senyum-senyum di balik keributan
teman-teman. Dia tahu, namun dia hanya diam. Bagaimana dia tak tahu, dari sikap
Nara saja sudah menunjukkan Nara menyukainya. Lebih-lebih saat ditanya, Nara
berat untuk mengatakan. Beruntung teman-teman yang lain membantunya. Mereka
tahu, Nara sudah kebingungan dengan jawabannya.
“Owh,
iya tahu... Yok lanjut!!” Padahal tak sepatah kata pun diucapkan Nara mengenai
inisial cowok itu. Namun mereka kompak untuk menutupinya. Mereka kasihan
melihat Nara yang sangat malu, wajahnya memerah.
Awan yang tahu perasaan Nara, hanya
bisa diam.
“Malu
tahu nggak sih Nda!” kata Nara sambil menuju kamar.
Sudah
larut begini, mereka bersiap-siap untuk tidur bersama di ruang TV. Awan sudah
dari tadi pergi menyusul Rino piket malam di kecamatan.
“Dia
pasti tahu siapa yang dimaksud!” kata Nara sambil manyun.
“Dia
kan belum tahu pasti. Mungkin hanya menebak-nebak saja. Santai Ra...” Anda
tersenyum.
Nara
gelisah. Dia segera tertidur pulas, menghilangkan rasa malu sejak permainan
tadi.
Semenjak permainan tadi malam, Awan
berubah. Dia menjadi lebih ramah pada Nara. Karena ini terakhir kalinya. Nara
harus pulang naik motor dengan Awan, sementara yang lain naik mobil.
“Ini
perjalanan terakhir.” Nara menatap kosong.
Perjalanan pulang, jarak 90
kilometer yang mengulur waktu untuk berpisah. Nara dan Awan sudah lebih akrab.
Awan menyadari perasaan Nara padanya. Betapa malunya jika perempuan yang mulai
menunjukkan perasaannya lebih dulu. Awan menunjukkan kepeduliannya. Entahlah...
Perjalanan cinta ini baru dimulai atau akan berakhir setelah perjalanan selama
tiga jam nanti.
“I Find you Cloud! Pada perjalanan waktu,
di sini ─ di hati ini...”